Sebelum tumbuh liar

1846 Kata
Hampir satu tahun lebih Ami bekerja di keluarga Lais, seperti dugaan awal kalau ia akan betah. Terutama seluruh keluarga Lais sangat baik padanya. Tak sulit untuk beradaptasi di sana, rumah besar dengan segala fasilitas di dalamnya. Dulu Ami sering membayangkan rasanya menghuni rumah mewah bak istana. Meski bukan miliknya, ia di sana sebagai pekerja, rasa penasarannya terjawab. Awal bekerja, Ami perlu waktu untuk menghafal setiap ruangan juga jalan agar tidak tersesat. Walau ia hanya berkutat di kamar utama yang di tempati Fani, Ibu dari dokter Kaflin yang ia rawat. Ami pernah membayangkan merawat penderita stroke pasti sulit, lama kelamaan Ami menjalani dengan mudah karena melakukan dengan sepenuh hati. Kesehatan Ibu dari dokter Kaflin juga mulai membaik seiring waktu, masih check up rutin ke rumah sakit dan mengikuti terapi. Sekarang sudah mulai bisa bicara walau bibirnya masih tidak bisa normal seperti sebelumnya. Ami menarik selimut yang membuat Ibu dari dokter Kaflin tetap hangat. Baru saja akan beranjak ketika mendengar suara langkah mendekat karena pintu kamar memang tidak di tutup. Menoleh, Ami menemukan kakak dari dokter Kaflin. Kaivan Lais, satu-satunya anggota keluarga Lais yang buat Ami sungkan terutama tatapan dingin dan ekspresi tidak tersentuh. Wajahnya sama-sama rupawan seperti Dokter Kaflin. Hanya bedanya, kalau kedua saudara Lais itu berdiri, tubuh Kaflin lebih besar dan tinggi dibanding kakaknya. Paras rupawan mereka di dapati dari wajah orang tuanya, Ayah dokter Kaflin juga sangat baik, seperti halnya Kaivan yang sedikit bicara. Karismanya membuat sungkan, tetapi perihal kesetiaan, Ami saja bisa melihatnya. Meski Fani sakit keras, tak berdaya begitu, suaminya tetap mencintainya. Hampir dua tahun bekerja di sana, tinggal di rumah Lais, tentu Ami tahu segala yang terjadi di rumah itu termasuk kisah dari Kaivan Lais. Tetapi, Ami tidak mau ikut campur. “Mamah sudah tidur?” Ami berdiri, mengangguk kecil. Ketika berdiri beginilah, Ami seperti kurcaci. Tubuhnya terlalu kecil dibanding tinggi Kai maupun dokter Kaflin. “Baru saja, Pak.” “Kamu bisa istirahat juga. Saya akan di sini.” Ami paham untuk segera menyingkir, memberi ruang pada Ibu dan anak. Ami berbalik dan belum benar-benar keluar saat mendengar Kai menyebut satu nama... “Kai, akan jemput Anna pulang. Kembali ke kehidupan kita, Mah..” Ami menghela napas, nada getirnya ikut menyayat hati bagi yang mendengar. Dia cepat keluar, dan menutup pintu di belakang punggungnya. “Astaga!” ketika berbalik, Ami terkejut sekali karena tiba-tiba dokter Kaflin sudah berdiri di sana. “Pak Dokter, bikin jantungan aja!” Sudut bibir Kaflin tertarik, geli melihat ekspresi Ami yang terkejut. “Saya bukan hantu, Ami.” Katanya dengan nada suara yang khas. Berat. “Memang bukan, tapi salah Pak dokter kenapa tidak bilang kalau ada di belakang Ami!” bibir ranumnya mencebik tidak terima. “Kamu juga kenapa jalan mengendap-mengendap begitu? Seperti maling.” Tangan Ami terangkat menyelipkan rambut yang keluar dari ikatan, ke belakang telinga. “Biar tidak menimbulkan suara, Ibu Fani baru tidur.” “Ada Kai di dalam?” “Ya, Pak Kai baru datang.” Ami menatap atasannya, dari pakaian yang masih di pakai dokter Kaflin. Kemeja navy yang sudah terbuka tiga kancing teratas lalu bagian tangan di gulung ke siku sedangkan dasi dan jas di pegangnya, menunjukkan kalau Kaflin baru sampai rumah. “Pak Dokter baru sampai rumah?” tanya Ami. Keduanya sudah berjalan menjauh dari depan kamar yang ditempati Fani. Kaflin mengangguk, “Ya.” “Dari rumah sakit?” “Bukan. Saya baru dari seminar. Kenapa kamu tanya-tanya? Sudah seperti pasangan saya saja.” Tegurnya. Ami yang polos hanya menyengir lebar memperlihatkan gigi putih. Senyumnya manis. Mereka sampai di dapur, Kaflin duduk di atas kursi bar dan Ami sigap mengambilkan air putih. “Bagaimana Mamah hari ini?” tanya Kaflin jadi bagian rutin menanyakan perkembangan Mamah pada Ami yang mengasuh. Ami berdiri di depannya, terhalang meja bar yang tinggi. Tatapan mata mereka terkunci, Ami sudah terbiasa tidak seperti awal-awal yang bisa gugup. “Ibu makan dan minum obat teratur, hari ini tidur siang sekitar dua jam. Tensi darah normal.” Beritahunya. Jika ada yang tidak beres Ami pasti akan segera lapor pada Kaflin. Kaflin meletakan gelas setelah meneguk setengahnya, lega sekali. “Bagus.” Ami tetap berdiri di sana. Sementara Kaflin sibuk dengan ponsel. Membalas pesan seseorang. “Kamu bisa ke kamar. Istirahat saja, kalau Mamah butuh apa-apa nanti saya panggil kamu. Lagian sudah ada saya dan Papah.” Kepala Ami mengangguk kecil, tetapi Kaflin mengernyit karena Ami tetap berdiri di tempat. “Kenapa?” tanya Kaflin yakin ada yang ingin Ami sampaikan. Ami ragu, matanya bergerak melirik arah mereka datang seolah takut ada yang datang. “Amira..” kalau Kaflin sudah memanggil namanya lengkap, sudah pasti Kaflin tidak mau penasaran dibuatnya. Ami berdehem kecil, “Heum, Pak dokter.. tadi Ami tidak sengaja dengar kalau Pak Kai mau jemput Mbak Anna.” Pertama kali Ami masuk rumah ini, dia kenal nama wanita yang baru di sebutkan dari sebuah foto terpasang di ruang tamu dan beberapa sudut rumah besar Lais. Anna berdiri di samping Kai, serasi. Foto-foto pernikahan maupun prewedding yang bikin iri Ami setiap kali melihatnya. Tetapi, selama Ami bekerja di sana tak pernah bertemu langsung sosok bernama Anna yang Ami tahu mantan istri dari Pak Kai. Tapi, seperti perceraian tidak diinginkan. Ami pernah menangkap Kai berdiri lama dengan pandangan sendu pada bingkai berisi potret bersama mantan istrinya. “Ya, Kai akan ke Amsterdam.” Beritahu Kaflin. Senyum Ami merekah, karena Kaflin selalu cerita tentang sosok iparnya. Dari ceritanya, baik. Ami berharap ketika bertemu nanti memang begitu adanya. “Semoga ini jadi awal kemajuan untuk kesehatan Ibu.” “Kamu begitu yakin?” walau Kaflin sendiri mengamini, hanya dia mau tahu apa yang Ami pikirkan dengan bilang begitu. Kaflin melihat manik mata wanita itu berbinar indah, senyum masih merekah penuh percaya diri. “Firasat saja, Pak. Ami percaya kalau Mbak Anna adalah salah satu sumber bahagia keluarga ini. Termasuk Ibu.” “Kamu belum pernah bertemu dengannya.” “Memang. Tapi, Ami sangat yakin karena Pak Dokter dan ibu Fani tidak akan salah menilai seseorang. Kalian terlihat berbeda ketika membicarakan Mbak Anna.” Kaflin ikut tersenyum, lalu turun dari kursi bar. “Eh, Pak Dokter mau ke mana?” “Kamar. Saya sudah gerah dan lengket.” Katanya dan berlalu. Meninggalkan Ami sendirian. Ami menarik gelas bekas minum Kaflin, mencucinya. Ketika berbalik Ami baru menangkap jam tangan milik Kaflin tergeletak. Sebelumnya memang melihat Kaflin melepaskan dari tangannya. Ami segera mengambil dan membawanya, menuju kamar Kaflin berada. Sebelum sampai, dia berpapasan lagi dengan Kai. “Ami, Kaflin sudah pulang? Kamu lihat dia?” tanyanya. “Sudah. Pak Dokter sedang mandi.” Beritahu Ami. “Ini kamu mau ke mana?” tanya Kai menangkap sebuah jam tangan familier milik adiknya berada di genggaman tangan Ami. Satu alis Kai naik. “Mau memberikan jam tangan Pak Dokter yang tertinggal di dapur.” “Kalau begitu, sekalian sampaikan kalau saya menunggu di ruang kerja Papah.” “Baik, Pak. Ada lagi?” tanya Ami. Kai menggeleng kecil, “tidak ada. Itu saja.” Ami kembali mengangguk, akan siap berjalan tetapi Kai memanggilnya lagi. “Ami.” “Ya, Pak?” “Hati-hati dengan jam tangan itu. Harganya mungkin tidak seberapa dibanding beberapa jam tangan koleksi milik Kaflin tetapi artinya yang jauh lebih berharga. Kaflin akan marah jika terjadi sesuatu pada benda-benda yang mengingatkan dia akan Shenna.” Kai mengingatkan Ami yang langsung tertunduk menatap jam tangan milik Kaflin. Kai kemudian berlalu melewatinya. Ami kembali mengangkat kaki menuju kamar Kaflin sambil tangan menggenggam erat barang milik dokter Kaflin tersebut. Shenna, satu nama wanita misterius lain yang Ami dengar di rumah ini. Sama seperti Kai. Kaflin juga berhasil dalam setiap hal di hidupnya. Karier sebagai dokter, pewaris dari keluarga Lais, digemari banyak wanita. Tetapi, dalam percintaan Kaflin tidak seberuntung itu. Jika Kaivan Lais di tinggalkan Anna dengan berakhir bercerai. Maka, sekilas yang Ami tahu kalau Kaflin di tinggalkan Shenna tanpa sepatah kata perpisahan. Meski sudah lama nama itu akan abadi. Ami baru saja akan sampai di depan kamar Kaflin, ketika pintu itu lebih dulu dibuka memunculkan raut wajah tegang dan panik Kaflin. “Pak Dokter—“ “Ami, kamu lihat jam tangan saya tidak?! Sepertinya tertinggal di dapur.” Sumber tegang dan panik Kaflin adalah jam tangan tersebut. Ami mengangkat tangan, “Ini, Pak—“ Lagi terkejut dengan tindakan impulsif Kaflin yang langsung mengambilnya. Lalu dia menggenggam erat. “Saya baru akan mengembalikannya.” “Thank Ami.” “Pak dokter seperti takut sekali kehilangan jam tangan tersebut. Pasti hadiah dari seseorang yang spesial, kan?” Ami pada dasarnya tidak bisa menutupi isi kepalanya. Padahal tadi dia sudah dengar lebih dulu dari Kai. Refleks pertanyaan itu keluar dari mulutnya membuat Kaflin sampai mengangkat pandangan. Dan Ami menelan ludah susah payah, dadanya berdebar setiap kali di tatap lekat oleh mata Kaflin tetapi ada kesedihan di sana, yang rasanya ingin sekali meminta Kaflin berbagi dengannya. Namun, tunggu dulu karena Ami sadar diri posisinya. Tidak ada atasan yang mau berbagi hal penting dalam hidupnya pada seorang bawahan seperti dirinya. Maka, Ami menyesali yang baru saja di katakan. “Maaf, Pak.. harusnya saya tidak bertanya begitu. Oh ya, kalau Pak Kai menunggu di ruang kerja.” Ami tidak lupa menyampaikan pesan Kai yang hampir terlewat. Kaflin menarik napas dalam, resah kentara selalu jadi bayangannya. “Kamu benar. Jam tangan ini memang di berikan oleh seseorang yang spesial.” Jawabnya, kemudian berbalik meninggalkan Ami mematung menatap pintu yang kembali menutup tanpa Ami bisa tembus pandang untuk tahu yang dokter Kaflin lakukan di balik sana. Bekerja lama di sana memang mudah buatnya betah, termasuk keseharian berinteraksi dengan Kaflin buat Ami perlahan mulai menyadari ada yang tidak seharusnya hatinya rasakan. Tetapi, berulang kali Ami menekan kalau perasaan itu hanya sebatas kagum, Ami tidak inginkan lebih karena tahu muaranya akan pada sampai kasih tak sampai. Ami menggigit bibir kecil, kemudian berbalik. “Apa sih yang aku pikirkan? Profesional, Ami! Jangan berharap lebih apalagi terlalu tinggi. Karena nanti pas dihempaskan oleh kenyataan, pasti jatuhnya sakit!” gumamnya mengingatkan diri sendiri dan coba menanamkan kalimat tersebut sebagai alarm pengingat diri. “Kisah upik abu sama majikan, atau gadis desa dan miskin sama pangeran hanya ada di cerita dongeng, n****+ atau film. Jangan mimpi!” Ami bahkan mencubit tangannya, kemudian bibirnya rapat menutup ketika bertemu pekerja rumah lainnya. Kembali bersikap biasa. Dia butuh pekerjaan ini, butuh penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan keluarganya sebagai tulang punggung. Perasaannya hanya akan jadi benalu dan mengacaukan segalanya. Ami lupa, kalau Dokter Kaflin berada di rumah sakit saja bisa membuat dia punya banyak penggemar. Apalagi sering berada di koordinat terdekat dengannya, sebelum melamar jadi perawat ibunya dokter Kaflin, Ami tidak ingat ke sana. Sebab detik itu dan selalu yang Ami pikirkan adalah bagaimana dapat penghasilan untuk keluarga makan, mengurangi beban ibunya mencari nafkah sendiri, mencukupi semua kebutuhan ayahnya yang sakit dan adik-adik yang sekolah. Tanpa di sadari kalau kebaikan Kaflin lama kelamaan justru bisa menyentuh hati. Perasaan itu seperti rumput liar, tidak diinginkan tanpa di rawat dan di siram akan tumbuh di tempat yang dia mau. Meski sudah di pangkas ke akarnya berkali-kali. Semoga saja dirinya bisa segera menemukan cara untuk menyingkirkan sebelum perasaan mulai tumbuh liar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN