Sandra masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu dengan keras, pembicaraan di meja makan malam ini benar-benar menghancurkan moodnya dan membuatnya marah dan kesal bukan main.
"Farel brengseek! Kenapa sih dia datang lagi di hidupku!? Hidup aku udah tenang dan bahagia, kenapa sih hobi banget ganggu kehidupan orang lain?" omel Sandra kesal sambil kini berjalan mondar mandir tidak tenang.
Bertemu dengan Farel setelah sekian lama saja sudah membuat Sandra merasa sangat terganggu dan tidak nyaman. Memang interaksi nya dengan Farel tadi bisa dibilang sangat kecil, tapi bagi Sandra ini berbeda. Bertemu lagi dengan Farel sama seperti petaka bagi Sandra. Semua kenangan yang muncul berkaitan dengan Farel bak mimpi buruk bagi gadis itu.
Sandra kini melamun tanpa sadar, pikirannya kini dipenuhi dengan semua kenangan ketika ia tengah berada di SMA, atau lebih tepatnya saat ia baru pindah ke SMA yang sama dengan Farel. Sekujur tubuh gadis itu mendadak terasa tidak enak, apalagi perasaannya.
Gadis itu segera menyadarkan dirinya dari lamunan, ia menarik napas dalam dan coba mengontrol pikirannya. Kini ia menfokuskan dirinya pada ancaman papa terakhir kali sebelum ia memutuskan meninggalkan meja makan.
"Gimana kalau ucapan papa emang benar? Gimana kalau papa emang ambil semua fasilitas yang sekarang aku nikmati? Bisnisku kan baru aja mau dirintis lagi, kalau papa beneran narik semua yang aku punya, semuanya jadi kembali dong?" Sandra terlihat panik sendiri dengan pemikirannya.
Seumur-umur baru kali ini sang papa bicara dan mengancam demikian.
Dengan cepat wanita berambut pendek sebahu itu menggeleng menenangkan diri, "nggak mungkin, nggak mungkin papa berani ngelakuin itu. Pasti papa cuma gertak doang. Aku anaknya, apa dia tega?"
Sandra kini bergerak duduk di sudut ranjang sambil mengambil ponselnya dan menelpon nomor teratas, ia menempelkan ponsel miliknya di telinga kiri menunggu jawaban.
"Halo sayang?" Sandra bersuara saat panggilan itu akhirnya diangkat setelah beberapa saat menunggu.
"Ya sayang, kenapa?" terdengar jawaban dari seorang laki-laki dari seberang.
"Lagi dimana?"
"Lagi nongkrong nih di bar, kenapa memang?" Jawab suara di seberang apa adanya, karena suara lain yang terdengar memang seperti menggambarkan keadaan di bar.
"Ih? Kamu ke bar? Bareng siapa?" Sandra langsung mengerutkan dahinya.
"Baru juga datang sama anak-anak yang lain, mau ngobrol doang. Memangnya kenapa?"
"Baru nyampe banget? Aku lagi kesel nih." adu Sandra sambil menghela napas lelah.
"Kenapa? Yaudah, kamu maunya ngapain? Ketemuan?"
"Mau keluar rumah intinya, ajakin aku kemana gitu. Mau nyari udara segar, rumah sumpek banget nih."
"Hm, okey, aku langsung jemput aja deh."
"Nggak papa kan? Kamu soalnya baru nyampe bilangnya tadi." Walau Sandra begitu ingin keluar, tapi tetap saja ada sedikit perasaan tidak enak.
"Ga masalah lah, apa sih yang lebih penting dari kamu? Aku kesana ya? Kamu siap-siap, eh nggak siap-siap pun ga papa kok, udah cantik juga apa adanya."
Sandra langsung tersenyum mendengar ucapan Dika, sang kekasih yang selalu bisa membuatnya tersipu malu hanya dengan kata-kata "okey, kamu hati-hati."
"Kira-kira dua puluh menit aku nyampai ya, aku langsung jalan soalnya."
"Oke sayang, hati-hati di jalan." Sandra mematikan panggilan dan langsung bergerak untuk berganti pakaian dan bersiap.
***
"Rel, jadi gimana menurut kamu?" tanya mama pada Farel saat malam ini mereka duduk berdua di depan televisi setelah makan malam bersama yang lain, tapi sekarang hanya mereka berdua yang ada di depan televisi yang menyala.
Farel diam sejenak karena baru saja mamanya membahas perihal perjodohan dirinya dengan Sandra, gadis yang tadi baru ia temui di sebuah acara resepsi pernikahan.
"Kamu nggak ingat Sandra?" tanya mama pada Farel karena sulungnya itu tak kunjung menjawab.
Pria itu menggeleng, "aku rasanya tidak asing dengan namanya, tapi aku tidak begitu ingat."
"Itu sudah lumayan lama sejak terakhir kali kalian SMA, dan mungkin kamu juga tidak begitu ingat karena kejadian beberapa waktu lalu. Atau mungkin kalian memang tidak dekat dan tak begitu kenal saat sekolah. Tapi intinya mama dan mendiang papa kamu udah deket kok sama keluarganya Sandra. Sedikit banyaknya orang tua Sandra juga paham banget sama keadaan keluarga kita, dari dulu kita udah sering saling bantu. Sandra pun baik anaknya, walaupun papa mamanya bilang sedikit ceroboh, karena itu mereka mau sekali menjodohkannya dengan kamu." mama kembali menambahkan penjelasan agar Farel yakin.
"Mama seyakin itu dengan Sandra?" tanya Farel sebelum ia mengambil keputusan, ia memperhatikan raut wajah orang tuanya itu dengan seksama.
"Tidak apa kalau kamu tidak ingin karena mama ga mau maksa kamu. Tapi selama ini mama ngelihat kamu terlalu sibuk kerja dan tidak begitu memperhatikan tentang kehidupan pribadi. Kamu memangnya belum ada niat nyari pasangan?"
Farel menarik napas dalam, hingga akhirnya mengangguk, "baiklah kalau mama emang yakin dan setahuku Pak Indra orangnya juga sangat baik, aku akan coba jalani perjodohan ini. Lagian sekarang aku juga sedang tidak dekat dengan siapa-siapa, jadi tidak ada salahnya mencoba, kan?"
Mama langsung tersenyum mendengar jawaban si sulung, "syukurlah, mama yakin Sandra anaknya juga baik, kalau secara fisik mah nggak perlu diraguin, kamu tadi lihat sendiri kan kalau Sandra itu orangnya cantik?"
"Tapi, apa Sandra juga sudah tahu perihal ini?"
"Malam ini orang tuanya juga bakal kasih tahu Sandra, semoga aja dia juga mau ya Rel, jalanin perjodohan ini. Mama akan seneng banget kalau seandainya memang bisa besanan dengan Pak Indra dan Bu Sania."
Farel tersenyum kecil melihat rona senang serta bersemangat dari wajah mamanya itu, "Sandra itu punya kakak laki-laki kan, Ma? Rasanya aku pernah dengar tentang anak laki-lakinya Pak Indra."
"Iya, namanya Gilang. Sekarang dia ikut mengurus di perusahaan keluarga Pak Indra, bukan?"
"Ya, aku pernah melihatnya di sebuah pertemuan bisnis. Lalu Sandra, apa dia juga sedang di perusahaan keluarganya."
Mama menggeleng, "Bu Sania bilang kalau Sandra tidak mau bergabung dan ingin berbisnis sendiri ya walaupun masih sangat belum stabil."
Farel yang menyimak hanya bisa mengangguk, "oh begitu ternyata."
"Nanti mama kabarin Pak Indra sama Bu Sania kalau kamu mau terima ya, Rel."
"Iya, Ma."
"Ngomong-ngomong Rel, kamu udah sempat ke rumah sakit ga?"
Farel mengangkat sebelah alisnya dan wajahnya tampak agak bingung "hm?"
"Waktu itu dokter pernah bilang kamu untuk check up lagi kan?"
Farel hanya mengangguk kecil, namun tidak menjawab.
"Jadi?"
"Udah kok."
"Lalu gimana?"
"Aman, dokter bilang gak ada yang harus dikhawatirkan."
"Tapi kamu emang merasa udah gak kenapa-napa?"
Farel tertawa, "mama lihat sendiri kan aku baik-baik saja, semua sudah normal."
"Syukurlah, mama harap memang begitu."