Cklek …
Zio membuka pintu dan tersenyum pada Aurora yang masih setia berdiri di depan pintu. “Akhirnya kau datang juga,” sapanya dan mempersilahkan Aurora masuk ke dalam rumah.
“Permisi,” kata Aurora saat mulai melangkah memasuki kediaman Zio dan Ken.
“Duduklah dulu, anggap saja rumah sendiri,” ujar Zio setelah menutup pintu dan menyusul Aurora yang berdiri di samping sofa ruang tamu. “Eh? Apa yang kau bawa?” Zio menunjuk kantong plastik yang seperti berisi beberapa bahan masakan yang Aurora bawa.
“Bukankah kau akan mengajariku memasak? Jadi tadi aku mampir membeli bahan,” jawab Aurora dengan mengangkat sekilas kantong plastik yang ia bawa.
“Kalau begitu langsung saja bawa ke dapur.” Zio melangkah menuju dapur diikuti Aurora di belakangnya.
“Kau dan Ken hanya tinggal berdua?” tanya Aurora yang membuka percakapan dimana sesekali ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah.
Zio hanya mengangguk dengan setengah menoleh pada Aurora yang setia mengekor. “Maaf, ya, berantakan, sepertinya manusia AC itu baru saja menggunakan dapur,” ujar Zio saat telah sampai di dapur dan mendapati jejak kehidupan di dapur sebelumnya.
Aurora tersenyum kecil dan meletakkan belanjaannya ke atas meja. “Oh, ya, Ken di mana? Saat melihatku tadi dia segera menutup pintu kembali. Apa benar tidak apa-apa aku di sini?” ungkap Aurora seraya mengeluarkan bahan-bahan masakan dari kantong.
Sementara Zio mengambil gelas dan hendak membuatkan Aurora minuman. “Kau mau minum apa? Kopi, teh? Kurasa ini masih terlalu pagi untuk minuman dingin,” ujar Zio.
“Teh hangat,” jawab Aurora singkat. Setelah selesai mengeluarkan semua bahan, dilipatnya kantong plastik itu dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian berbalik menatap punggung Zio yang punggungnya dimana pria itu tengah membuat minuman untuknya. “Ken di mana? Aku ingin menemuinya untuk meminta maaf mengenai semalam.”
Zio menghentikan aktivitasnya mengaduk teh dan setengah membalikkan badan menghadap Aurora. “Sepertinya dia kembali ke kamarnya. Kau yakin ingin menemuinya?” Dan Aurora mengangguk pasti sebagai jawaban. “Kamarnya di lantai atas, kamar yang paling ujung,” ujar Zio memberitahu.
“Ah, ya, baiklah. Kalau begitu aku ke sana dulu, siapa tahu dia juga ingin bergabung.” Aurora berbalik dan segera melangkah keluar dapur dan menuju kamar Ken sesuai arah petunjuk Zio.
Zio mengukir senyum tipis menatap Aurora yang perlahan menghilang di balik pintu dapur. Menurutnya Aurora terlalu polos untuk ukuran bad girl. Hanya dengan melihat sikap yang Aurora tunjukkan ia dapat membaca jika Aurora sangat mudah berganti pasangan seolah pacaran dalam kamusnya hanya permainan. Mungkin jika pria, hal itu masih wajar, tapi Aurora itu seorang gadis, apa dia tidak takut jika kekasihnya akan berbuat macam-macam? batinnya. Tiba-tiba sebuah seringai menghiasi wajah Zio. Ia meletakkan spoon di atas cangkir kemudian berjalan keluar dapur untuk melihat apa yang terjadi di kamar Ken. Sebelumnya ia hanya membohongi Ken dengan mengatakan akan memberi Aurora pelajaran. Karena niat yang sesungguhnya seperti yang ia katakan pada Aurora, ia harap Aurora bisa mengentaskan Ken dari kebodohannya membenci kaum hawa. Lagi pula ia khawatir juga jika terus menerus Ken benar-benar bisa mengidap kelainan.
Zio mengendap saat mulai menaiki anak tangga, dan saat hampir sampai kamar Ken, ia semakin memperlambat langkah kemudian menempelkan punggungnya pada dinding. Ia berjalan menyamping dengan merayap seperti hendak mengintai musuh. Rupanya Aurora masih cukup waras dengan membuka pintu kamar Ken lebar-lebar, batinnya. Saat telah sampai tepat di samping pintu kamar Ken yang terbuka lebar, Zio mencoba menajamkan pendengarannya.
Brugh!
Zio terkejut saat samar-samar mendengar suara seperti tubuh yang terbanting. Seketika sebulir keringat mengalir melewati pelipis. “Sial, apa Ken melakukan sesuatu pada Aurora?” batinnya. Yang ada dipikirannya mungkin Ken membanting Aurora karena Aurora hendak melakukan sesuatu. Ia menelan ludah susah payah dan mencoba mengintip apa yang terjadi. Dan saat matanya menangkap dengan jelas apa yang terjadi di depan mata, seketika matanya melebar.
Aurora mengunci tangan Ken di belakang punggungnya yang mana gadis itu duduk di atas punggung Ken. “Maaf Ken, meski aku seorang gadis, aku masih bisa sekedar melumpuhkanmu,” kata Aurora dengan senyum manis yang merekah.
Ken berusaha melepaskan diri, namun tiba-tiba seketika tubuhnya menjadi kaku dengan mata terbelalak dan keringat mulai mengalir deras saat melihat Aurora menyeringai bengis padanya.
“Aurora! Apa yang kau lakukan?!” Zio segera memasuki kamar saat melihat tubuh Ken kaku tak bergerak yang mana harusnya ia berusaha melepaskan diri.
Aurora yang menyadari tubuh Ken terasa lemah tanpa perlawanan segera bangkit dari atas tubuh Ken. Dan benar saja, meski ia telah bangkit dari atas tubuh Ken, pria itu masih berada dalam posisi dimana sorot matanya tampak kosong.
“Ken, Ken.” Zio berusaha menyadarkan Ken. Menepuk-nepuk pipi Ken namun Ken masih terdiam dan tak menunjukkan ekspresi apapun. “Ken! Ken! Sadarlah! Ken!” Dibalikkannya tubuh Ken yang sebelumnya tengkurap dengan sebagian wajahnya mencium lantai kemudian kembali menepuk pipi Ken terus menerus.
Kecemasan mulai menyelimuti Aurora melihat Ken seperti masih kehilangan kesadaran. Ada apa? Ia hanya mengunci tangan Ken tanpa melukai bagian vital lainnya, tapi kenapa Ken sampai seperti itu? batinnya.
Hurp!
Tiba-tiba Ken tersadar seakan ia baru saja terselamatkan dari tenggelam. Nafasnya terengah dengan keringat yang kian mengalir deras.
“Ke-- Ken, kau baik-baik saja?” tanya Aurora dengan raut kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah.
“Aurora, tolong keluar,” perintah Zio
Aurora masih berdiri di tempat, sampai akhirnya ia mengikuti perintah Zio dengan keluar dari kamar Ken. Ia cukup cerdas untuk mengetahui bahwa saat ini ia sama sekali tak akan berguna. Zio pasti tahu apa yang harus dilakukan dan jika itu dengan ia yang harus menyingkir dari sana, maka ia akan melakukannya.
“Tenang Ken, tenangkan dirimu.” Zio berusaha menenangkan Ken, menepuk-nepuk kecil punggung Ken setelah Ken bangun menegakkan punggungnya dan duduk.
Ken masih tertunduk dengan nafas terengah, rasanya masih teringat jelas saat Aurora membantingnya. Namun bukan hanya itu yang menjadi ketakutannya, melainkan seringai yang Aurora tunjukkan seolah ia kembali teringat senyuman bengis seseorang. “Keluar,” gumam Ken di sela hela nafasnya yang tersengal. Sementara Zio seperti tak mendengar dan tetap berusaha menenangkannya. “Aku bilang, keluar!” teriak Ken seraya menatap Zio dimana sorot matanya begitu menakutkan. Ia bahkan menepis tangan Zio hingga membuat Zio terduduk dengan kasar. Setelah itu ia berusaha bangkit berdiri dan berjalan memasuki kamar mandi.
“Ken ….” gumam Zio dengan menatap punggung Ken yang tampak rapuh.
Jbles!
Zio sampai terjingkat kaget saat Ken dengan sengaja menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Aurora yang mengintip lewat pintu hanya bisa mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Yang ada di pikirannya sekarang adalah, apa yang sebenarnya terjadi dengan Ken. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Seingatnya ia hanya masuk kamar Ken dan mendapati pria itu tengah duduk di tepi ranjang dengan membaca buku.
“Hai, Ken, sedang apa?” sapa Aurora yang mulai masuk tanpa menutup pintu.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk,” ucap Ken dengan suaranya yang terdengar dingin menusuk.
“A … begini, Zio bilang semalam Joe menemuimu dan kalian berkelahi? Aku … hanya ingin meminta maaf mengenai itu. Meski kami sudah putus tetap saja, apa yang dilakukannya pasti ada hubungannya denganku, jadi … aku benar-benar minta maaf,” papar Aurora dengan ia yang setengah menundukkan kepala sebagai simbol permintaan maafnya.
Ken hanya diam dan mengalihkan lirikannya dari Aurora kembali pada buku di tangan dan mengatakan, “Keluar.”
Aurora menegakkan kepala dan menatap Ken dengan pandangan tak terbaca. Bukannya menuruti perintah Ken, ia justru mengajak Ken bergabung dengan acara memasaknya dengan Zio. “Bagaimana jika kau bergabung? Aku dan Zio ada di dapur. Zio mengatakan akan menga--” ucapannya seketika terpotong saat Ken kembali memberinya tatapan tajam.
“Keluar,” ucap Ken dengan suara semakin menusuk dari sebelumnya ditambah sorot matanya yang lebih kejam.
“Aku tidak akan keluar sebelum kau memutuskan untuk bergabung,” kata Aurora yang kemudian mengambil langkah dan berdiri di depan Ken. “Eh? Buku apa yang kau baca?” Ia menunduk dan memperhatikan buku di tangan Ken. Ia seolah mengabaikan tatapan mematikan Ken padanya. Perlahan tangannya hendak terulur menyentuh buku di tangan Ken sampai tiba-tiba dengan gerakan cepat Ken mencengkram tangannya.
Ditariknya tangan Aurora menuju pintu tanpa mengendurkan cengkraman tangannya yang kuat. Ia benar-benar muak dengan Aurora yang baginya sangat keterlaluan.
“Awh! Ken! Kau menyakiti tanganku,” pekik Aurora yang berusaha menahan kaki dari seretan Ken. Merasa geram dan merasakan tangannya serasa mau patah, Aurora mengambil tindakan. Ditendangnya kaki belakang Ken dan dengan gerakan cepat membalik keadaan. Menendang punggung Ken saat ia setengah berlutut akibat tendangan sebelumnya dan membuatnya tersungkur ke lantai. Kemudian Aurora meraih tangan Ken dan memberinya kuncian kuat di balik punggung.
Itulah yang sebenarnya terjadi, tapi kenapa reaksi Ken tampaknya separah itu? Padahal Aurora yakin tak sampai mematahkan tangan Ken. Dan mengingat reaksi Ken barusan, itu sama sekali bukan reaksi kesakitan. Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengannya?