Bertemu Dia

1174 Kata
Petaka Malam Tahun Baru Bab 8 : Bertemu Dia Setelah bayi tak berdosa itu pergi dari hidup ini, keberuntungan selalu menyertai langkahku. Penyusunan skripsi berjalan dengan lancar, berkat kerja keras dan keuletan seorang Rivana, korban pelecehan yang bercita-cita menjadi pembela kaum perempuan yang mendapatkan nasib serupa dengannya. Sidang skripsi juga sudah kudaftarkan dan tinggal menunggu jadwalnya saja, sambil magang juga untuk mengisi waktu. Sebuah panggilan telepon dari Ibu, membuatku tersenyum dan tak sabar untuk memberitahukan tentang pendaftaran sidang skripsi yang sudah kuajukan. “Assalammualaikum, Nak.” Suara lemah lembut Ibu begitu menyejukkan telinga. “Waalaikumsalam, Bu,” jawabku dengan senyum yang tak dapat kutahan. “Bagaimana kabar kamu, Nak? Gimana kabar skripsinya, apa lancar-lancar saja? Oh iya, tadi pagi Ibu ada kirim uang satu juta buat kamu, hemat-hemat, ya, Nak! Beli barang yang penting saja!” ujar Ibu lagi. “Iya, Bu, terima kasih. Insyallah, Riva selalu hemat kok, Bu. Hmm ... skripsi udah beres, Bu, dan barusan udah Riva daftarin sidang. Doakan moga segera dapat jadwal biar cepat maju sidang dan dapat gelar Sarjana Hukum,” ucapku dengan bersemangat, hati ini begitu riang dan aku ingin membagi kehabahagiaan ini kepada Ibu. “Alhamdulillah, Ibu senang sekali mendengarnya. Ibu dan Ayah selalu doain kamu, Nak, kami udah tak sabar lihat kamu wisuda dan dapat gelar, lalu pulang ke sini dan dapat kerjaan bagus.” Suara Ibu terdengar sangat bahagia. “Bu, setelah lulus nanti ... Riva mau melanjutkan ke PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Riva mau jadi pengacara, Bu,” ujarku, karena Ibu belum tahu akan keinginanku ini. “Oh, begitu, Nak. Ibu sih terserah kamu, mana baiknya saja. Berapa tahun itu pendidikan profesinya?” tanya Ibu. “Cuma satu bulan aja kok, Bu, tapi magangnya dua tahun. Yang terpenting, keberhasilan seorang anak pasti tak lepas dari doa kedua orangtuanya. Ibu dan Ayah doain Riva terus ya, biar cita-cita ini bisa kesampaian dan semuanya lancar,” ucapku dengan penuh harap. “Iya, Riva. Kamu juga jangan lupa berdoa, sholatnya jangan ditinggalin!” ujar Ibu lembut. Hah, sholat? Sudah lama sekali aku tak pernah melakukan ibadah wajib itu? Sejak aku merasa takdir Tuhan ini begitu tak adil kepadaku, saat kenestapaan datang tak henti-hentinya, saat itulah aku mulai jauh dari Tuhan. “Riva, kamu masih di sanakan, Nak?” Suaa Ibu di ponsel mengagetkanku. “Eh, iya, Bu.” Aku jadi gugup. “Ya sudah kalau gitu, Ibu tutup, ya, teleponnya. Assalammualaikum.” “Waalaikumsalam.” Panggilan telepon kuakhir. Aku senang karena Ibu selalu mendukung keinginanku. Kalau begini, aku semakin bersemangat. *** Hari terus berlalu, kegiatan magangku di Pengadilan Agama berjalan lancar. Sidang skripsiku juga berjalan lancar, nilai A berhasil kukantongi. Setelah ijazah keluar nanti, aku akan langsung mendaftar Pendidikan Profesi Advokat. Uang tabunganku juga masih cukup untuk membayar biaya daftar ulangnya. Di mana ada kegigihan, maka keberhasilan akan kamu tuai. Begitulah slogan hidupku walau keterpurukan pernah menghampiriku. Aku semakin gigih untuk meraih cita-cita, demi mengharumkan nama Rivana sang korban pelecehan di malam tahun baru. Bastian, aku masih selalu mengirimkan teror-teror untuknya. Dia tak boleh hidup tenang, aku akan bahagia jika dia bisa mati dengan perlahan. *** Setelah acara wisuda, Ayah dan Ibu beserta dua adikku yang masih SD dan SMP itu segera pulang kembali ke kampung dengan membawa foto wisudaku bersama mereka. Keberhasilan pertama telah kuraih, aku sangat terharu melihat kebahagian di wajah kedua orangtuaku. Akhirnya, Riva sang korban pelecehan berhasil menambah dua hurup di belakang namanya menjadi Rivana, SH. Pendidikan Profesiku dimulai. Hari ini kelas pertama tatap muka, yaitu masih tahap pengenalan dan bimbingan. Setelah program pendidikan pendalaman materi hukum secara luas selesai, baru mengikuti UPA (Ujian Profesi Avokat), setelah itu baru magang selama dua tahun. Saat aku hendak masuk ke kelas, seseorang yang wajahnya sangat tak asing menatapku dari barisan paling depan. Seorang pria berkulit putih dengan mata sipit seakan terkejut melihat setan saat menatapku. Dengan cuek dan pura-pura tak mengenalnya, aku melewati pria itu yang kini masih mengamatiku sampai ke bangku belakang. Taklama berselang, dosen pengajar masuk ke kelas guna memberikan pengarahan dan pengenalan mata kuliah singkat ini. Kuikat rambut sebahu ini ke belakang agar tak mengganggu konsentrasi. "Selamat pagi semuanya, perkenalkan saya Dr. Anton Hamdani, SH. MM. Senang bertemu kalian semua, saya ucapkan selamat menempuh pendidik profesi advokat yang akan diselenggarakan selama dua bulan. Adapun materi PKPA terdiri dari materi wajib dan materi pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan PKPA PERADI. Materi wajib terdiri dari: 1. Materi dasar Fungsi dan peran organisasi advokat Sistem Peradilan Indonesia Kode Etik Profesi Advokat Materi hukum acara (litigasi) Hukum Acara Pidana Hukum Acara Perdata Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Hukum Acara Peradilan Agama, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Hukum Acara Persaingan Usaha Hukum Acara Arbitrase dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) Hukum Acara Peradilan HAM Hukum Acara Pengadilan Niaga 2. Materi non-litigasi Perancangan dan Analisa Kontrak Pendapat Hukum (legal opinion) dan Uji Kepatutan dari Segi Hukum (Legal Due Diligence) Organisasi Perusahaan, termasuk penggabungan (Merger) dan pengambil alihan (Acquisition) 3. Materi pendukung (keterampilan hukum) Teknik Wawancara dengan Klien Penelusuran Hukum dan Dokumentasi Hukum Argumentasi Hukum (Legal Reasoning) Sementara itu, materi pilihan adalah materi tambahan yang dapat dipilih oleh pelaksana PKPA untuk diberikan kepada peserta PKPA diluar materi wajib." Sang dosen mulai menyampaikan materi wajib yang harus kami kuasai sebelum terjun ke dunia advokat. Beberapa jam kemudian, perkuliahan hari pertama pendidikan profesi advokat ini selesai juga dan akan dilanjut besok. Aku bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu, kemudian menyusuri koridor. “Riva!” Sebuah suara yang memanggil namaku terdengar dari belakang, namun aku tetap mempercepat langkah dan pura-pura tak mendengar. “Riva, tunggu!” Dia kini berdiri di hadapanku, pria dari masa lalu yang ikut andil melecehkanku di malam tahun baru itu. Aku diam, namun menatapnya dengan sengit. “Kamu benar Riva ‘kan?” tanyanya sambil tersenyum, seolah baru bertemu dengan teman lama padahal dia salah satu musuhku. “Bukan!” jawabku ketus dan melanjutkan langkahku yang terhenti karenanya. “Riva! Aku yakin kamu pasti Riva!” Dia malah menghalangi kembali langkahku. Kuhembuskan napas kesal dengan kedua tangan mengepal geram. “Riva sudah mati di malam pergantian tahun 2020 dan kamu salah satu pembunuhnya, perenggut kehormatannya, membuat dia menjadi sosok menjijikan dan dijauhi di masyarakat!” Kuarahkan jari telunjuk ke hadapan wajah pria berwajah mirip oppa Korea itu karena dia blasteran China jawa, begitu menurut Bastian dulu. “Riva, aku tak ikut andil pada malam petaka itu. Aku sudah lama mencarimu untuk meminta maaf. Maafkan kami, Riva!” Pria sok bego itu bertidak seolah dia memang bego, aku benci melihat tingkah sok polosnya. "Heh, maafku sangat mustahil untuk setan seperti kalian, jangan mimpi! Aku membenci kalian sampai ke urat nadi, tunggu saja pembalasan yang akan kalian terima nanti!" Aku mendorong kasar bahu pria bernama lengkap Suseno itu, teman satu geng Bastian yang kini sudah berubah nama menjadi Davit. Dia terdiam dan menatapku nelangsa. "Jangan pernah panggil namaku lagi! Tak sudi namaku disebut oleh pria sepertimu, calon penghuni api neraka!" ketusku dengan emosi yang meluap-luap. Tak lupa kudaratkan tamparan keras di pipi mulus tanpa noda itu, lalu melangkah pergi. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN