“Mas.” Aku mencolek lengan mas Haikal setelah Andi berjalan ke luar gerai kopi. “Apa?” “Apa kamu nggak kepikiran kalau yang menelepon Andi itu dokter Bambang yang sama, dengan dokter yang memeriksaku dulu?” tanyaku dengan mata yang memicing ke arah mas Haikal. “Ada sih pikiran kayak begitu, Manda. Memangnya kenapa? Kamu mau komplain karena dokter Bambang salah diagnosa? Kalau mau komplain, aku akan dampingi,” sahut Mas Haikal serius. “Apa masih bisa komplain sedangkan waktu sudah berjalan hampir dua tahun?” ucapku sendu. “Kenapa nggak bisa? Karena dia, ibu langsung mencap kamu mandul dan menyodorkan Meta padaku. Paling nggak kalau kita komplain, ada permintaan maaf dari dia,” sahut mas Haikal. Aku menghela napas panjang, karena bukan itu tujuanku. Buat apa komplain? Sudah basi aku r