Jatuh cinta tanpa harapan

1787 Kata
Tak hanya perihal waktu yang bergerak setiap hari ke hari menjadi minggu, lalu menggenapkan menjadi bulan demi bulan. Perasaan pun akan bergerak dan tumbuh tanpa disadari setiap waktunya terutama ketika terbiasa bertemu dan kian dekat sehari-harinya. Bukan hanya perihal kebaikan Kaflin yang buat Ami di awal sebatas mengagumi perlahan jadi diam-diam menyukai dan berakhir mencintai bosnya. Kaflin punya banyak sikap yang buat Ami tak akan bisa menolak perasaannya. Apa Ami menginginkan perasaannya tumbuh liar begitu saja? Tentu tidak, ia sudah berusaha untuk menangkisnya jauh-jauh. Bahkan, menyadari posisinya. Jatuh cinta pada Dokter Kaflin seperti sedang memelihara sakit yang disengajakan ada. Ketika jatuh cinta dilevel bertepuk harapan yang sama sekali tak ada, sudah pasti harus siap dengan konsekuensi tak bisa memiliki terlebih banyak sekali perbedaan. Status dan latar keluarga, Ami tak bisa tutup mata untuk kenyataan itu. Jatuh hati pada Kaflin tak ubahnya seperti menatap bintang dilangit. Hanya sekedar bisa melihat, mengagumi tanpa bisa pernah menyentuh dan membawa ke pangkuan. “Huft..” Ami menghela napas, menyisipkan rambut ke belakang telinga. Hari ini ia dapat jatah libur. Kebetulan Nyonya Lais sedang pergi bersama suaminya dalam rangka acara keluarga. Ami mengajukan diri untuk ikut, tetapi malah diminta untuk istirahat. Ami percaya sekali Fani akan aman bersama suaminya yang pasti akan menjaganya. Ami bosan, akhirnya pilih mandi setelah mencuci pakaiannya yang selama seminggu belum di cuci. Dia memang menjadwalkan mencuci baju seminggu sekali, bukan pemalas tetapi biar hemat sabun cuci dan air. Lalu menjemurnya di loteng. Dia juga bersih-bersih kamar, mengganti seprei. Selesai mandi, Ami mulai merencanakan untuk pergi. Berjalan-jalan atau menemui teman lama dari kampung yang sama dan kebetulan juga bekerja di Ibu kota ini. Ami mencari keberadaan ponselnya dan mengabari temannya itu lebih dulu. [Ayu, aku hari ini libur. Boleh aku ke tempat kosmu?] Pesan terkirim, tak lama datang balasan dari Ayu. [Sore saja, mi. Aku masuk kerja. Kamu, menginap lah sekali-kali.] Ami membaca pesan Ayu, dan dia pun mempertimbangkan. [Ya sudah aku menginap semalam saja. Aku ke tempatmu sore.] [Oke] balas Ayu. Ami akan menyiapkan pakaian yang akan di bawa hanya satu-dua lembar baju. Untuk tidur dan besok ketika pulang dari tempat kos. Ami juga dapat libur hari ini dan besok pun Fani akan sampai rumah sore. Di rumah sebesar itu yang lebih cocok di sebut Mansion, semakin terasa sepi pas tuan rumah sedang tidak di rumah. Satu-satunya yang buat rumah cukup hangat yaitu jumlah pekerja rumah yang lebih banyak, dua sampai tiga kali lipat dari penghuninya sendiri. Hanya ada Nyonya dan Tuan Lais, dua anaknya. Kaivan setelah pulang dari Amsterdam dan rujuk dengan istrinya akan keluar dari rumah, katanya mereka akan tinggal di rumah orang tua Anna. Artinya rumah kian sepi, apalagi kalau Kaflin sibuk seminar atau ikut program kesehatan untuk masyarakat. Kaflin bisa beberapa hari tak pulang. “Amira, udah tidak usah bantu apa-apa. Ini jatah liburmu kan?” tegur salah seorang asisten rumah tangga paruh baya yang masih bugar. “Libur, tapi Ami bosan Mbak.” Keluhnya. Pemilik nama Oki menggelengkan kepala dengar keluhan Ami. “Hanya kamu yang tidak suka hari libur.” Kalau sudah terbiasa dan menikmati rutinitas sehari-hari walau terkadang merasa capek, pas ada waktu libur bagi Ami seperti ada yang kurang. Dia suka bekerja. Ami hanya tersenyum. “Biarin Ami bantu yah, Mbak Oki. Dikit lagi kok, setelah ini udah.” Ami sedang membantu Mbak Oki merapikan piring-piring yang selesai di cuci untuk masuk ke lemari. Di lapnya sampai tak basah, Ami suka sekali melihat peralatan masak maupun makan di rumah itu. “Piring orang kaya sama di rumah Ami beda, ya Mbak. Mengkilap seperti kristal!” Mulainya, menarik atensi Oki. Semua benda di rumah itu berharga, bahkan sampai peralatan makan sangat beda kasta dengan yang ada di rumahnya. Ami sudah terkenal polos, Oki tak terkejut akan celetuk gadis itu yang tiba-tiba. “Cantik-cantik ya Mi?” Ami mengangguk, dia mengangkat piring tersebut. “Kalau di rumah kebanyakan piring hadiah kalau beli sabun cuci itu lho Mbak.” “Sama, mi. Di rumah aku juga begitu.” Lalu keduanya terkekeh. Menyelesaikan pekerjaan. “Ibu Fani sebelum sakit, orangnya seperti apa Mbak?” tanya Ami penasaran. “Istri dan Ibu rumah tangga yang baik. Ibu Fani meski istri sultan, kalau di rumah semua-mua dia yang atur. Harus terstruktur dan perfeksionis. Piring-piring yang baru kamu kagumi itu, semua pilihan Ibu Fani.” “Aku kira Bu Fani seperti istri-istri sosialita, yang tidak mau pedulikan pekerjaan rumah karena sibuk diluar.” “Ibu tetap banyak kegiatan. Gayanya sosialita juga kalau keluar rumah, ada arisan dan banyak acara di hadiri. Ibu Fani juga sering mengadakan lelang buat amal dan banyak program masyarakat yang mewakili perusahaan Lais. Setelah Ibu sakit, Mas Kai dan Mas Kaflin yang lanjutkan. Beda cerita kalau Mas Kai dan istrinya belum cerai, pasti istrinya yang akan gantikan. Ibu kenal sama Non Anna juga karena satu kegiatan amal sama keluarganya.” Tak heran jika Mbak Oki tahu banyak tentang keluarga ini, ia telah ikut dan bekerja di rumah Lais belasan tahun. Dan rata-rata pekerja di rumah Lais memang punya jangka panjang. Kebaikan atasan, membuat mereka semua betah untuk tetap bekerja di sana. Ami tersenyum kecil, ternyata Anna memang sepadan dengan keluarga Lais. Menjadi salah satu alasan mereka menikah. Bukan wanita biasa dari kalangan keluarga tak berada sepertinya. “Mbak, kalau Non Shenna? Mbak pernah bertemu langsung?” nama Shenna terlintas dikepala Ami. Ia ingin mendengar lebih jauh sosok wanita yang selama ini dikenal sebagai kekasih abadi di hati Kaflin meski tidak pernah lagi ada. Kehilangannya masih misterius, meninggalkan rasa penasaran setiap orang terutama Kaflin sendiri. “Non Shenna?” “Ya.” Ami melihat wajah Mbak Oki berubah sendu, merasa bila Shenna punya kisah terbaiknya yang ditinggalkan pada setiap hati orang-orang mengenalnya. “Tidak jauh beda dengan Non Anna, dia pun gadis yang sangat baik dan sangat sopan. Mbak kenal Non Shenna dari jaman mereka SMA. Masih pakai seragam, sering datang untuk belajar bersama. Cita-cita Mas Kaflin selain jadi dokter yaitu nikah muda sama Shenna. Makanya mereka memutuskan untuk bertunangan, setelah lulus kuliah dan Mas Kaflin selesai Koas rencananya pernikahan mereka akan di lakukan.” Mbak Oki menjeda kalimatnya, kemudian menghela napas “tetapi, mereka berpisah. Mas Kaflin pernah berada di masa-masa terpuruknya. Koas hampir gagal, terlebih mereka pisahnya sepihak lalu Non Shenna tidak pernah lagi muncul di hidup Mas Kaflin.” Membayangkannya saja air mata Ami sudah hampir tak terbendung, ia bisa merasakan kegetiran dan perasaan hancur bila ada di posisi Kaflin. Dan merelakan memang tak semudah harapan orang-orang di sekitar Kaflin. Terkadang Ami merasa bila Kaflin sedang membohongi diri maupun orang-orang di sekelilingnya, ada waktu tertentu kala Kaflin menyendiri dan terlihat kosong seperti seseorang yang terumbang-ambing di lautan lepas, kehilangan arah dan tujuan untuk pulang. “Ami, lho kok menangis?” tegur Mbak Oki. Ami segera menyeka air matanya, “rasa sesaknya sampai ke hati Ami. Padahal Ami cuman mendengarkan dari Mbak Oki, apalagi kalau jadi saksi perjalanan mereka.” “Ibu Fani sakit karena memikirkan kisah asmara kedua anaknya.” Bukan hanya Mbak Oki yang berpikir ke sana, Ami juga melihat semangat redup dari matanya di awal-awal bekerja. Namun, belakangan ketika mendengar salah satu menantu kesayangan akan kembali, semangat itu terlihat ada. “Non Shenna mungkin tidak pernah lagi muncul di hidup Pak dokter, tetapi abadi dihatinya.” Lirih Ami. “Ya, padahal banyak lamaran datang—“ Trang! Sendok di tangan Ami lepas, jatuh ke lantai begitu mendengarnya. Menimbulkan suara yang nyaring. Mengagetkan keduanya. “Maaf, Mbak.” Ami langsung meraihnya. “Mbak Oki bilang apa? Lamaran?” “Iya, keluarga perempuan banyak yang mau menjadikan Mas Kaflin menantu. Ajakan perjodohan dari rekan-rekan bisnis keluarga Lais, cuman Mas Kaflin selalu menolak. Padahal gadisnya selain cantik-cantik juga latar pendidikan tinggi” Satu informasi ini baru Ami dengar, sekaligus membuat hatinya berdenyut nyeri dengan perasaan bertepuk dengan harapan yang kian tak tersisa. Ami sudah cukup tahu diri kok, hanya perihal perasaan seperti rumput liar di halaman rumah maupun lumut hijau yang tumbuh tanpa diinginkan. ** Seperti rencana Ami untuk menginap di salah satu teman dari satu kampungnya, Ami sudah berada di tempat kos temannya. Makan malam sederhana dengan nasi goreng kaki lima dan gorengan tempe, oncom, tahu isi maupun bakwan yang mereka beli seharga sepuluh ribu rupiah. Ami meremas bungkus nasinya setelah nasi goreng habis dan membuat perutnya kenyang. Obrolan yang menimbulkan tawa membuat Ami merasa keputusan keluar rumah Lais tepat. “Bulan depan aku ambil cuti empat hari, mau pulang ke Semarang. Kamu mau ikut?” sudah pukul setengah dua belas, mereka belum tidur setelah menghabiskan tiga episode drama Korea. Mereka masih belum mengantuk. “Tidak bisa.” “Sudah lama kamu tidak pulang. Memang tidak rindu keluarga, rumah?” “Rindu tapi biaya hidup juga berjalan.” Kata Ami. Membuat keduanya mendesah. Ayu tak jauh beda dengannya. Tempat kos yang Ayu tempati juga sederhana, kamar mandi bahkan berada di luar, dipakai sama-sama dengan penghuni lainnya. Kos putri. Mereka masih bicara ketika ponsel Ami berdering. Tangan Ami segera meraba. Mengambilnya, dan terdiam menatap nama yang tertera di sana. “Siapa Mi?” “Bosku.” Katanya. Dia duduk di atas kasur lantai. “Aku angkat dulu.” Ami takut terjadi sesuatu pada Fani, tidak biasanya hampir tengah malam begitu Kaflin menelepon. Ami juga tadi mengirim pesan pada Kaflin, walau memang jatah libur tetap mengabari kalau malam ini ia menginap di tempat kos temannya. “Hallo Pak dokter—“ “Ami.” Suara parau itu membuat perasaan Ami tak enak. “Pak dokter apa yang terjadi?” “Berikan saya lokasi kos temanmu.” “Eh, kenapa pak?” “Cepat!” Ami meski bingung tetap mengirimkan pada Kaflin lalu tak sampai satu jam, Kaflin kembali menelepon dan mengatakan sudah di depan tempat kos temannya. Ami menemui Kaflin, tetapi Kaflin malah meminta Ami untuk mengambil barang-barangnya. Kemunculan Kaflin membuat Ami tak jadi menginap. “Ami, kenapa bosmu menjemput? Mi, minta saja dia pulang. Ini udah terlalu malam.” “Aku tidak tahu alasannya, aku tak bisa memintanya pulang. Mungkin saja terjadi sesuatu pada Ibunya.” Hanya itu yang terlintas di pikiran Ami. Ayu meski ragu tak bisa menghalangi temannya. Ia hanya mengantar sampai depan, dan memeluk Ami. “Hati-hati.” “Lain kali pasti aku akan benaran menginap.” Ayu mengangguk, melirik pada Kaflin di belakang kemudi. Hanya mengangguk singkat, dan Ami pun duduk di sisinya. Mobil melaju dan ternyata bukan pulang ke rumah Lais, Kaflin malah membawa Ami ke sebuah gedung hunian sekelas Penthouse di kawasan elite. Tempat pribadi milik Kaflin. Ami menatap atasannya dengan bingung, “kenapa kita ke sini, Pak dokter? Ibu dan Bapak ada di sini—“ “Tidak.” Kaflin menyela. Mobil sudah berhenti di parkir khusus, mesin mobil masih hidup dan Kaflin menoleh serta menatap lekat, “saya butuh teman malam ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN