4. Makan Bersama.

1094 Kata
Kimberly kembali membuka berkas yang disimpannya di laci meja belajar. Berkas itu berisi hasil penyelidikan kecelakaan yang membuat orang tuanya terbunuh bertahun-tahun lalu. Ada bukti jelas bahwa mobil itu disabotase, tetapi polisi tetap melaporkannya sebagai kecelakaan. Pada masa itu, pengarsipan banyak dilakukan dalam bentuk asli, tidak banyak yang tersimpan secara digital, sehingga arsip satu itu harus didapatkan dari tangan seseorang dan hanya X yang dikenalnya mampu mengurus hal seperti itu. Kimberly memeriksa nama petugas polisi yang memeriksa kasus itu di laptopnya. Ada beberapa nama dan segala hal tentang orang-orang itu, terpampang di depan Kimberly. Riwayat keluarga, pekerjaan, keuangan, komunikasi, rahasia, aib dan dosa-dosa mereka. Ayahnya hanya karyawan disebuah pabrik makanan kemasan, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, setiap hari mengantar anak sekolah, memasak dan mengurus kerepotan di rumah. Malam hari mereka berkumpul di rumah menikmati makan malam. Potret keluarga yang sederhana dan rukun. Sesuatu yang dilakukan atau diketahui ayah atau ibunya pastilah yang menyebabkan mereka dibunuh. Kimberly mencari sesuatu lagi di laptopnya. Rekaman CCTV Kelab Roxy. Pada malam terjadinya penembakan Violet. Ketika kekacauan itu dimulai, Vincent tampak menyuruh kakaknya bersembunyi di balik meja bar. Ketika laki-laki itu terlibat baku tembak, ia tidak menyadari seseorang mengendap-endap ke persembunyian kakaknya dan melepaskan tembakan kepada Violet yang sepertinya sempat memohon untuk hidupnya. Ketika menyadari Violet tertembak, Vincent berbalik dan menembak orang itu dan orang itu terjatuh, mati di tempat. Menurut Kimberly kerusuhan itu sengaja dibuat bukan untuk menyerang Vincent, tetapi sebenarnya hanya kamuflase untuk membunuh Violet. Violet pasti mengetahui sesuatu yang membuatnya berharga untuk dibunuh. Dan Vincent pasti mengetahui hal itu. Kimberly berpikir, perlukah dia bicara dengan Vincent.. dari hati ke hati? Probabilitas, kemungkinan besar. Dia bisa mengkalkulasikan semua kemungkinan, akurasinya cukup tinggi. Itu yang membuatnya seperti cenayang. Memprediksi, mengira-ngira sesuatu, padahal semuanya ada formulanya. Kemampuan itu yang membuat Xander Xin meletakkannya di sisinya. Prediksinya menjadikannya bagaikan Mata Tuhan, The Eye Of God. Dia sudah lama memprediksikan kasus kematian orang tuanya dan Violet. Sekarang, saatnya dia akan membuktikan. Dia akan mengupas misteri itu lembar demi lembar, dimulai dengan Vincent Black. *** Vincent teringat Violet sering mengeluhkan kebiasaan adiknya yang menyendiri, larut dalam dunianya sendiri, sehingga melupakan makan. Walaupun sering ditinggal seorang diri, gadis kecil itu tampak baik-baik saja. Violet sangat menyayangi adiknya walaupun komunikasi mereka tidak begitu baik. Ia tahu Kimberly membencinya sejak awal mereka bertemu, ditambah ia juga menyebabkan kematian kakaknya. Ia seharusnya tidak perlu bersusah payah membuat gadis itu menyukainya, tetapi ia ingin tetap melakukannya. Membuat gadis itu menyukainya. Tidak ada wanita yang bisa menolaknya jika ia menginginkannya. Vincent menunggu di atas sepeda motornya yang diparkir di depan sekolah TK Eveready, tempat Kimberly bekerja. Sekarang jam sekolah sudah berakhir. Guru-guru TK yang semuanya perempuan, mengantar murid-murid mereka ke pintu gerbang, mengucapkan salam perpisahan dan melambai pada anak-anak yang pulang. Ia melihat Kimberly mengantarkan anak-anak dengan senyuman ramah menghiasi wajahnya. Dia mengenakan rok panjang warna peach dan sweter dengan warna senada. Wanita itu bisa terlihat seperti malaikat dan sikapnya sopan dan lemah lembut pada anak-anak, benar-benar bertolak belakang dengan sikapnya jika berhadapan dengannya. Menarik sekali. Kimberly melihat Vincent berjalan ke arahnya saat dia hendak kembali ke kelas. Vincent menyapanya, jelas sekali niatnya datang ke sekolah untuk menemuinya. "Apa maumu?" tanya Kimberly cemberut. "Aku mau mengajakmu makan siang." Beberapa orang yang lewat tampak memperhatikan mereka karena mengenali siapa Vincent Black. "Tidak.” Kimberly menyahut ketus. "Kenapa?" sergah Vincent. "Haruskah kujelaskan? Vincent, kau mempersulitku!" "Aku idi.ot, aku perlu penjelasan." "Aku tidak akan jalan denganmu dengan alasan apa pun karena sudah jelas karena akan meruntuhkan reputasiku." Vincent tidak dapat menahan tawanya. "Rep... reputasi??" Ia terperangah mengejek. " Apa? Apa aku salah dengar?" "Tidak. Kau tidak salah dengar." "Wah ... sepertinya reputasiku benar-benar buruk di matamu, ya?" "Sudah jelas, ‘kan? Kenapa kau masih menanyakannya? Benar-benar bodoh.” Ya, dia akan terus menghantam ego pria itu. Apalagi Vincent tidak lebih dari sebongkah batu ego yang besar, itulah laki-laki. Vincent malah merasa hal itu lucu. Konyol. Gadis ini, wanita di hadapannya ini benar-benar menginjak-injak harga dirinya, tetapi ia malah menikmatinya. "Ayo! Kita pulang ke rumahmu. Aku akan memasak untukmu," pungkasnya. "Pokoknya, kau harus makan bersamaku. Kalau tidak, aku akan terus menempel padamu seperti stiker.” Kimberly makin cemberut. Rayuannya gagal, tampangnya gagal, pesonanya gagal, lalu sekarang ia ingin memikat wanita melalui perutnya, ya? "Terserah!!" dengus Kimberly seraya berlalu dari hadapan Vincent. Kimberly pulang ke rumah menggunakan bis angkutan umum, sedangkan Vincent mengiringinya dengan sepeda motor. Kimberly tidak berkata sepatah pun saat mereka tiba di rumah. Dia tidak kaget ketika melihat barang belanjaan sudah ada di dapurnya. Vincent yang mengurus rumahnya selama dia di luar negeri. Tidak heran jika ia bebas keluar masuk rumahnya. Pantas saja pria itu tersenyum lebar sepanjang jalan. Di dapur, Vincent dengan cekatan menyiapkan bahan makanan yang sudah dibelinya. Melihat gayanya sudah seperti juru masak profesional. Sebelum mengelola kelab malam, ia pernah bekerja di sebuah restoran Itali. Ia familiar dengan masakannya dan cukup handal mengulik hidangan di dapur. Kali ini Kimberly membiarkan pria itu melakukan apa yang diinginkannya. Setelah itu mungkin pria itu akan berhenti mengganggunya. Dia menyibukkan diri di ruang belajar, memeriksa beberapa e-mail, browsing dan sebagainya. Bola matanya membesar. Sepertinya dia telah menemukan sebuah petunjuk penting. Dia berhenti fokus ke laptopnya setelah mendengar suara ketukan di pintu. "Makanan sudah siap!" seru Vincent dari ambang pintu. "Ya, aku akan segera datang," sahut Kimberly sambil menutup laptopnya. Dia menuju meja makan dan mendapati masakan Vincent dihidangkan layaknya restoran bintang lima. Ada iga bakar, salad, risotto, puding, lilin dan anggur merah. Dia menatap tajam pada Vincent. Saat itu jam makan siang, tetapi Vincent membuatnya seperti makan malam. Ditambah angggur? Laki-laki itu ingin membuatnya mabuk rupanya? Sehingga dia melakukan hal-hal aneh lalu jatuh kepelukannya? Akal bulusnya untuk menaklukkan wanita dan mengajak mereka ke tempat tidur. Kimberly meringis. Dia mengingatkan dirinya agar tidak jatuh ke dalam perangkap petualang cinta satu ini. Mereka duduk berseberangan dan mulai makan. Kimberly mengiris daging iga bakar yang masih hangat, lalu menyuapnya. Kimberly harus mengakui dalam hati masakan Vincent sangat lezat, tetapi dia diam saja, mengunyah sambil menahan diri agar tidak mendesah keenakan. Vincent lalu mulai bicara, "Aku tidak mengira kau bersedia makan masakanku." Ia turut mengiris iga dan menusuk dengan garpu bersama potongan buncis dan wortel. "Bagaimana? Lezat ‘kan?” "Aku lapar dan kebetulan masakanmu masuk di seleraku," jawab Kimberly ketus. Apa? Apa laki-laki ini mengharapkan pujian? Kimberly mendengus dalam hati. "Kalau aku lapar, aku bisa makan apa saja," sahutnya santai. “Termasuk memakanku?” goda Vincent, dibalas tatapan tajam dari Kimberly. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN