Wanita berkaki jenjang itu bergelayutan dileher seorang pria paruh baya yang masih memakai jas hitam dan kemeja putih yang menjadi dalamannya. Mereka tampak saling berpelukan manja.
"Hari ini mas gak usah pulang ya? Kita nginap aja di hotel, mau kan?" tanya Sena yang masih menempel dengan Richard, ya hari ini Sena janjian dengan Pak Richard yang merupakan atasannya sendiri di kantor.
"Tapi, aku udah janji sama anak-anak kalau hari ini aku akan pulang cepat, besok aja ya?"
Sena yang mendengar nada perhatian dari Pak Richard terhadap anak-anaknya pun tampak sangat kesal, namun ia berusaha menutupi kekesalannya itu. Sena sangat benci dengan anak-anak yang mendapatkan perhatian oleh ayahnya.
"Hey, kan masih ada hari esok. Jangan cemberut gitu dong mukanya, nanti mas kirimin uang deh ke rekening kamu," ucap Richard sambil mentoel hidung mungil milik Sena.
Gadis itu berdiri dari pangkuan Richard kemudian melangkah pelan ke arah jendela.
"Ternyata gak enak ya jadi selingkuhan, kalau gini terus kita lebih baik putus aja, Mas. Kita juga ga ada harapan untuk lebih serius," kata Sena dengan tatapan datar menatap pemandangan malam hari dari jendela kantor itu yang memperlihatkan kota Jakarta malam hari.
Richard tersentak mendengar ucapan Sena yang begitu tiba-tiba. Pria paruh baya itu berdiri mendekati Sena dan memeluknya dari belakang.
"Oh ayolah, kamu kenapa sih tumben seperti ini? Kamu tahu kan aku punya anak dan istri yang harus aku utamakan?" tanya Richard mencoba mengingatkan Sena agar tidak merasa cemburu seperti itu.
"Terus, aku kapan kamu utamakan? Mentang-mentang aku selingkuhan, kamu seenaknya begini," kata Sena kesal, ia masih enggan menatap manik mata Richard.
"Hmm, bagaimana kalau kita menikah saja? Agar kamu aku utamakan juga," tanya Richard dengan senyum sumringah. Mata biru pria itu menatap Sena dengan tatapan penuh harap.
"Aku mau menikah, tapi ceraikan dulu istrimu. Aku juga tidak ingin mengurus anak-anaknya, suruhlah istrimu itu bawa anak-anak. Kamu masih bisa menengok anak-anakmu kok, tenang saja," kata Sena to the point. Ia tidaj ingin berbasa-basi tentang itu semua dan Richard paham bahwa Sena bukanlah perempuan yang suka basa-basi.
Mendengar kalimat itu membuat Richard sedikit terkejut karena permintaan Sena sejujurnya sangat berat. Richard adalah tipe penyayang keluarga, jika ada yang memintanya seperti itu bukanlah sesuatu keputusan yang mudah.
"Tidak bisa kan? Kalau tidak bisa ya udah kita memang lebih baik putus daripada memiliki hubungan yang tidak jelas itu. Oh iya. Setelah kita putus aku akan resign dari kantormu, tenang saja," ucap Sena kemudian mengambil tas kecil yang berada di sofa.
"Pikirkan baik-baik hubungan yang kita jalani sudah lebih dari 5 tahun, kalau kamu ingin semuanya kandas, ya silakan," ujar Sena dengan ekspresi datar kemudian pergi dari ruangan tersebut.
Richard semakin tidak bisa mengelak bahwa ia juga tidak bisa kehilangan Sena, gadis yang ia cintai. Namun, membuat keputusan antara keluarga dan selingkuhan bukanlah sesuatu yang mudah.
"Ah, perempuan itu membuatku semakin pusing saja dengan permintaannya padahal dia sudah tahu bahwa aku sudah berkeluarga," gerutu Richard sambil menendang pelan kursi kerjanya.
Di dalam perjalanan pulang, Sena yang berada di dalam taksi tampak melamun menatap keluar jendela. Kendaraan berlalu lalang tampak sangat ramai, lampu-lampu jalanan dan gedung membuat pikirannya sedikit rileks. Sena sadar bahwa yang dapat menerima dan memperjuangkan dirinya hanyalah Alex.
Pria itu rela jauh-jauh dari Australia hanya karena dirinya khawatir terhadap Sena yang akhir-akhir ini tidak begitu baik keadaannya.
"Kamu terlalu baik, Lex. Seharusnya kamu tinggalkan saja aku, aku masih penuh dendam. Kamu pantas mendapatkan gadis yang bisa menghargai pengorbanan kamu," ucap Sena dengan mata berkaca-kaca.
"Mbak, sudah sampai," ucap sang supir taksi yang membuyarkan lamunan Sena. Gadis itu cepat-cepat menghapus airmatanya dan memberikan dua lembar seratus ribuan untuk sang supir.
"Kembalinya ambil saja, Pak. Terima kasih ya," ucap Sena dengan sopan kemudian turun dari taksi tersebut. Sang supir yang sudah beruban itu pun hanya bisa mengucap syukur karena pemberian Sena tersebut.
Gadis itu menatap gedung yang menjulang tinggi di hadapannya saat ini. Sepertinya memang tidak ada tempat lebih baik selain rumah tempat ia berpulang dari segala kepusingannya.
Sena melangkah memasuki apartemen tersebut kemudian menaiki lift menuju lantai 5 dimana kamarnya berada.
Sesekali di dalam lift ia menghela nafasnya berat, tidak ada yang ingin menjadi perebut suami orang. Semua gadis ingin menjadi gadis baik-baik menikah dengan laki baik-baik pula, namun entah mengapa rasa iri setiap melihat anak-anak yang bahagia dengan keluarga yang utuh selalu saja membuat Sena geram dan kesal.
Gadis itu melangkah pelan keluar lift menuju kamarnya, ia penasaran apa yang sedang dilakukan Alex di dalam kamarnya saat ini.
Sena membuka pintunya perlahan kemudian melihat sekeliling ruangan, namun ia tidak menemukan keberadaan kekasihnya itu membuat ia sedikit bingung kemudian mencari ke ruangan lainnya dimana mungkin saja Alex berada. Nsmun hasilnya tetap sama, tidak ada tanda-tanda keberadaan Alex.
"Dia kemana? Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar," ucap Sena pelan sambil meletakkan tas kecilnya di meja kerjanya. Sena memilih duduk di kursi kerjanya sambil memijat pelan keningnya yang sedikit pusing.
Tidak berapa lama, ia mendengar pintu terbuka. Sepertinya Alex telah kembali, hal itu membuat Sena berbinar kemudian menghampiri pria itu.
"Alex," panggil Sena sambil berlari kecil menuju keberadaan kekasihnya itu yang masih berada di dekat pintu keluar. Sena memeluk pria itu dengan erat seolah tidak ingin melepaskan Alex yang akan pergi jauh.
"Hei, kamu kenapa? Ada apa, Dear?" tanya Alex yang terlihat bingung dengan sikap Sena yang tiba-tiba memeluknya seperti ini. Sena menggeleng pelan, ia hanya butuh Alex saat ini untuk melampiaskan segala kesedihannya.
"Ok, ok kalau belum mau cerita, kamu boleh peluk aku sepuasnya, tapi jangan di depan pintu juga, Dear aku ingin menutup pintunya jadi susah," kata Alex menyadarkan gadisnya agar sedikit menyingkir dari hadapannya agar ia bisa menutup pintu tersebut. Sena hanya tersenyum kecut sambil melepaskan pelukan itu.
"Ah maaf," ujar Sena dengan malu akan teguran Alex tersebut. Alex hanya bisa menggengkan kepalanya pelan sambil menutup pintu, sedangkan Sena sudah meninggalkan Alex terlebih dahulu ke ruang tamu untuk duduk.
Alex melihat Sena dari belakang, ia masih merasa frustasi dengan penglihatannya itu. Tidak ingin percaya, namun semuanya terlihat jelas membuat dirinya dilema.
"Ini kebab," ujar Alex singkat sambil memberikan plastik berisi kebab jumbo kesukaan Sena kemudian duduk di sebelahnya. Gadis itu berbinar melihat plastik tersebut seperti anak kecil yang gembira diberikan permen.
"Ah thank you dear, kamu tau aja kalau aku belum makan," kata Sena yang sedang asik membuka bungkus kebab tersebut dan melahapnya tanpa basa-basi. Alex hanya tersenyum sekilas, ingin sekali rasanya menanyakan hal tersebut pada Sena, namun ia tidak ingin karena pertanyaannya tersebut membuat Sena sedih dan kecewa karena dirinya menguntit.
Alex yang merasa frustasi pun akhirnya memilih untuk beristirahat di sofa itu. Rasa sakit dihatinya masih belum hilang juga sampai sekarang, ketakutan yang selama ini selalu menghantuinya menjadi kenyataan yang sangat ia benci. Waktu benar-benar mengubah Sena yang ia kenal, tidak ada lagi Sena kecil yang ia kenal polos dan baik hati juga setia terhadap sesuatu. Saat ini yang ia temui hanyalah seseorang liar yang penuh dendam.