hukuman

1153 Kata
"Jaira." panggil Wilson berteriak. Dari nada suaranya sepertinya pria itu sedang emosi. Merasa namanya di panggil, wanita yang memiliki nama lengkap Lavina Auliani Jaira Putri Tabitha itu langsung menghampiri Papinya. Dia tidak ingin Papinya semakin marah jika dia tidak segera datang menemuinya. "Papi." panggil Jaira takut-takut. "duduk!" perintah Papinya mencoba menahan emosinya. Jaira langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi yang ada di belakangnya, dia semakin menggigit bibir bawahnya saat melihat tatapan Papinya yang begitu tajam seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Wilson mengambil sesuatu dari laci kerjanya dan langsung dia lemparkan ke atas meja tepat di depan putrinya duduk. mata wanita itu terbelalak lebar saat mengetahui benda yang baru saja di lempar Papinya. Ya, sebuah tagihan kartu kreditnya. bagaimana bisa tagihan kartu kredit itu ada pada Papi? dengan susah payah dia menelan salivanya, semua pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan di dalam kepalanya. Entahlah apa yang akan Papi lakukan sekarang pada dirinya. Jaira benar-benar tidak bisa mengelak, sekarang dia hanya pasrah dengan takdirnya. "mana dompet kamu." tanya Wilson lebih tepatnya seperti meminta. Jaira langsung mengerjapkan matanya. "Dompet?" ulangnya, perasaannya benar-benar tidak enak. "cepat!" perintah Papi dengan suara berat khas bapak-bapak. Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan di letakkan diatas meja yang ada di depannya. "kunci mobil." pinta Papi lagi, dan lagi-lagi Jaira hanya bisa pasrah. "sekarang bereskan pakaian kamu." ucap Wilson, dan itu berhasil membuat Jaira membulatkan matanya. Apa dia di usir? "maksud Papi apa? kenapa aku harus membereskan pakaian?" tanya Jaira dengan suara bergetar menahan tangis. "Sebelum kamu menghilangkan sifat boros kamu itu, kamu tidak boleh tinggal di sini dan juga di larang memakai fasilitas yang Papi berikan." ucap Wilson dengan tegas. "Ma-maksud Papi? Papi usir aku? tanya Jaira sudah menangis sambil memeluk Maminya yang baru saja datang karena tidak sengaja mendengar suara tinggi suaminya. "Mami, tolong Jaira! Papi jahat, Mi. Papi sudah tidak sayang sama Jaira." adu Jaira pada Maminya. "maaf, Nak. ini semua demi kebaikan kamu juga." ucap Mami lagi sambil mengusap rambut kepala putrinya. Jaira semakin kuat Menggelengkan kepalanya dengan deraian air mata yang semakin banyak, terus meminta tolong pada Maminya untuk membujuk Papinya agar tidak mengusirnya. "sudahlah, Nak. ayo Mami bantu membereskan pakaian kamu." kata Sofia berhasil membuat Jaira kehilangan kata-katanya. "Mami, apa Mami benar-benar tidak bisa membantu aku? Papi pasti luluh kalau Mami yang memintanya." rengek Jaira seperti anak kecil. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sambil kembali mengelus puncak kepala putrinya. "Papi melakukan ini karena dia sayang sama Jaira. Papi sama Mami tidak ingin kamu terus menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak begitu penting." jelas Mami pada Jaira. "tapi, Mi, apa salahnya aku bersenang-senang? aku yakin tagihan itu tidak akan membuat uang Papi habis. Lagi pula aku putri satu-satunya, kalau bukan aku yang pakai terus siapa?" protes Jaira lagi. "Papi saja yang pelit." sambung Jaira. Sofia menatap putrinya yang kini kembali menangis. Jujur saja hatinya sangat iba, tapi dia tidak boleh lemah. Dia harus tega melepaskan putrinya itu untuk hidup mandiri, karena Sofia yakin hanya dengan cara ini Jaira bisa berhenti dari sifat borosnya. Yang perlu dia lakukan sekarang hanyalah memberi sedikit pengertian padanya. "Nak, dengarkan Mami! justru karena Mami dan Papi sayang pada kamu, kami melakukan ini, usia kamu bukan lagi usia remaja. Kamu sudah harus bisa mengatur keuangan kamu sendiri. Memang sekarang ini Papi memiliki banyak uang, tapi bukan berarti uang itu tidak akan habis kan? roda kehidupan itu selalu berputar, Nak. lihatlah di luar sana anak seusia kamu sudah mulai bekerja untuk memenuhi keinginannya sendiri bahkan banyak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarganya." jelas Sofia panjang lebar pada putrinya agar mengerti. Jaira melihat Mami dengan tatapan sedihnya. "jadi maksud Mami, Papi ingin aku bekerja?" tanya Jaira dan diangguki Sofia. "Mami kan tahu aku tidak suka bekerja. Ayolah Mi, aku mohon bujuk Papi." rengek Jaira lagi. Sofia hanya bisa menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran putri tunggalnya itu. apa ucapannya dari tadi tidak di dengar atau bagaimana? kenapa putrinya selalu bertingkah sesuka hatinya? "apa sudah selesai?" tanya Wilson mengecek istri dan putri manjanya itu. "Papi." lirih Jaira, "maafin Jaira." Tidak ingin terpengaruh dengan tatapan memohon putrinya, Wilson langsung berbalik arah dan meminta Jaira untuk segera turun dan ikut dengannya. melihat respon Papinya, Jaira hanya bisa menghela napas pasrah. "Papi, kita mau ke mana?" tanya Jaira di sepanjang perjalanan. "Papi benar-benar akan membuang aku?" tanya Jaira. "Papi jawab! kenapa Papi diam? Hiks..." Dan akhirnya Jaira menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya. Tiba-tiba mobil berhenti tepat di sebuah rumah yang terbilang kecil. mungkin rumah itu seukuran kamarnya, pikir Jaira. "Papi, kita ngapain kesini? ini rumah siapa?" tanya Jaira sambil menatap heran bangunan yang di depannya. "mulai sekarang ini akan menjadi tempat tinggal kamu." ucap Wilson. "rumah ini? yang benar saja, Papi. Bahkan ukurannya sama dengan kamar aku atau mungkin lebih besar kamar aku." protes Jaira. "kamu pikir Papi peduli?" tanya Wilson lagi membuat Jaira menghentak-hentakkan kakinya kesal. "Papi jahat." pekik Jaira. "sudahlah Jaira, terima saja. masih syukur Papi memberi kamu tempat tinggal." ucap Wilson pada putri semata wayangnya, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. "ini jatah kamu bulan ini." Wilson memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Jaira menatap uang itu dan Papinya bergantian seperti orang linglung. "ambil!" perintah Papi sambil memberikan uang itu pada Jaira. "untuk sebulan?" tanya Jaira untuk memastikan apakah indera pendengarannya rusak atau tidak. Wilson hanya mengangguk kemudian kembali melajukan mobilnya meninggalkan Jaira sendirian yang masih berdiri mematung menatap uang yang ada di genggamannya. "Papi jangan becanda!" rengek Jaira entah pada siapa. "Papi jahat!!" teriak Jaira pada rumput yang bergoyang seakan mereka sedang mengejek nasibnya sekarang. Jaira melihat ke kiri dan ke kanan keadaan rumah itu, sungguh sangat berbeda dengan rumahnya dulu. Tidak ada AC, tidak ada lemari es, bahkan tempat tidurnya bukan lagi king size. "menyebalkan." dengusnya sambil menjatuhkan barang bawaannya di sembarang tempat. Lalu Jaira kembali menatap uang yang masih berada di dalam genggamannya. Satu juta untuk sebulan? yang benar saja." Jelas saja Jaira syok dengan jatah bulanan yang di berikan oleh Papinya, jatah bulanannya sekarang bahkan tidak ada setengahnya dari jatah bulanan yang biasa dia terima. Bahkan dulu jika masih kurang dengan mudahnya dia akan memakai black card-nya. sedangkan sekarang dia harus bisa menggunakan uang satu juta untuk biaya hidupnya selama satu bulan di kota metropolitan ini. "apa Papi ingin mwmbunuh anak satu-satunya secara perlahan?" pikir Jaira. "Aish! kepala aku jadi sakit memikirkan ini?" eluh Jaira sambil menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut. Jaira memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. biarlah untuk masalah kehidupannya satu bulan ke depan nanti saja dia pikirkan, atau lebih bagus Papinya berubah pikiran dan mengembalikan semua fasilitasnya. Jaira masuk ke dalam kamarnya dan lagi-lagi hanya menghela napas, ingin sekali dia menangis sampai keluar darah pun percuma, Papinya tidak akan mengubah keputusannya. Setidaknya dia masih bisa bernapas lega karena tempat tidurnya lumayan nyaman. Papinya masih berbaik hati memberikan tempat tidur yang nyaman untuknya mengarungi dunia mimpi. Dan benar saja tidak menunggu waktu lama, Jaira sudah tertidur lelap memasuki ke dalam alam mimpinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN