Ketika Anda mengunjungi situs web kami, jika Anda memberikan persetujuan, kami akan menggunakan cookie untuk mengumpulkan data statistik gabungan guna meningkatkan layanan kami dan mengingat pilihan Anda untuk kunjungan berikutnya. Kebijakan Cookie & Kebijakan Privasi
Pembaca yang Terhormat, kami membutuhkan cookie supaya situs web kami tetap berjalan dengan lancar dan menawarkan konten yang dipersonalisasi untuk memenuhi kebutuhan Anda dengan lebih baik, sehingga kami dapat memastikan pengalaman membaca yang terbaik. Anda dapat mengubah izin Anda terhadap pengaturan cookie di bawah ini kapan saja.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Aku melihat raut kecewa di wajah kedua orang tuaku. Mama yang selama ini gencar membujukku untuk menerima mas Haris, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Mungkin kedua orang tuaku kecewa, karena dari pihak mas Haris belum ada omongan untuk kelanjutan hubungan kami. Belum juga membawa orang tuanya ke rumah untuk melamar, tapi tiba-tiba saja mas Haris sudah menyebut bahwa dia adalah calon suamiku. Tak berbeda dengan kedua orang tuaku, aku pun merasa kecewa dan diremehkan oleh mas Haris. Dia dengan entengnya mengatakan, kalau aku adalah calon istrinya. Padahal belum ada ikatan apa pun di antara kami. “Haris, duduk dulu di situ! Sebaiknya kita bicara baik-baik dan meluruskan semuanya.” Papaku berkata sambil menunjuk sofa yang kosong, kode agar mas Haris duduk di tempat yang papa tunjuk. M