Flower-4

1284 Kata
Ketika aku membuka mata mendapati diriku ada di atas ranjang kamar. Aku segera bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Akhza. Beberapa kali aku memanggilnya tapi suamiku itu tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Barulah setelah panggilan keempat, itupun dengan volume suara paling maksimal akhirnya Akhza muncul dari bali pintu kamar.  “Ada apa?” tanyanya setelah duduk di pinggiran ranjang. Tangannya terulur untuk menyingkirkan anak rambut yang berjatuhan di sekitar keningku.  “Kamu dari mana aja?”  “Aku dari dapur ambil air minum buat kamu,” ucapnya.  Akhza mengulurkan gelas ke depan mulutku dan memintaku untuk meminum air dari dalam gelas tersebut secara perlahan.  “Kamu kenapa bisa sampai pingsan? Apanya yang sakit?” tanya Akhza setelah merebahkanku kembali di atas bantal.  “Tadi waktu kamu mandi dengar bunyi dentuman keras nggak di halaman depan?” tanyaku masih dalam suasana ketakutan.  Akhza menggeleng. “Aku nggak denger suara apa-apa selain suara pecahan beling dari dapur. Waktu aku nyari tahu ke dapur, kamu sudah pingsan di depan kompor yang sedang menyala. Hampir saja rumah ini hangus terbakar kalau aku terlambat lima menit,” jelas Akhza.  Aku segera menarik tubuhku kembali ke posisi duduk dan menatap tidak percaya pada Akhza. “Apa kamu bilang? Kamu menemukan aku pingsan di dapur? Aku itu pingsan di ruang tamu. Waktu mau nyari tahu suara dentuman di halaman depan rumah kita, Za.”  “Kamu meragukan aku, Moni?”  “Nggak gitu maksud, aku, Za. Beneran kamu nggak dengar suara dentuman atau suara kayak benda besar jatuh di depan rumah? Aku aja yang dari dapur denger, loh, Za.”  Akhza menggeleng pelan. “Aku lagi di kamar mandi,” jawabnya.  “Shower bikin kamu nggak dengar apa-apa dari luar,” keluhku, mengalihkan pertanyaan kesal dari Akhza. “Aku teriak-teriak di pintu ruang tamu manggil kamu, kamu nggak dengar sama sekali sampai aku pingsan karena ketakutan.” “Sekarang kamu nyalahin shower. Lagi pula, meski shower nyala, aku tetap bisa dengar kalau kamu memang teriak dari ruang tamu, Moni. Masalahnya aku sama sekali nggak dengar suara teriakan kamu. Dan satu hal lagi yang mesti aku tegasin. Aku itu menemukan kamu pingsan di dapur, bukan di ruang tamu,” ucap Akhza penuh ketegasan dan tidak terbantahkan.   Aku meringis ketakutan. “Masa, sih, Za? Tapi aku nyata-nyata merasa kalau ada di ruang tamu. Bahkan aku sempat membuka pintu ruang tamu,” jelasku berusaha meyakinkan Akhza.  “Sini ikut aku kalau kamu nggak percaya sudah hampir membuat rumah ini hangus terbakar,” ujar Akhza mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit dari tempat tidur.  Dengan masih dipenuhi rasa ketakutan aku mengikuti langkah Akhza sambil menggenggam erat tangan suamiku itu. Dia membawaku ke halaman belakang, kelebihan lahan sekitar tujuh meter saat membeli unit rumah ini dari developer perumahan. Masih berupa tanah padat yang biasa aku gunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian. Di halaman ini tidak ada tanaman sama sekali.  Sesampainya di halaman belakang Akhza menunjukkan padaku penggorengan yang telah gosong sepenuhnya, lengkap dengan beberapa potong tempe yang sedang aku goreng dan juga dalam keadaan gosong. Minyaknya saja sudah berwarna hitam pekat seperti oli bekas sepeda motor. Aku menutup mulut dengan tangan yang sedang tidak menggenggam tangan Akhza. Sementara tanganku yang masih menggenggam tangan Akhza semakin mengeratkan genggamanku di sana.  “Bagaimana semua ini bisa terjadi? Sebelum aku ke ruang tamu jelas-jelas sudah mematikan kompor, Za. Aku inget banget,” ucapku lesu.  Akhza lalu menunjukkan bekas pecahan piring yang ditemukannya di samping kakiku. “Padahal aku lagi ngidupin shower, tapi aku denger suara pecahan piring ini. Aku buru-buru bersihin badanku dari shampo dan sabun lalu lari ke dapur untuk nyari tahu. Waktu aku sampai dapur, kamu udah pingsan dan penggorengan itu udah gosong, posisi api udah penuh di sekeliling penggorengan,” jelas Akhza.   Aku menangis lalu menghambur ke pelukan Akhza. “Maafin aku, Za. Gara-gara kelalaianku, aku hampir aja membunuh kita berdua,” ucapku sambil sesenggukan.  “Udah, jangan nangis. Yang penting kamu nggak apa-apa. Kayaknya kamu kecapekan dan kurang tidur. Tadi aku periksa tensi darah kamu, tekanan darah kamu rendah banget, Moni. Kamu lagi sakit?”  Aku menggeleng pelan. “Aku juga nggak capek dan kurang tidur, Za. Aku sempet tidur siang, dan malam pun udah jarang lembur karena belum ada barang baru yang datang.”  Akhza lalu mengajakku kembali ke dalam rumah. Dia memintaku memesan makanan melalui layanan pesan makanan online untuk kami berdua. Karena dia tidak ingin merepotkanku dan juga supaya aku bisa segera istirahat untuk menenangkan pikiranku.  Sejujurnya aku masih penasaran pada apa yang aku saksikan sebelum pingsan tadi. Makhluk itu nyata adanya dalam pandanganku. Tekanan makhluk itu di pundakku pun juga terasa nyata. Aku juga merasakan sakit di tenggorokan ketika terbangun tadi karena sudah berteriak histeris memanggil Akhza dari ruang tamu. Namun aku seperti kehabisan kata-kata untuk memberi penjelasan pada Akhza. Apa pun penjelasanku pasti akan terpatahkan oleh argumennya yang begitu realistis.  Keesokan paginya aktivitas di rumah ini tampak berjalan seperti biasanya. Aku menyiapkan keperluan Akhza berangkat kantor juga seperti biasanya. Dan ketika aku mengantar Akhza ke teras depan dia menatapku dengan penuh kelembutan.  “Kamu menolak kedatangan tamu di rumah ini sampai sakit kayak gini, Yank,” ucapnya tiba-tiba.  “Aku nggak sakit, Za.”  Akhza tersenyum. Namun senyumnya itu bukan senyum lembut seperti biasanya. Senyumnya kali ini lebih mengarah pada senyum yang dipaksakan. Dan aku benci senyumannya yang satu itu.  “Aku akan bilang sama orang kantor kalau acara makan malam di rumah ini reschedule sambil mencari restoran yang pas untuk meeting dengan nyaman, tanpa takut terganggu ada orang luar yang bisa menguping pembicaraan kami. Tapi resikonya aku akan pulang lebih terlambat. Nggak apa-apa?”  “Za, nggak apa-apa lagi, meetingnya di sini aja. Kamu tinggal bilang mau dimasakin apa untuk teman-teman kantor kamu. Biar aku bisa belanja pagi ini. Jadi siang nanti aku udah mulai masak.”  “Nggak apa-apa, Moni Sayang. Aku juga mikir akan sangat merepotkan kalau kami makan di sini trus kamu mengatasi urusan dapur dan meja makan sendirian.”  “Aku bisa ajak salah satu karyawanku untuk bantu-bantu di dapur. Jangan di-reschedule, ya.”  Akhza tampak berpikir. Akhirnya dia mengangguk sambil berkata, “Ya udah, nggak jadi reschedule, tapi kamu nggak perlu masak banyak-banyak. Cukup siapin minuman dan camilan saja. Biar makannya pesan online.”  “Nambah pengeluaran, Za.”  “Nggak, kok. Aku bisa reimburse nanti di bagian keuangan. Malah kalau pesan lebih enak, ada struk p********n sah dan bisa di reimburse tentunya.”  “Oke, deh. Gimana baiknya menurut kamu. Yang penting jangan reschedule dan tetap di rumah ini aja.”  “Makasih, ya, Moni. Kamu pengertian banget.”  “Justru kamu yang pengertian banget sama aku, Za.”  Akhza tersenyum lembut kali ini. Bukan senyum terpaksa seperti sesaat yang lalu. “Aku berangkat kerja dulu, ya,” ucapnya setelah mengecup keningku.  “Hati-hati di jalan, Za.”  Akhza mengangguk dan berjalan cepat menuju mobilnya. Aku mengikuti langkahnya menuju pintu pagar dan membukakannya untuk Akhza.  “Makasih, Moni,” ujar Akhza sebelum akhirnya dia tancap gas meninggalkan rumah menuju kantornya.  Setelah mengunci pagar rumah dengan gembok aku berkeliling halaman depan untuk memeriksa apa ada hal aneh di halaman rumahku ini. Aku memerhatikan tanaman-tanaman dan pohon bungaku. Tidak ada hal yang aneh juga terjadi di antara makhluk ciptaan Tuhan selain manusia yang sudah aku anggap sebagai anak itu. Kalau salah satu dari mereka layu apalagi mati aku bisa sangat sedih bahkan tak jarang menangis. Merasa kehilangan dan telah menjadi ibu yang tidak becus merawat anak-anaknya. Kata Akhza kalau nanti Tuhan mengizinkan aku memiliki momongan, aku pasti akan menjadi ibu yang protektif dan cenderung posesif.  Tapi pemikiran Akhza nggak salah juga. Karena aku memang begitu adanya.  Aku kembali ke dalam rumah untuk memulai aktivitas pagiku, termasuk mulai membuka online shop milikku, Monic’s Fashionable.  ~~~  ^vee^ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN