Vega berjongkok seketika saat salah satu dari buku yang dia bawa terjatuh. Lalu gadis itu menyadari jika tali sepatunya terlepas. Vega berdecak pelan. Bell sekolah sudah berbunyi sejak tadi tapi dia masih ada di lorong sekolah. Ini karena dia bangun kesiangan tadi.
Ini semua karena Teh Ririn! Semalam Teh Ririn mengajaknya nonton drama Korea kesukannya. Awalnya Vega ingin tidur saja. Setekah beberapa episode, gadis itu mulai tertarik lalu menonton Drama Korea bersama Teh Ririn hingga jam tiga pagi.
Padahal pagi ini dia ada jam pelajaran bahasa inggris yang gurunya sangat galak. Bisa-bisa dia dihukum jika ketauan telat. Karena itu Vega buru-buru mengikat tali sepatunya agar bisa cepat masuk ke kelas.
Gadis itu bangkit, hendak kembali melanjutkan langkahnya. Namun, dia malah tersandung salah satu bukunya dan hampir jatuh. Vega memekik kaget. Dia sudah hampir terjungkal saat sebuah lengan menahan tubuhnya.
Dia mendongak dan mendapati bola mata hitam sendu itu menatapnya lekat. Dan Vega pun tidak kuasa menahan senyumnya. “Lian?” ujarnya lirih.
Bola mata gadis itu bersinar ketika menatap mata Lian. Entah kenapa Vega bisa begitu senang ketika melihat pemuda itu. Dadanya terasa berdebar lebih kencang karena kehadiran Lian. Angin pagi yang sejuk berhembus lembut, meniup rambut bergelombang milik Lian. Vega baru menyadari jika rambut bergelombang seorang pria bisa terlihat begitu indah.
Lian tersenyum pada Vega. “Hati-hati,” balasnya ramah sembari membantu Vega berdiri dengan benar.
Vega mengangguk. “Makasih.” Gadis itu memandang Lian yang sedang mengambilkan buku-bukunya yang terjatuh. Lalu menyerahkannya pada Vega.
“Kamu kok masih di luar?” tanya Vega sembari mengambil buku-bukunya dari tangan Lian.
“Telat, sama kayak kamu.”
Vega tertawa kecil. “Kamu bisa telat juga ya?” guraunya.
Lian tersenyum tipis. “Ibuku lagi sakit. Jadi tadi harus gantiin Beliau ngurus Adik-adik dulu.”
Vega manggut-manggut paham. Belum sempat dia menanyakan perihal sakitnya Ibu Lian, bel tanda pelajaran dimulai pun berbunyi. Dan sontak saja dia dan Lian sama-sama panik.
“Ayo cepat!” Lian mengajak Vega berlari menuju ke kelas mereka.
Vega sedikit kerepotan karena membawa banyak buku di tangannya. Jadi larinya agak lambat. “Kamu duluan aja!” ujarnya pada Lian. Vega memunguti bukunya yang berjatuhan di lantai. Dia kira Lian sudah berlari lebih dulu. Namun siapa sangka jika pemuda itu justru berhenti dan membantu mengambilkan bukunya.
Senyuman gadis itu mengembang. Apalagi saat mendapati tangan Lian memegang pergelangan tangannya, mengajaknya berlari bersama.
Vega jadi teringat masa lalu dimana mereka pernah seperti ini. Mereka berdua sama-sama telat. Lalu setelahnya mereka dihukum lari keliling lapangan bersama karena terlambat.
Dan benar saja, kejadian itu tetulang kembali. Vega dihukum lari keliling lapangan besar itu lima putaran. Namun dia tidak sendirian. Karena sosok yang sangat disukainya itu ternyata ikut dihukum juga. Vega benar-benar merasa sangat bodoh.
Dia dihukum guru, berlari keliling lapangan yang panas dan tandus, lelah, haus, namun justru dia tak bisa berhenti tersenyum. Apalagi saat si pencuri hatinya itu berlari di sampingnya. Jika saja dia bisa menghentikan waktu, Vega ingin waktu berhenti sekarang. Karena dia sangat ingin menikmati waktu bersama Lian lebih lama.
***
“Boleh pulang bareng?”
Lian terlonjak kaget. Kotak kue yang dia pegang terjatuh ke bawah secara refleks. Pemuda itu mengelus dadanya pelan saat melihat Vega. “Kamu bikin kaget,” ujarnya. Senyum Vega membuat pemuda itu gugup.
Vega meringis malu. “Sorry...” balasnya. Gadis itu menunduk untuk membantu Lian mengambil kotak kuenya yang terjatuh.
“Habis semua ya kuenya?”
Lian mengangguk. “Alhamdulillah,” balasnya.
Vega tersenyum tipis. “Jadi gimana nih? Aku boleh kan pulang bareng?”
“Kamu nggak dijemput?” tanya Lian bingung. Dia tidak menyangka Vega akan mencarinya sepulang sekolah untuk pulang dengannya.
Vega menggeleng pelan. “Pak Ujang lagi pulang kampung. Harusnya aku pulang naik taksi. Tapi aku pikir mending pulang bareng kamu. Kan hitung-hitung ngirit ongkos. Kan nggak mungkin juga aku jalan kaki,” cengirnya yang terlihat begitu manis di mata Lian.
Pemuda itu tersenyum kecil. Tentu dia tau Vega bercanda. Tidak mungkin gadis seperti Vega mau menghemat ongkos untuk naik taksi. Hidupnya lebih dari berkecukupan. Vega adalah putri tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Semua yang dia inginkan tentu akan dia dapatkan. Bahkan menurut Teh Ririn, Vega sangatlah manja.
Gadis itu tidak bisa bangun pagi, tidak bisa menyiapkan seragamnya, bahkan hal sesederhana mengikat rambutnya sendiri pun, harus Teh Ririn yang membantunya. Jadi sangatlah mustahil gadis itu“Tapi kalau aku pulangnya jalan kaki gimana?”
“Heh?” Vega mengerutkan dahinya. “Bukannya kamu ada sepeda,” balasnya sembari menunjuk sepeda Lian.
“Iya, maksudnya aku yang naik sepeda kamu yang jalan kaki,” guraunya.
“Lian!” seru Vega sembari melotot.
Lian terkekeh geli. Pemuda itu mengangguk pelan. “Iya, boleh kok. Kan rumah kita juga deketan. Hitung-hitung bantu kamu hemat ongkos," ujarnya ramah.
Vega tersenyum malu. Gadis itu mengikuti langkah Lian yang menuntun sepedanya keluar dari tempat parkir. Gadis itu tidak mau berhenti tersenyum sepanjang langkahnya. Sepertinya memang hanya Lian yang bisa membuatnya seperti ini.
“Oh iya, Dinda baliknya kapan?”
Vega mendongak, menatap Lian. “Ya?” katanya canggung. Jantungnya memompa cepat ketika memandang bola mata hitam jernih milik Lian dari balik kaca mata tebalnya.
“Dinda baliknya kapan?”
Vega mengendikkan bahunya. Dinda sama sekali tidak memberi kabar padanya. Vega juga baru tau jika Papanya Dinda menjalani operasi dari Shawn.
Gadis itu mungkin lama di Singapore karena harus menunggui papanya di rumah sakit. Kasihan gadis itu, dia hanya punya papanya yang sudah lama mengidap penyakit jantung.
Seharusnya Vega sebagai sahabat mendukungnya di saat- saat seperti ini. Tapi dia malah menjauhi Dinda hanya karena cemburu. Gadis itu benar-benar menyesal. Mungkin nanti saat Dinda kembali, dia harus meminta maaf.
“Ga!”
Vega seketika tersadar dari lamunannya. Gadis itu mengedipkan matanya. Dia terlalu merasa bersalah pada Dinda karena telah mengabaikannya beberapa hari ini. Padahal jika dilihat dari kacamata orang lain, Dinda memang tjdak bersalah“Kenapa, Li?”
“Ayo naik!” ajak Lian.
Vega mengangguk senang. Gadis itu langsung naik ke atas boncengan sepeda Lian. Lalu dipeluknya erat pinggang pemuda itu tanpa malu. Dia tidak sadar jika pelukannya berefek besar bagi jantung Lian. Juga jantungnya sendiri. Vega jadi membatin, mungkinkah dia akan terkena serangan jantung?