PART 5 - MENJADI DEKAT

1769 Kata
PART 5 – MENJADI DEKAT Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, ketika Nadya menutup kantinnya. Suasana kampus juga sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa kantin yang masih buka. Ibu pemilik kantin bahkan sudah pulang dari setengah jam yang lalu. Nadya bernapas lega, tugasnya berakhir hari ini. Ia tinggal pulang dan mungkin membeli sesuatu untuk ayahnya di rumah. Senyum terbit mengingat akhirnya ia bisa mengambil alih tanggung jawab dalam mencari uang. Sementara Ayahnya sudah tinggal duduk manis di rumah. Usia ayahnya sudah tidak muda lagi, tak tega jika harus kembali bekerja. Ayahnya bukan lulusan SMK, hanya lulusan SD. Bekerja pun pasti tak jauh dari pekerjaan kasar. Nadya menutup pintu setelah membereskan semuanya lalu menguncinya dan memastikan tak ada yang tertinggal di luar. “Sudah mau pulang Nadya?” tanya ibu kantin sebelah. “Iya bu. Mari saya duluan ya bu,” pamit Nadya ramah dan mendapat senyuman dari lawan bicaranya. Kira-kira menu apa untuk Ayah sore ini ya? pikirnya. Ia melangkah menuju pintu keluar kampus sambil memikirkan apa lauk yang akan mereka makan untuk malam ini. Ayahnya menyukai sayur asem dan ikan mas goreng. Tapi baru kemarin menu itu, masa itu lagi. Nanti Ayah bosen. Aku saja yang belinya bosen. Nadya terus berpikir hingga suara seseorang memanggilnya. “Nadya.” Nadya menoleh, dan melihat sosok Arkhan bersandar di sebuah mobil yang terparkir. Perasaan hangat menjalar di hati Nadya. Seperti biasa, sejak dulu Arkhan selalu tampan di mata Nadya. Sekarang bahkan ketampanannya bertambah. Nadya tersenyum dan menghampiri. “Kamu baru pulang?” tanya Arkhan sambil menunduk, karena postur tubuh Arkhan tinggi menjulang, dibanding Nadya yang mungil. “Iya, kamu ngapain di sini?” Nadya terlihat keheranan melihat Arkhan. Bukankah seharusnya lelaki ini sudah pulang? “Tunggu kamu,” jawab Arkhan sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Tepatnya tiga puluh menit aku tunggu kamu di sini.” "Lumayan pegel sih," selorohnya. Kening Nadya melipat. “Kamu ada perlu sama aku?” tanya Nadya tak mengerti. “Kenapa gak ke kantin saja tadi?” Senyum terlihat di sudut bibir Arkhan. Matanya bahkan tak lepas dari wajah cantik Nadya. Rambut Nadya sedikit lepek karena keringat. Arkhan memaklumi, karena pekerjaan Nadya pasti sibuk. “Gak enak takut ganggu kamu.” Padahal Arkhan sudah sejak siang memperhatikan bagaimana gadis ini bekerja dengan gesit. Bolak-balik mengantarkan pesanan. Melihat bagaimana gigihnya Nadya, membuat mata Arkhan makin terbuka lebar. Tidak semua orang seberuntung dirinya. Tapi lihatlah, dulu ia justru tak bersyukur atas apa yang dimiliki. Arkhan terlihat meragu untuk bicara. “Kamu keberatan gak temani aku?” Arkhan baliik bertanya. Melihat Nadya menggeleng, membuat Arkhan tersenyum. “Aku ingin kamu temani aku makan.” Nadya hendak membuka mulutnya, ketika kembali mendengar. “Aku traktir pokoknya,” ucap Arkhan lagi dengan penuh semangat. “Memangnya kamu punya uang?” Nadya menatap dengan jenaka. Bukan apa, jika seorang mahasiswa berani mentraktirnya untuk makan, hanya ada dua jawaban. Dia anak orang kaya, atau dia kuliah sambil kerja. Yang ditanya justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Makannya bukan di restoran sih, pecel lele pinggir jalan. Kamu gak mau ya?” tanya Arkhan takut-takut. Wajah Nadya justru sumringah. Sejak sekolah dulu, ia memang tertarik pada Arkhan. Jika sekarang lelaki ini mendekatinya, tentu saja ia bahagia sekali. “Aku suka kok pecel lele. Kamu mau aku tunjukkan gak, tempat dimana pecel lele yang sambelnya tuh enak banget. Nadya tahu biaya kuliah tidak murah, dan Arkhan tidak berpenampilan seperti orang berada. Ia selalu tampil