“Tolong!” teriakku sekencang-kencangnya dengan harapan ada yang mendengar dan memberi pertolongan padaku. “Diam, Amanda!” sentak mas Haris. “Lepaskan Aku, lelaki laknat!” teriakku dengan tubuh yang terus memberontak agar bisa terlepas dari cengkeramannya. Namun, cekalan tangan mas Haris sangat kuat. Hingga sia-sia saja diri ini berontak. Aku terus memaki mas Haris, berharap kalau dia kesal dan melepaskan cekalan tangannya untuk memukulku. Sehingga dengan begitu aku bisa berlari keluar kamar yang pintunya tak ditutup oleh mas Haris. Mungkin dia sengaja tak menutup karena di rumah tak ada orang, atau mungkin dia tak sempat menutup karena fokus menyeret tubuh ini ke kamar orang tuaku. Seringai mas Haris muncul dari bibirnya ketika aku menyebutnya ‘lelaki laknat’ barusan. Dia sama sekali t