Let's Start The Party
"Jadi besok siapa yang temani kamu jalan ke altar?" tanya Jill yang sedang bergelung di dalam selimut, persis di sebelah Luna.
Malam ini Jill dan Domi tidur bersama Luna di hotel karena besok pagi-pagi sekali tim Mia akan datang untuk merias mereka. Lagipula ketignya ingin menghabiskan waktu bersama untuk melepas masa lajang Luna. Merayakan malam terakhir Luna sebagai seorang perawan. Mulai besok, gadis itu sudah tidak suci lagi.
"Papi," jawab Luna singkat. Dia sedang asik dengan ponselnya. Sepertinya sedang berbalas pesan dengan Juro. Terlihat dari wajahnya yang tersenyum kecil beberapa kali.
"Papi yang mana?" Jill kembali bertanya. Sedikit merasa heran karena Luna biasanya menyebut suami ibunya dengan sebutan papa, bukan papi.
Luna menoleh sebentar sebelum matanya kembali ke layar ponselnya. "Papi kandung gue."
Begitu mendengar jawaban Luna, Domi yang sejak tadi sedang sibuk sendiri dengan ponselnya di sofa depan televisi, langsung melompat dan menerjang Luna.
"Papi kandung dari mana?" Domi mengguncang bahu Luna dengan kencang.
"Eh, bego! Sakit!" Luna menepak tangan Domi tidak kalah kencang. "Lo mau bikin gue jadi kelihatan kayak korban KDRT sebelum gue resmi kawin? Bahu gue bisa bonyok lo remukin gini."
Domi terbahak kencang melihat wajah Luna yang benar-benar kesal. Dia memang tidak pernah gagal memancing emosi Luna. "Bagus juga ide lo. Biar lo batal kawin jadinya. Biar pendetanya mikir Juro suka mukulin lo, jadi dia batal berkatin kalian," balas Domi dengan tawa jahat.
"Sumpah, ya! Mulut lo jahat banget, Dom!" hardik Luna sambil mendorong Domi sampai gadis itu terjungkal dari tempat tidur.
Domi yang mendarat cantik di atas karpet, sama sekali tidak marah. Ia menoleh sedikit untuk memeriksa kondisi bokongnya. Ketika sudah tahu b****g indahnya masih tetap indah, Domi tersenyum lebar. "Gue masih nggak rela aja dia ganti status jomblo akut lo jadi sold out. Oke, balik ke urusan bokap kandung. Sejak kapan lo punya bokap kandung?" Kali ini nadanya sedikit serius. Hanya sedikit.
"Sejak gue brojol, Domi! Lo pikir gue anak setan main lahir-lahir aja nggak ada yang nyumbangin s****a," sentak Luna kesal. Nadanya naik semakin tinggi, entah sudah berapa kali overtune sejak awal berbicara dengan Domi.
"Eits, yang besok pecah perawan!" Telapak tangan Domi mendarat cantik di paha mulus milik Luna, memberikan guratan merah muda nan indah di sana. "Udah lancar ngomong s****a lo. Besok-besok yang dibahas ukuran roket lakinya, nih!"
Jill menggeleng. Pusing mendengarkan ocehan Domi. "Sejak kapan kamu ketemu Papi kamu?"
"Minggu lalu." Nada bicara Luna langsung merosot drastis kalau bicara dengan Jill.
"Gimana ceritanya?" tanya Jill lagi.
"Bokap gue datang ke rumah Mama Rissa. Pengin ketemu gue buat minta maaf."
"Terus lo langsung maafin bokap lo gitu? Bukannya lo benci banget?" Domi ikut penasaran kali ini. Tanpa sadar dia sudah kembali duduk di tempat tidur, dekat kaki Luna. Dia dan Jill sendiri yang menjadi saksi betapa bencinya Luna pada pria yang berjasa membuatnya terlahir tanpa keluarga yang utuh.
"Karena ternyata Papi nggak sejelek sangkaan gue selama ini. Dia dipaksa keluarganya buat ninggalin Mami pas tahu nyokap gue itu hamil. Bokap dibuang keluar negeri. Pas bokap bisa balik, nyokap udah kawin sama Papa Davin." Luna menceritakan semuanya dengan ringan, tanpa beban sama sekali.
"Terus lo percaya gitu aja?" cecar Domi. Masih tidak percaya.
"Bokap gue cinta mati sama nyokap. Sampai sekarang dia nggak nikah."
"Yakin karna bokap lo cinta mati sama nyokap?" Seringai di wajah Domi mulai terlihat jahat. "Bukan karna bokap lo melintir?"
"g****k!" maki Luna kesal. Ditendangnya b****g Domi untuk mengusir gadis itu dari tempat tidurnya.
Tapi kali ini Domi lebih sigap, ia sudah bersiaga sejak terpikir untuk melontarkan pertanyaan bodoh itu. Domi sudah melompat dari tempat tidur tepat sebelum kaki Luna mengenai bokongnya. Domi kembali terbahak. "Ni calon penganten udah ngebet banget pengin ditusuk kayaknya, yak! Tegangan tinggi banget lo."
"Mulut lo tuh sembarangan banget! Masih mending sampah daripada mulut lo, Dom!" Sebuah bantal kecil berukuran 40x40 cm melayang dan menghajar wajah Domi.
Domi menangkapnya dan membuangnya ke lantai. Dalam sekali lompatan, ia kembali mendarat di tempat tidur. Gadis ini memang mempelajari banyak ilmu bela diri, dan kemampuannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain mendekati kehebatan leluhurnya. Simpanse. Berikan saja tiang, tali, pohon, atau sulur juga boleh. Lihat saja sendiri bagaimana Domi akan berayun-ayun dengan lincah. "Eh, lihat foto bokap lo, dong!"
"Nggak ada. Lagian kalau ada juga nggak bakal gue kasih lihat sama lo." Refleks Luna langsung menduduki ponselnya. Padahal di sana tidak ada fotonya bersama ayahnya.
"Bego dipiara ni anak!" Domi mendorong dahi Luna dengan telunjuknya "Lo kaga kasih lihat juga, besok gue kan bisa lihat."
"Lu, mending tidur deh." Jill menengahi. Lelah dengan perdebatan antara Luna dan Domi. "Biar besok kamu fit. Jangan sampai ada lingkar hitam di bawah mata kamu. Kamu juga, Dom. Berhenti deh gangguin Luna, bikin orang dosa aja malam-malam gini."
"Nggak asik lo lo pada!" Domi menyerah. Kalau Jill sudah bertitah, sebaiknya ia menurut saja. Jill itu tenang, kalem, lebih banyak diam, tapi punya kemampuan untuk menguasai orang lain. "Ya udah, gue mau lanjut chat sama gebetan gue."
"Sejak kapan lo punya gebetan?" Alih-alih memejamkan mata, Luna malah kembali tertarik dengan pernyataan Domi.
"Eh, lo kate gue kaga laku? Sebelum n****e gue nongol aja udah banyak cowok yang antri daftar jadi pacar gue."
"Gue tahu Maha Ratu! Maksud gue, sejak kapan lo getol nanggepin gebetan lo. Biasa lo tendang-tendangin mereka. Model sempak sekali pake doang!" Luna mencibir dengan sadis.
"Yang ini beda. Kalian mesti lihat." Domi tersenyum bangga.
"Lo bilang nggak akan jatuh cinta," ejek Luna. Kali ini merasa menang. Domi akan menjilat ludahnya sendiri sebentar lagi.
"Udah gue bilang yang ini beda. Sumpah!" Domi mengacungkan kedua jarinya di atas kepala. "Rela gue nyembah kalian berdua juga gegara udah langgar sumpah gue sendiri."
"Besok dia datang?" tanya Jill antusias.
"Sayangnya nggak bisa. Dia lagi ada acara keluarga." Domi menampakkan wajah sedihnya. Entah sungguh-sungguh, entah pura-pura. Gadis satu ini memang terlalu pandai berakting. Salah dia memutuskan menjadi seorang presenter. Harusnya Domi ikut dalam casting untuk menjadi bintang film. Yakin seratus persen gadis ini akan menyabet semua penghargaan untuk pemeran antagonis. Mukanya terlalu jahat untuk dikalahkan oleh jajaran artis berwajah jahat lainnya.
"Lo yakin dia serius sama lo?" tanya Luna menyangsikan ucapan Domi. "Nemenin lo ke acara penting kayak gini aja nggak mau."
"Mikir lo kejauhan. Gue emang belom ada apa-apa sama dia. Gue aja yang gencar nyerang dia terus." Herannya Domi bisa mengatakan hal memalukan semacam ini dengan nada penuh kebanggaan. Benar-benar rusak otaknya. "Dianya sih lempeng aja."
"Ih, najis banget, lo! Jadi cewek nggak punya harga diri banget!" maki Luna sambil bergidik.
"Harga diri nggak penting. Soalnya cuma dia cowok yang bisa bikin gue turn on. Lihatin muka dia 5 menit aja gue langsung h***y, padahal dia cuma diam doang." Ketika mengatakan hal itu, wajah Domi berubah. Bersinar-sinar dan nampak menjijikan. Sejenis gadis psikopat pengagum dan pemuja idolanya, yang berpotensi menghabisi nyawa pujaannya sendiri jika cintanya ditolak.
"Asli, cacat mental lo, Dom!" hardik Luna. Heran, kenapa dia dan Jill bisa bertahan berteman dengan orang macam Domi. Berfaedah, tidak. Bawa dosa, jelas.
"Eh, Kunyuk! Mending tidur lo sana. Ngerusak imajinasi liar gue aja lo."