sederhana. Jadi ia cukup senang jika hanya di ajak makan di pinggir jalan. Melihat tak ada penolakan dari Nadya, Arkhan mengangguk. “Boleh, kita jalan sekarang ya.” Mereka pun berjalan beriringan. “Aku pikir mobil yang kamu sandarin tadi, milikmu. Ternyata bukan ya?” goda Nadya. Arkhan menoleh ke samping. “Kenapa? Kamu berharap aku memiliki mobil seperti tadi?” unjuk Arkhan pada sebuah mobil BMW yang tadi ia jadikan sandaran ketika menunggu Nadya. “Kalau kamu bawa mobil gituan, bukan aku yang kamu ajak makan. Atau mungkin saat ini kamu sedang bersama gadis tercantik di kampus ini,” kelakar Nadya. “Lagipula aku gak mau terima ajakan kamu, kalau kamu punya mobil kaya gitu.” Dahi Arkhan makin berlipat. “Kenapa gak mau? Bukankah semua orang menginginkan hidup mewah?" “Tergantung dari sudut mana memandang kemewahan itu. Pemilik mobil kaya gitu pasti bukan orang sembarangan. Harga mobilnya saja mahal. Dan pasti ia memiliki uang yang sangat banyak, minimal anak orang kaya atau seorang pengusaha. Nanti di kiranya aku mau pelorotin harta kamu lagi.” “Ah sudahlah, lagipula buat apa bahas yang gak penting.” “Intinya aku tuh malas berurusan sama anak orang kaya seperti kemarin itu, sombong dan kasar-kasar. Seperti orang tuanya tidak pernah mendidik saja.” Nadya kembali kesal ketika mengingat perlakuan tidak sopan yang diterima kemarin. “Tidak semua anak orang berada seperti itu, Nadya. Itu namanya kamu menyamaratakan semua orang dong.” Arkhan tak terima. “Kebanyakan seperti itu, suka memandang remeh orang. Apalagi dengan orang model aku kaya gini.” “Memang kenapa dengan kamu?” tanya Akrhan heran. Nadya memutar matanya. “Aku gadis miskin, yang bisa di hina siapapun.” Lalu Nadya memukul keningnya. “Ih, kenapa kita bahas itu terus sih. Jalannya cepetan yuk, aku dah lapar.” Arkhan ikut berjalan, setelah sebelumnya ia kembali memandang ke arah belakang. Ke arah mobil BMW tadi, dan tampak seorang gadis masuk ke dalam mobil itu, dan melaju pergi. Terlihat kerutan di wajah gadis yang ada di mobil tadi, melihat Arkhan berjalan kaki bersama seorang gadis yang ia kenal sebagai pelayan kantin di kampus. Dan Arkhan tidak perduli. Sore itu Arkhan dan Nadya menghabiskan waktu dengan mendatangi warung tenda pecel lele pinggir jalan. “Rumah kamu dimana?” tanya Arkhan. Baru beberapa hari mengenal Nadya, Arkhan merasakan kenyamanan. Apalagi wajah Nadya selalu berseri ketika mereka berbincang. “Gak jauh sih, hanya tinggal naik angkot sebentar, nyampe deh.” “Kamu sendiri dimana rumahmu?” kini Nadya balik bertanya. “Aku kost, gak jauh dari kampus kok.” Nadya menyeruput minuman di mejanya. “Kamu gak tinggal bersama orang tuamu?” Arkhan menggeleng. “Apa orang tuamu sudah ....” Nadya tak berani melanjutkan perkataannya. Dan ketika melihat tatapan sendu lelaki di depannya, telapak tangan Nadya terulur menggengam telapak tangan Arkhan. “Maaf aku gak bermaksud buat kamu sedih. Aku juga hanya memiliki Ayah, ibuku sudah lama meninggal.” Mereka saling tatap. Sama tersenyum ketika keduanya merasakan ada sesuatu yang hadir di dalam dadda mereka. Rasa yang menyusup tanpa mampu mereka cegah. “Kamu boleh kok menganggap ayah aku sebagai keluargamu.” Arkhan melihat telapak tangan mereka masih saling menumpuk. Rasa hangat kian membanjiri dadanya. “Lalu siapa yang membiayai kuliahmu? Apa kamu bekerja sambil kuliah?” Karena Nadya mengetahui beberapa orang memilih bekerja sambil kuliah. Mereka melanjutkan makannya. Jika makan di tempat ini, Nadya pasti semangat empat lima. Rasa ikan dan sambelnya ia suka sekali. “Aku memiliki family, adik ayah aku. Tapi, aku tidak bisa mengandalkan beliau. Jadinya aku bekerja setelah kuliah.” Nadya mengangguk. Tipe pekerja keras, dan Nadya suka itu. Lalu ia melanjutkan lagi makannya. Sesekali mereka beradu pandang, dan sama-sama tersenyum. “Kamu tahu gak, aku dulu tuh sering bertanya dalam hati. Kenapa saat sekolah dulu, kamu pendiam sekali?” Nadya mulai berani mengajukan pertanyaan yang dulu ingin ditanyakan namun tak memiliki keberanian. Arkhan menghela napas. Mengingat bagaimana ia bisa bersekolah di sana, menyesakkan dadanya. “Aku baru saja kehilangan Ayah aku. Dan aku merasa belum menjadi anak yang bisa di banggakan.” Nadya menatap wajah penuh penyesalan di depannya. Lalu kelerang coklat milik Arkhan menatap bola mata hitam milik Nadya. “Itu sebabnya kini aku berusaha kuliah dengan baik. Supaya ayah aku bisa bangga memiliki anak seperti aku,” lirih Arkhan. “Kamu pasti bisa.” Ucapan Nadya seiring dengan keyakinan hatinya. “Ayah kamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.” “Darimana kamu tahu?” tanya Arkhan tak percaya. “Yang kamu lakukan beberapa hari lalu, saat membantu aku dari mahasiswa baru yang b******k itu. Sudah menunjukkan kalau kamu orang baik.” “Dan aku gak mungkin mau terima begitu saja ajakan dari kamu, kalau aku gak yakin kamu itu orang baik.” Nadya menyeruput minumannya lagi. Diluar aku suka sama kamu. Kedua sudut bibir Arkhan tertarik ke samping. “Terima kasih.” “Untuk?” Nadya tak mengerti. “Mengatakan jika aku orang baik.” Kamu tidak tahu seperti apa aku sebelum ini. “Aku lho yang harusnya bilang terima kasih, karena kamu sudah mau traktir aku makan.” "Eh iya, aku boleh gak minta satu ekor lagi lelenya, buat Ayah aku di rumah? Nanti aku ganti uangnya kalau yang itu," janji Nadya dengan wajah tak enak hati. Arkhan terkekeh. "Aku traktir saja sekalian. Pak, bungkuskan dua lelenya ya," serunya. "Eh banyak amat. Satu saja." "Gak apa-apa. Barangkali nanti kamu laper lagi malam-malam." "Tapi benar ya. Di traktir." Arkhan menatap ragu ke arah Nadya. “Kalau besok-besok aku ajak makan lagi, kamu mau kan?” “Hmm ... tapi aku gak mau ya buat kamu bangkrut. Kamu kan harus biayai kuliah kamu?” Nadya merasa serba salah. Suka sekali mendapat undangan buat ketemu Arkhan. Tapi khawatir lelaki itu bangkrut karena sering membayari makan. “Mungkin kalau awal bulan, pas aku gajian?” Melihat Nadya tampak berpikir, timbul rasa tak enak di hati Arkhan. Mungkinkah gadis ini menolaknya? Arkhan tersenyum ketika mendengar, “Oke, setiap awal bulan saja ya.” Melihat ada angin segar, membuat Arkhan semangat mendekati sosok Nadya lebih dekat lagi. Selama kuliah, Arkhan fokus belajar demi kelulusannya yang sebentar lagi diraih. Anggap, ia baru memiliki teman yang tak lain adalah Nadya. Bahkan malam itu Arkhan mengantarkan Nadya pulang dan bertemu dengan Ayah Nadya yang bernama Rahim. Arkhan memandangi rumah kontrakan petakan tempat Nadya tinggal. Hanya memiliki dua buah kamar, rumah yang sangat sederhana. “Silahkan diminum Nak Arkhan.” Rahim menerima kedatangan tamu sang putri. “Bapak sedang sakit?” tanya Arkhan sopan. Rahim terkekeh. “Maklum sudah tua. Makanya Nadya tidak kuliah, selain ia bekerja. Ia juga harus membiayai kebutuhan kami. Karena bapak sudah tidak bisa lagi bekerja.” “Ayah, jangan bicara seperti itu. Nadya senang kok bekerja. Lagipula sudah seharusnya Ayah istirahat dan Nadya yang bekerja.” Nadya paling tidak suka jika Ayahnya menyalahkan dirinya sendiri. “Seperti inilah kehidupan kami, Nak Arkhan.” Arkhan menghela napas. “Sama pak, saya juga tidak jauh beda dengan Bapak. Cuma bedanya saya bekerja sambil kuliah. Karena saya ingin memberikan yang terbaik untuk calon istri saya kelak.” Arkhan berkata sambil menatap wajah Nadya, dan ia yakin melihat seburat warna merah di pipi itu. Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 4 Juni 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN