Gadis itu meletakkan pot-pot bunga di depan kafe yang baru dibuka satu tahun belakangan. Menatanya sedemikian rupa, serapi dan secantik mungkin. Pot-pot bunganya dia bawa sendiri dari rumah. Dari kebun mini yang dia rawat di belakang rumah bersama sang ayah.
Ya. Gadis itu menyukai bunga. Itu sebabnya dia membuka kafe yang mengusung tema secret garden. Tapi, ada satu hal yang lebih dia sukai dari apa pun. Musik. Musik klasik lebih tepatnya.
Dia menyukai bagaimana musik klasik membuatnya tenang dan terluka di saat yang sama. Musik yang saat kau menikmatinya dalam diam, akan membuatmu terserap pada memori-memori masa lalu. Membawamu kembali menjajaki waktu dan kisah-kisah yang telah usang.
Dia juga menyukai saat-saat menatap cakrawala berganti warna dari waktu ke waktu di sudut kafe tersebut. Sudut yang menghadap langsung pada matahari terbenam. Baginya, saat langit berubah menjadi jingga adalah saat-saat terhangat dan terindah yang tak pernah ingin dia lewatkan. Apalagi di saat musim semi seperti ini.
Meski momennya singkat. Seperti kebahagiaan. Seperti tawa. Seperti hidup. Tapi itulah yang membuatnya sangat berarti, sangat dinanti-nanti.
"Cantik."
Gadis itu refleks menoleh begitu suara bariton seseorang terdengar di belakangnya. Rahangnya seketika mengatup menatap sosok dengan kaus abu-abu muda yang dibalut setelan hitam itu.
Pria itu masih tampak muda. Mungkin umurnya sekitar pertengahan dua puluhan sama sepertinya. Atau tidak? Entah. Tapi bentuk wajahnya yang kecil beserta kulitnya yang putih halus membuatnya tampak sangat muda.
"Ah, ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu. Mengusap tangannya yang berdebu pada apron yang menggantung di leher.
"Saya ingin sesuatu yang hangat untuk menemani saya menikmati senja di meja sana."
"Tentu. Americcano dan latte di sini terkenal nikmat. Anda bisa memesan salah satunya. Atau jika tidak, Anda bisa melihat menu lain yang lebih lengkap di dalam."
Pria itu menggaruk keningnya, yang gadis itu yakin sama sekali tidak gatal. "Saya tidak menyukai americcano. Terlalu pahit," katanya.
Pada detik itu, ketika si pria menipiskan bibir, gadis itu baru sadar bahwa dia punya lesung pipit yang manis.
"Jadi, Anda ingin latte saja?" tanyanya kemudian.
"Ya, latte macchiato."
Si gadis tampak menahan senyum hingga sudut-sudut bibirnya berkedut. Pria itu ternyata menyukai minuman manis dan lembut. Persis seperti senyumnya. Tidak, wajahnya juga. Dia tampak manis, lembut, dan polos.
Kafe itu cukup sederhana. Tidak begitu besar dan tidak begitu kecil. Bergaya minimalis dengan setiap furniturnya didominasi oleh warna putih dan cream. Suasananya tampak hangat karena diterangi oleh lampu warm white, tapi juga sejuk karena ada begitu banyak tanaman di setiap sudutnya, sesuai dengan konsep yang kafe itu usung.
Hanya ada sekitar sepuluh meja dan satu meja bar berbentuk L di kafe tersebut. Setiap meja berbentuk bulat dengan warna cream. Di setiap atasnya terdapat satu vas bunga keramik berwarna putih yang membuat meja mereka tampak manis.
Pria itu duduk di meja ujung. Di sudut yang persis berada di sisi kaca. Tempat favorit si gadis menikmati senja. Sebelumnya, gadis itu tidak pernah membiarkan siapa pun menempati meja tersebut menjelang sore. Karena dia akan tinggal di sana, duduk berlama-lama hingga mentari terbenam seutuhnya. Tapi karena pegawainya tidak ada, dia yang membuatkan pesanan si pria dan tidak bisa duduk di sana sebagai tanda bahwa meja tersebut tidak bisa ditempati. Sekarang, apa boleh buat?
"Apakah Anda tidak merasa kepanasan duduk di sini? Matahari terlalu menyorot," tukas si gadis seraya meletakkan secangkir latte macchiato pesanan pria itu di meja.
Pria itu tampak menatap ke luar, pada langit biru kota Seoul yang cerah. Pada awan-awan yang bergerak mengikuti arah angin. Pada sebuah bayangan yang hanya bisa dia lihat sendiri.
"Tidak," dia jawab, "aku ingin tahu bagaimana rasanya duduk di sini berlama-lama. Menatap cakrawala hingga senja lenyap dan gelap menyapa."
Si gadis sedikit mengerutkan kening. Lalu pria itu menoleh dan tersenyum lebar padanya.
"Saya bilang sebelumnya, bahwa saya ingin menikmati senja. Kebetulan, kafe ini menghadap pada arah matahari terbenam. Saya pikir, meja ini adalah tempat paling nyaman menikmati senja," ujar pria itu dengan senyum lebar yang membuat lesung pipitnya nampak lebih jelas dari sebelumnya.
"Anda pasti sangat menyukai senja," kata gadis itu. Sedikit mengangkat sudut bibirnya.
"Mungkin karena saya terlalu sering menatap seseorang yang menikmati senja. Akhirnya, lambat laun, saya juga mulai menyukainya. Bukankah senja menakjubkan?" Pria itu menoleh pada si gadis dengan sebuah senyum lebar, meminta persetujuan akan ucapannya barusan.
Si gadis pun, mau tak mau membalas senyum itu. "Benar. Senja sangat menakjubkan," ucapnya, mengamini.
"Tapi dia hanya muncul dengan singkat."
Pandangan si gadis menatap jauh pada langit yang mulai menggelap disusul oleh semburat jingga yang perlahan menyebar. "Itulah yang membuatnya menjadi sangat menarik. Dia muncul begitu singkat sehingga momennya datang begitu ditunggu-tunggu. Dan ketika perlahan warna jingga di sudut langit itu memudar, kita merasa kehilangan. Kedatangannya yang singkat membuat kita takut untuk pergi atau hanya sekadar berkedip. Karena, ketika membuka mata, mungkin, senja sudah hilang," katanya.
Tanpa disadari gadis itu, si pria menatapnya lekat, dengan binar yang tak bisa diartikan. Begitu lama dan intens.
Hari itu, di sore yang bermandikan cahaya jingga surya yang nyaris tenggelam, kedua insan tersebut menjalin takdir. Meski hanya saling melempar sebuah senyum di kali pertama, meski hanya percakapan singkat perihal senja, meski hanya saling diam dan curi-curi pandang, sebuah benang merah mulai terikat pada keduanya.
Meja itu, latte kesukaan pria itu, musik klasik yang senantiasa mengalun itu, senja di lekuk cakrawala itu, pohon kesemek di depan kafe itu, dan suasana hangat berkat lampu warm white itu, akhirnya menjadi bagian dari pertemuan demi pertemuan yang terjadi secara konstan. Hari ini, mungkin, adalah yang ke-10 kalinya.
Pria itu lagi-lagi duduk di meja yang sama. Bedanya, hari itu si gadis ikut duduk di seberangnya. Netra mereka sama-sama tertuju pada pohon kesemek yang di sekelilingnya terdapat tanaman-tanaman cantik yang si gadis rawatㅡatau pada langit yang kali ini agak mendungㅡatau pada pemandangan jalan yang menampakkan beberapa anak SMP berlarian karena gerimis mulai turun.
"Hujan sangat merepotkan," gumam si pria, menatap pada lelaki dengan setelan rapi yang berteduh di depan toko mainan yang berada tepat di depan kafe tersebut. Dari ekspresi wajahnya yang berbicara dengan seseorang di seberang telepon, sepertinya dia diharuskan buru-buru pergi, tetapi hujan membuat pergerakannya terhambat.
"Bukan hujan yang merepotkan, tetapi manusia yang membingungkan. Mereka tidak pandai bersyukur," timpal si gadis, lantas menyeruput americcano hangat di mug-nyaㅡminuman yang kata si pria sangat pahit, tetapi justru disukai si gadis. Katanya, hidupnya lebih pahit dari biji kopi sehingga pahit americcano tidak ada apa-apanya.
"Jika panas, manusia mengeluh dan berharap hujan turun. Setelah hujan, manusia masih tetap mengeluh karena ruang geraknya menjadi terbatas. Tidak bisa keluar karena hujanlah, banjirlah, atau apa. Alam seharusnya jengkel pada kita."
"Kamu benar," ujar si pria setelah beberapa sekon, mencerna dengan baik ucapan si gadis. "Manusia memang rumit. Mereka selalu merengek menginginkan sesuatu. Saat satu hal didapat, mereka sama sekali tidak bersyukur dan malah menginginkan hal lain. Ketika hal lain tersebut didapat juga, mereka menginginkan yang lain-lain lagi. Terus seperti itu, tidak ada ujungnya."
"Manusia memang makhluk lemah yang sombong. Bukan begitu?" Gadis itu merenung. Menatap nun jauh ke depan--entah ke mana. "Mereka selalu berpikir dirinya lebih dari yang lain. Lebih hebat, lebih kuat, lebih pintar, lebih berkuasa, lebih mampu. Padahal, di atas kelebihan itu, ada sesuatu yang lebih-lebih besar. Yang bahkan, saking besarnya, mereka tidak pernah mengira bahwa sesuatu itu ada."
Mendadak, si pria tertegun. Sorot matanya berubah dalam waktu sepersekian detik menjadi begitu nanar. Dia ... mengerti. Sangat mengerti, bahwa gadis di hadapannya saat ini, tengah membicarakan dirinya sendiri dengan segala keterbatasan yang membuat langkahnya terhenti. Dan semua keterbatasan itu, ada hubungannya dengannya. Segala kekurangan yang ada di diri gadis itu, bermula darinya.
Saat menyadari bahwa si pria tidak memberikan tanggapan dan hanya diam menatapnya, si gadis berdeham. Membuyarkan lamunan si pria dan membawa jiwanya yang berkelana entah ke mana, kembali.
"Saya pasti bicara terlalu banyak," tutur si gadis dengan semburat merah di pipinya.
Si pria menggeleng pelan. "Tidak sama sekali. Saya suka mendengar banyak hal dari sudut pandang kamu yang mengesankan."
"Kita sudah beberapa kali berbincang, tetapi belum saling mengenal satu sama lain. Mulai saat ini, panggil saya Myungsoo. Lim Myungsoo."
"Ah, Myungsoo-ssi. Saya Shin Jiae."
"Shin Jiae. Jiae. Jiae-ssi. Nama yang cantik."
***