Part 1. Dipaksa Menikah
Siang itu, saat aku masih mengajar di kampus. Tiba tiba dering handphone ku membuatku kaget. Sekilas aku tengok, ternyata ada telpon dari abah.
Tumben sekali pikirku, abah menelponku di saat jam mengajar di kampus. Lalu bergegas ku angkat telponnya.
"Hallo, Assalamualaikum, Bah? Tumben menelpon saat aku masih ngajar di kampus, apa ada yang penting?" tanyaku cemas.
"Waalaikumsalam nak, bisa pulang sekarang? Ada hal penting yang Abah mau bicarakan. Sementara kamu ijin saja hari ini, pulang lebih awal. Nanti Abah sampaikan kalau sudah di rumah alasannya. Jangan banyak tanya dulu, dan lakukan saja apa yang abah perintahkan tadi,” ujar abah, kemudian buru buru mematikan telponnya. Padahal, belum sempat aku menjawab.
Seketika pikiran langsung melanglang buana, mencari jawaban atas tanyaku itu. Tumben sekali, biasanya abah tidak pernah sekalipun menelpon ku di saat jam mengajar di kampus.
Daripada berlama lama dengan asumsiku sendiri. Langsung saja ku akhiri jam mengajarku hari ini. Dengan memberikan para mahasiswaku tugas.
Setelahnya aku bergegas pergi, menuju ruang Dekan. Meminta ijin pulang cepat hari ini. Agar bisa sampai rumah tepat waktu.
*****
Sesampai di rumah, setelah mengucap salam. Kemudian aku menyalami, dan mencium punggung tangan abah dan umi. Lirikan mataku tertuju ke arah kursi lain, ternyata sudah ada Pak de dan bude ku. Serta ada pak Rt, tetangga samping rumah dan juga penghulu, beserta petugas KUA.
Belum sempat bertanya, tiba tiba umi meraih tanganku dan menggandengku masuk ke kamarnya. Mengambilkan kebaya putih milik umi. Yang dulu pernah di pakai umi saat menikah dengan abah. Kemudian, tanpa ada penjelasan. Beliau menyuruhku untuk mengenakannya.
Aku yang masih bingung dengan semua ini. Lalu menolak dengan halus, untuk mengenakan kebaya itu.
"Umi, kenapa tiba tiba aku disuruh pakai kebaya ini? tanpa ada penjelasan terlebih dahulu. Kalau umi nggak mau jelasin sekarang, aku nggak mau pakai," aku merajuk bak anak kecil yang nggak di belikan permen.
Kemudian Umi dan Abah pun, saling beradu pandang. Bingung, siapa duluan yang akan menyampaikan terlebih dulu kepadaku, apa yang mengganjal di pikirannya. Agar nantinya aku bisa menerima penjelasan mereka dengan lapang d**a. Dan akhirnya abah pun yang memilih untuk menjelaskan.
"Nak, abah tau pasti kamu bingung. Banyak pertanyaan di benak kamu kenapa abah menyuruhmu pulang lebih awal dari biasanya,” kata abah kepadaku yang membuatku semakin penasaran.
"Lebih baik kamu minum dulu," abah menyodorkan segelas air putih kepadaku. Yang langsung aku minum sampai habis tak tersisa, karena kebetulan tadi kehausan di jalan perjalanan pulang, tak sempat membeli minum.
"Sekarang abah jelaskan, tadi abah dapat telpon dari istrinya Ziyad. Nah, Ziyad ini sahabat abah yang dulu sama sama menimba ilmu di kota Mesir. Dulu, sewaktu kami muda iseng iseng kalau sudah menikah nanti. Sempat membuat kesepakatan, jika dia punya anak laki laki atau jika abah punya anak perempuan. Atau sebaliknya, kami berdua berjanji akan menjodohkan anak anak kami kelak. Lama Abah tak berjumpa dengannya. Sekali akan bertemu, malah dapat kabar, kalau sekarang dia sedang kritis di rumah sakit karena penyakit komplikasi.
Abah kira, Keisengan soal kita dulu waktu muda menjodohkan anak anak kami ini sebagai gurauan semata. Tapi Ziyad malah menganggap nya serius dan sekarang menagih janji itimu pada abah untuk menjadikanmu menantunya...” papar Abah serius.
Aku yang mendengar penjelasannya, seketika langsung syok, dan reflek tersedak.
"Uhuk... uhuk…”
Aku pun tersedak, mendengar penjelasan abah yang belum usai. Lalu umi pun, memberikanku lagi air minum.
"Dan hari ini selain melamarmu untuk anaknya Thoriq. Dia berwasiat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, dia ingin Thoriq menikahimu hari ini juga. Abah dan Umi sudah memutuskan menerima lamaranya,” imbuh Abah dengan tangisnya yang sudah tak bisa di bendung lagi.
Sementara nyaliku menjadi ciut, bingung dengan keputusan abah yang terlalu mendadak itu.
"Haah? Secepat ini, kenapa abah tidak bertanya dulu kepadaku tentang keputusanku? Aku bahkan belum pernah sekalipun melihat wajah nya si Thoriq, Bah?" aku berusaha meyakinkan abah, "berikan aku waktu sehari saja, Bah? Untuk memutuskan. Karena ini adalah keputusan berat, yang menyangkut kebahagiaanku untuk selamanya," rengek ku pada abah sambil memegangi tangannya.
"Nggak bisa Humaira! Waktunya sudah mepet. Ibarat janji adalah hutang. Kamu harus setuju. Mau tak mau, kamu harus menikah hari ini juga. Abah yakin ini juga sudah jalan dari Allah untuk kamu. Insyaallah ini yang terbaik!" bentak abah dengan nada tinggi yang membuatku ketakutan sambil menundukkan wajah, menahan tangis.
"Thoriq adalah lelaki yang sholeh, mapan, dan dari keluarga baik baik. Apalagi abahnya Thoriq adalah sahabat abah. Jadi abah tau bibit bebet bobot nya kayak gimana. Kamu pasti bahagia kalau menikah dengannya, abah jamin itu. Apalagi, dulu kan pernah waktu kamu masih kecil. Umur 7 tahun di ajak abah sama umi, ke rumah Ziyad. Saat itu Thoriq berumur 8 tahun, baru pulang dari pondok karena liburan. Kamu malah bermain main dengannya. Malahan saat kamu tergelincir dari sepeda menangis. Dia yang menolongmu dan mengobati luka di lututmu. Dari kecil saja, sudah bisa di lihat. Kalau dia penuh pengertian dan bertanggung jawab, sopan sama yang lebih tua. Dan setelah itu abah sudah nggak bertemu lagi sama sahabat abah. Ziyad pindah ke lebanon menetap di sana. Baru tau juga, dia sudah balik ke Indonesia. Karena kabar tak sedap tadi. Apa kamu sudah ingat sekarang?” imbuhnya mengungkapkan semua dengan nada pelan, sambil mengusap usap kerudungku dan memelukku erat dalam depannya.
Aku tak kuasa, lalu tangisku pun luruh, tak terbendung lagi.
"Hu… hu… hu…”
“Aku sudah lupa akan itu semua, Bah? Lagian, kenapa mendadak dan terlalu memaksa sih, Bah? Wajahnya Thoriq pun, aku udah lupa...” jawabku berusaha meyakinkan pada abah, agar berpikir ulang.
Tapi percuma saja, sekeras apapun aku menolak pernikahan ini. Maka sekeras itu pulalah Abah akan memaksaku.
Aku heran pada Abah, kenapa dia bisa seyakin itu pada Thoriq. Semua yang di jelaskannya itu kan waktu dulu. Mungkin saja, sekarang Thoriq telah berubah.
Aku menarik nafas panjang. Mensugesti otakku, agar membuang jauh-jauh pikiran buruk sangka pada Thoriq, calon suami yang segera akan menjadi imam untukku, setelah ini.
Sebenarnya aku tak siap dan tak setuju dengan keputusan abah, yang sangat mendadak itu. Namun, untuk menghargai abah. Aku berusaha, untuk mempercayai ucapannya saja. Bukan berarti, setuju dengannya.
Sementara, abah tak henti-hentinya membujukku dengan berbagai cara. Agar aku menuruti kemauannya yang sepihak dan instan itu, namun tetap ku tolak.
Kini giliran umi, maju untuk membujukku, sambil menasehati.
"Humaira, nurut sama abah ya nak... insyaallah kalau nurut sama orang tua hidupnya berkah." Papar Umi sambil mengusap usap punggungku, dan mencoba menenangkanku dan meyakinkanku.
Tapi semua itu percuma, aku sudah terlanjur kecewa pada abah dan menolaknya mentah mentah. Bagaimana bisa, setega itu padaku, putri semata wayangnya.
Melihat aku masih bersikeras menolak, kemudian abah berdiri dan menghampiriku. Dengan sorot tajam matanya dan amarah yang menggebu, mengancamku kalau aku tak menyetujui pernikahan ini. Maka besok, aku tak boleh lagi jadi Dosen dan harus berhenti mengajar selamanya.
Ancaman abah membuatku gemetar, takut kalau itu akan menjadi kenyataan. Karena abah tak pernah main-main dengan ucapannya.
Akhirnya Abah mengeluarkan jurus pamungkasnya, ini lah kelemahanku. Profesi sebagai Dosen adalah cita citaku sejak dulu, demi menjadi Dosen. Aku rela belajar mati matian dan menjadi asisten Dosen kala itu. Merayunya dengan menuruti kemauannya untuk menggantikan mengajar, saat beliau tak bisa hadir dan juga memberi bimbingan pada mahasiswa yang mengerjakan skripsi.
Hatiku sakit, di ancam seperti itu oleh abah. Seketika tangisanku pun, semakin kencang. d**a terasa sesak dan panas. Kini, siapa lagi yang akan mengerti isi hatiku, mengapa abah dengan tega memaksaku untuk menikah secepat ini.