“Jangan buat aku penasaran, katakanlah, Lex. Kamu bawa kabar apa?” tanya Sena to the point. Alexander menatap Sena dengan wajah sendu kemudian mengeluarkan ponselnya dan memberikan benda kecil itu pada Sena. Perempuan itu menatap Alexander dengan penuh pertanyaan, ia kemudian menerima ponsel tersebut dan membukanya.
Mata Sena benar-benar membulat ketika melihat gambar yang terpampang di ponsel Alexander, ia mengusap-usap pelan matanya takut jika ia salah lihat. Alexander menghela nafasnya pelan, ini pasti membuat Sena teringat kembali pada papanya.
“I-Ini kan papa?? Kamu ketemu di mana? Ayo anterin aku!” kata Sena dengan wajah sangat bahagia dapat melihat papanya lagi. Tadinya Alexander enggan mengantarkan Sena, bukan tidak ingin membantu, namun Alexander tahu bagaimana keadaan Mr. Albert.
Mereka pun dengan cepat menjelajahi food court yang tadi Alexander datangi, benar saja ketika mereka sampai di tempat tersebut, Sena menatap ke arah pria paruh baya yang telah berkeluarga. Terlihat anak kecil diantara mereka. Sakit, satu kata yang Sena rasakan saat ini. Selama ia bertumbuh, Papanya tidak pernah mendampinginya namun sekarang papanya sudah memiliki anak lagi dari wanita lain.
Alexander menatap Sena yang melihat papanya dari kejauhan, air mata Sena mengalir deras dipipi tirus itu. “Ayo pulang!” ucap Sena kemudian berlalu dari tempat itu meninggalkan Alexander. Pria itu cepat-cepat menyusul Sena yang sudah berjalan duluan, ia tahu reaksi Sena akan seperti ini namun apa boleh buat, ia harus mengatakan yang sebenarnya kalau Mr. Albert masih hidup dan sudah bahagia bersama keluarga barunya.
Sakit sekali rasanya hati Sena melihat kebahagiaan yang terukir di wajah anak yang bersama papanya itu, seharusnya Sena yang ada di sana bukan anak itu. Dari dulu ia selalu berharap papanya pulang ke rumah dan berkumpul lagi pada mereka, namun nyatanya sampai Hermelina meninggal tidak ada satu waktu pun Mr. Albert mengingatnya lagi sebagai anak pertama.
“Aku langsung pulang ya!” kata Sena dengan ekspresi yang sangat datar. Bertahun-tahun ia menunggu dan berharap, tapi ternyata hal itu benar-benar tidak ada gunanya. Iri, dengki dan rasa dendam sekarang telah menjadi satu di dalam hati perempuan berambut panjang itu. Tidak ada lagi toleransi atas apa yang sudah terjadi di hidup Sena.
“Aku anterin yaa?” kata Alexander sambil mengekori Sena dari belakang. Langkah gadis itu terhenti membuat Alexander juga ikut menghentikan langkahnya. “Please, aku mau sendiri,” kata Sena dengan tegas agar Alexander tidak mengikutinya lagi. Pemuda itu pun hanya bisa pasrah, karena ia tahu sekarang hati Sena sudah hancur dan ingin punya waktu sendiri. Setelah mengatakan itu, Sena langsung berlalu meninggalkan Alexander.
Alexander menghela nafasnya dengan kasar sambil melihat makanan yang baru saja dibeli. Kalau seperti ini bagaimana bisa memberikan itu semua pada Sena?
Alexander pun memilih untuk mengikuti Pak Albert sebelum ia kehilangan jejak. Benar saja ketika Alexander sampai di foodcourt Pak Albert tampak sudah berdiri beranjak bersama kedua anak dan istrinya. Yang satu sudah remaja, beberapa tahun dibawah Sena yang satunya lagi berusia sekitar empat tahun.
Alexander sebenarnya tidak ingin ikut campur permasalahan antara Pak Albert dan Sena, namun ia tidak bisa melihat Sena seperti itu yang sedih terus menerus.
Alexander mengikuti Pak Albert yang sedang berjalan menuju basement bersama keluarganya.
Sementara itu Sena yang sudah balik ke Apartemen, merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kesayangannya. Ia menutup wajahnya dengan bantal, hari yang begitu mengecewakan untuk Sena. Ia memang sudah bertemu dengan papanya yang sangat ia sayangi, tapi papanya sedang bersama sang istri yang dulu merebutnya dari Hermelina.
“Papa, aku kangen! Bertahun-tahun aku cari papa, tapi papa gak pernah nyari aku,” kata Sena pelan sambil terisak, dadanya benar-benar sesak karena ia selama ini tidak pernah bisa melupakan papanya.
Hiks!
Tangisan Sena semakin kencang di tempat tidurnya, ia sekarang sungguh tidak tahu bagaimana cara menghentikan tangisnya. Kesedihan dan dendamnya begitu besar hingga mengalahkan akal sehatnya.
Setelah hampir satu jam Sena menangis, gadis itu terlelap dengan segala kelelahan dan kebenciannya. Menjadi gadis yang penuh dendam bukanlah keinginan Sena, ia dari kecil diajarkan kebaikan oleh Hermelina namun semua berubah seiring waktu. Sena yang sering mendapat pertanyaan tentang papanya sekolah tidak pernah bisa menjawab di mana keberadaan papanya.
Setiap Sena bertanya pada Hermelina tentang keberadaan Albert, Hermelina selalu menjawab tidak tahu. Dalam tidurnya gadis itu terisak, bahkan sudah sepuluh tahun tidur Sena selalu terganggu karena mimpi-mimpi yang menyangkut papanya.
Ting!
Suara ponsel yang lumayan keras itu berhasil membuat Sena terbangun dari tidurnya yang baru beberapa menit. Ia menatap layar ponselnya yang berisikan sebuah alamat rumah seseorang dari Alexander, Sena memejamkan matanya kembali. Untuk saat ini sudah Sena putuskan untuk melupakan semua yang bersangkutan dengan papanya. Bagi Sena, itu semua sudah berlalu dan masanya sudah habis menjadi seorang anak. Ia sudah terlanjur tumbuh dengan luka-luka batin yang entah kapan bisa sembuh.
‘Jangan berikan informasi apapun tentang papaku, aku tidak peduli lagi’
Begitulah kira-kira kalimat yang baru saja Sena kirimkan melalui pesan singkat ke ponsel Alexander. Di tempat lain Alexander membaca pesan itu dengan rasa senang bahwa ternyata Sena sudah ingin melupakan apa yang membuatnya sakit hati.
‘Baiklah, aku akan segera ke apartemenmu sekarang jangan lupa untuk turun ke bawah karena aku tidak punya kartu akses’ setelah Alexander mengirimkan pesan itu, ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeansnya.
“Mood Sena pasti akan baik setelah memakan ini,” gumam Alexander dengan wajah gembira, ia lalu memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas di depannya.
“Kemana pak?” tanya supir taksi itu dengan ramah. “Apartemen Jakarta Residence ya,pak,” jawab Alexander yang sudah hafal dimana letak Sena tinggal di Indonesia. Tidak butuh waktu yang lama taksi dengan warna mobil biru tersebut melesat meninggalkan perumahan di Tebet.
Sena menatap ponselnya yang berisikan pesan dari Alexander, hanya Alexander yang ia punya sekarang. Pemuda itu sangat baik padanya sampai rela jauh-jauh dari Australia ke Indonesia untuk sekadar melihat keadaan Sena secara langsung. Berulang kali Sena memikirkan tentang hidupnya di Indonesia yang hanya untuk balas dendam kepada perempuan-perempuan di negara itu. Sementara jika ia mengikhlaskan saja papanya pasti ia akan bahagia di Australia tanpa terdampar di negara yang ia tidak punya sanak saudara sama sekali.
Kring!
Sena tersentak ketika ponselnya yang mendadak berdering memperlihatkan panggilan dari Alexander. “Ya, halo! Kamu udah sampai ya?” tanya Sena yang cepat cepat mengambil kartu aksesnya dari dalam tas.
“Iyaa, cepat ya aku tunggu,” ucap Alexander kemudian mematikan ponsel tersebut.