“Dari mana saja kau?” bentak sebuah suara dengan kasar.
Lukas yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan diam-diam, lekas menoleh ke arah sumber suara.
Terdengar bunyi klik tombol lampu yang dipencet.
Sosok ayahnya berdiri tak jauh dari Lukas dengan kedua tangan bersedekap di d**a. Raut wajahnya nampak tidak bersahabat. Lukas tahu hanya dengan memandang wajahnya saja, bahwa dirinya sedang berada di dalam masalah besar.
“Aku tanya, dari mana saja kau?” ulang sang ayah dengan nada suara datar.
Lukas menghela napas berat, menjawab dengan enggan.
“Aku baru saja dari—“
“Klub malam, bukan?” tebak sang ayah dengan mata memicing kejam.
“Dasar anak yang tidak berguna! Kau selalu saja membuat aku susah!” ucap sang ayah dengan nada tinggi.
Lukas membalas tatapan ayahnya dengan tajam, tak mau mengalah dengan pria itu.
“Kapan kau akan menjadi dewasa, hah? Kau harusnya sudah sadar akan tanggung jawabmu di usia segini. Lihat adikmu! Dia sudah sukses di usia muda bahkan membuat aku bangga!”
Lukas berdecak sebal, setiap kali sang ayah menyebut-nyebut adiknya sebagai pembanding dirinya.
“Sedangkan kau hanya bisa menghambur-hamburkan uangku saja! Aku menyesal memiliki anak sepertimu!”
Ucapan kasar sang ayah membuat Lukas marah.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak menendangku keluar saja?” balasnya lantang.
Armand Dirgantara—sang ayah menoleh tajam kepadanya.
“Bagus kalau kau sadar diri. Sebaiknya kau tidak macam-macam kalau tidak ingin kutendang keluar!”
Ancaman itu terdengar menyakitkan. Lukas berdiri dengan kedua tangan terkepal erat. Dia beranjak naik ke kamarnya dan mandi. Aroma sampanye menguar lekat dari tubuhnya, akibat siraman Alexis di klub malam.
“Aku benci sekali dengan semua orang!” gumam Lukas sembari berdiri di bawah shower.
Dia menikmati pancuran air hangat yang mengalir ke kepalanya, memberikan sensasi pijatan yang menyenangkan.
“Seandainya saja aku bisa berbuat sesuatu untuk mengubah seluruh hidupku!”
Pikirannya melayang makin jauh, ke dalam kepekatan malam. Lukas berjalan keluar dari kamar mandi dan melemparkan tubuhnya yang sudah kering ke atas tempat tidur.
Seharusnya malam ini dia bersenang-senang, menghabiskan waktunya dengan para gadis. Seharusnya dia tidak pulang ke rumah dan dipergoki oleh Armand Dirgantara.
Kekesalan Lukas menumpuk, semakin membuatnya tak bisa tidur. Dia mendengarkan beberapa lagu sebagai pengantar tidur hingga kedua matanya terpejam saat fajar nyaris menyingsing.
***
“Rapat hari ini akan sangat penting. Klien utama kita datang untuk melihat presentasi yang harus dibawakan oleh Lukas. Di mana anak itu?” gumam Armand Dirgantara selagi melirik arloji Rolex-nya.
“Saya rasa Lukas masih belum datang, Sir,” jawab salah seorang karyawan.
Armand berdecak kesal, sekali lagi mencoba menghubungi nomor telepon Lukas. Nada deringnya aktif, tetapi tidak ada jawaban. Armand merasa cemas dengan rapat itu. Jika Lukas tidak datang, maka siapa yang harus menggantikan dirinya?
“Sir, klien sudah datang dan sedang duduk di ruang rapat,” lapor seorang sekretarisnya.
Armand menghela napas dengan kesal. “Telepon Lukas terus. Jangan biarkan si pembuat onar itu mengacaukan rapat hari ini!”
Si sekretaris mengangguk mengiyakan, “Baik, Sir.”
“Oh, selamat datang, Miss. Saya harap Anda tidak menunggu lama?” sapa Armand Dirgantara dengan sangat ramah.
Lelaki lima puluh tahun itu membungkuk dan tersenyum pada sosok gadis muda yang duduk di kursi utama membelakangi pintu.
Gadis itu mengangguk, tanpa mengucapkan balasan yang ramah atau sekedar tersenyum. Wajah cantiknya yang dibalut make-up nampak tidak bersahabat.
Image bos besar perusahaan E’Claire memang terkenal tidak ramah. Dia adalah seorang gadis muda yang sukses dengan usaha dan kerja kerasnya dalam membangun perusahaan E’Claire hingga berkembang menjadi besar. Meski masih muda, namun dia terkenal mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan cekatan. Dia juga inovatif, yang mengakibatkan dia berada di salah satu nama pemilik perusahaan terbesar saat ini.
“Apa bisa kita mulai sekarang?” tanya si gadis.
Armand menjawab dengan salah tingkah. “Ehm, sebelum itu, saya rasa Anda perlu untuk mengecek produk kami dan memastikan bahwa semuanya sesuai dengan yang Anda inginkan?”
Si gadis menggelengkan kepalanya dengan tidak sabar. “Aku sudah melihat semuanya. Tidak ada masalah dengan produk itu. Jadi, kenapa tidak langsung saja ke inti presentasi?”
Armand melirik sekretarisnya di luar ruangan. Nampaknya dia masih mencoba untuk menelpon Lukas. Di mana anak ceroboh itu saat ini?
“Eh, ya benar. Saya rasa kami memiliki sesuatu hal lain yang perlu kami sampaikan. Cepat carikan file itu!” perintah Armand pada seorang pegawainya.
Sementara diam-diam dia melirik arlojinya lagi, membuat kerutan di kening gadis itu bertambah dalam.
“Apa ada masalah?” Dia bertanya.
“Ah, tidak. Sama sekali tidak ada masal—“
“Selamat pagi!” ucap Lukas Dirgantara dengan suara yang segar dan ceria. Dia tersenyum melihat ayahnya yang sedang berdiri gugup.
Armand sontak mendelik ke arah putranya, yang datang dengan gaya slengek’an. Apa dia tidak diberitahu bahwa klien sudah datang?
“Selamat pagi, Miss –“
Ucapan itu terhenti, sebab saat itu Lukas memandang klien yang duduk di kursi dengan mata terbelalak lebar.
Gadis itu juga membelalak menatap Lukas. Keduanya terdiam membeku selama beberapa detik.
“Kau!” ucap Lukas dengan tak sopan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya lagi.
Melihat situasi yang tidak menyenangkan, Armand segera menarik tubuh Lukas menjauh.
“Apa-apaan kau, Lukas!” ucapnya dengan tegas meski suaranya direndahkan.
“Mengapa kau bersikap tidak sopan kepada klien utama kita?”
Lukas menatap ayahnya dan gadis itu bergantian. “Dia? Klien utama kita? Ayah bercanda?!”
“Apa menurutmu aku sedang bercanda?”
Lukas melirik lagi gadis yang duduk dengan angkuh di kursi.
Itu dia, Alexis!
Gadis yang telah mencabik harga dirinya di klub semalam.
“Jadi, Pak Dirgantara, haruskah aku duduk menunggu di sini sementara kau berbisik-bisik di sana dengan membuang-buang waktuku yang berharga?” ucap Alexis dengan dingin.
Suaranya yang rendah dan datar membuatnya terdengar begitu arogan. Sangat sesuai dengan image dirinya yang penuh perintah.
“Oh, maafkan saya, Miss Alexis. Lukas, segera siapkan presentasinya sekarang juga!” titah Armand dengan galak.
Lukas membuka mulutnya hendak memprotes, tetapi pintu ruang rapat terbuka lagi dan si sekretaris masuk bersama dengan seorang pria muda yang tampan dan menawan.
Penampilan pria itu begitu mirip dengannya, hanya saja dia nampak lebih muda beberapa tahun. Ya, itu adalah adik Lukas, Louis yang tersenyum menatapnya.
Louis duduk di sebelah kanan Alexis dan dengan sopan menyapanya. Alexis hanya mengangguk menanggapi.
“Lukas!” tegur sang ayah.
Kesadaran Lukas akhirnya kembali. Dia mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan memulai presentasi yang sudah dia siapkan sebelumnya.
Dengan rasa hati berat, dia melakukan tugasnya dengan baik, meski sesekali dia melotot kepada sang klien yang duduk tanpa minat di kursinya.
Siapa yang menyangka, gadis yang dibencinya ternyata sekarang duduk di depannya dengan wajah penuh penilaian. Lukas merasakan gelombang kemarahan naik ke kepalanya.