1

1146 Kata
“Lama banget belanjanya, ma?” Intan menatap Andi yang fokus dengan tabletnya “Ngobrol sama tetangga sebelah jadi lupa waktu.” “Faisal itu belum nikah, kan?” tanya Andi menghentikan kegiatannya dengan menatap sang istri. “Papa nggak ada niatan buat jodohin Luna sama Faisal, kan? Mereka itu beda jauh, pa. Faisal itu kalau nggak salah seumuran sama Raka.” “Daripada Audrey meratapi hubungannya yang kandas. Papa heran cowok model begitu masih aja ditangisi, lagian anak kok ngeyel sama orang tua.” Andi menggelengkan kepalanya. “Luna itu papa banget, keras.” Luna yang mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepalanya, melangkahkan kakinya mendekati meja makan tidak lupa mencium pipi Andi sebelum duduk disalah satu meja. Menatap hidangan yang ada dihadapannya, tidak ada yang membuatnya lapar atau lebih tepatnya sedang melakukan puasa yang sedang trend saat ini. “Kemana hari ini?” tanya Intan yang duduk dihadapan Luna. “Toko roti, kenapa? Harusnya sih subuh tapi masih ada yang harus dilakukan.” Luna menjawab sambil menghabiskan minumannya “Mama ada perlu?” “Kamu nggak ada keinginan membuka hati? Mencari pengganti cowok itu.” Intan mengatakan dengan sedikit keraguan. “Kamu harus membuka hati, biar nggak sedih terus.” Andi menambahkan kalimat Intan. “Memang aku terlihat menyedihkan? Papa dan mama, aku malah pengen nggak nikah aja.” Luna mengatakan dengan santai. “APA?!” teriak kedua orang tuanya bersamaan. “Mana ada begitu? Mama nggak setuju!” “Papa juga! Papa pengen jadi wali kamu mumpung masih hidup.” Luna menatap tidak percaya atas kompaknya kedua orang tua jika berhubungan dengan pilihan anaknya dan tidak sesuai dengan keinginan mereka, bayangan di masa tua seakan selalu bermain di kepalanya setelah kegagalan itu. “Kamu trauma?” tanya Intan hati-hati. Luna menggelengkan kepalanya “Malas saja berhubungan sama cowok.” “Faisal gimana? Kalian sudah saling kenal, lagian Faisal juga masih single.” Andi kembali mengatakan hal yang sama. “Nggak mau! Aku nggak mau sama Faisal.” Luna menolak langsung. Faisal, tetangga sebelah rumah. Mereka sudah mengenal dari kecil, Faisal berteman dengan Raka yang tidak lain kakaknya. Luna sendiri berteman dengan adiknya Faisal, Nuri. Hubungan mereka sangat dekat, bahkan Nuri selalu meminta Luna menemani dalam hal apapun tapi sekarang sudah menikah karena memang memutuskan menikah muda. “Papa kan pengen gendong cucu.” “Papa sama mama sudah punya dua cucu, masih kurang? Kalau kurang minta Mas Raka hamilin istrinya lagi. Luna mau siap-siap, kalau dengerin mama sama papa bisa pusing. Papa nggak berangkat ke kampus?” “Gara-gara kamu! Papa hampir telat.” Luna membuka mulutnya tidak percaya mendengar kalimat papanya, menggelengkan kepalanya ketika Andi mencium kening Luna, memilih masuk kedalam kamar untuk menyiapkan dirinya. Toko roti adalah toko yang dibuat sejak kuliah, awalnya hanya membuka pesanan semakin lama pesanannya semakin banyak, membuat Luna memutuskan membuka toko kecil. Menyewa ruko yang letaknya tidak jauh dari rumah, dekat dengan perkantoran membuat tokonya semakin ramai. Letaknya yang strategis, tidak hanya itu dukungan dari keluarga adalah faktor utama. Menatap aktivitas karyawannya saat ini seketika senyum lebar tampak di wajahnya, langkah kakinya langsung menuju tempat produksi. “Banyak yang beli?” Intan menatap seluruh toko. “Alhamdulillah. Mama ada apa kesini?” tanya Luna menatap sang mama yang secara tiba-tiba datang. “Memang nggak boleh datang kesini?” Intan menatap tidak suka pada Luna yang hanya bisa meringis “Mama mau ambil beberapa roti buat dibawa acara PKK ya.” Luna memilih menganggukkan kepalanya, kebiasaan sang mama yang datang ke toko untuk mengambil roti setiap ada acara. Setidaknya sudah mempersiapkan kemungkinan semalam ini, bahkan kalau masih ada sisa pastinya Luna akan bagi ke karyawan atau kasih ke orang yang nggak mampu dimanapun dia temuin. “Mbak Eni bilang kalau kesel sama Faisal, masa belum ada hilal bawa cewek ke rumah. Raka bilang Faisal cuman butuh waktu aja, mama penasaran cewek macam apa yang disukai sama Faisal.” “Kenapa harus buru-buru nikah sih? Siapa tahu Mas Faisal belum menemukan yang sreg atau mau fokus sama pekerjaannya.” “Kamu pernah bicara sama Faisal?” Intan menatap penuh selidik. “Nggak sama sekali! Kenapa mama jadi kepo banget sama urusan mereka?” Luna menggelengkan kepalanya. “Kita itu penasaran wanita seperti apa yang disukai Faisal karena sama sekali nggak pernah dibawa kerumah, bahkan mas kamu aja nggak tahu model cewek yang disukai Faisal.” “Mas Raka malas ribet.” Luna berjalan meninggalkan sang mama yang masih berpikir. Luna sangat tahu jika kakaknya itu sangat tahu tentang rahasia Faisal, tapi malas berhadapan dengan orang tua mereka. Luna pernah bertemu sama Faisal dengan ceweknya kapan itu, ketika dirinya masih menjalin hubungan dengan mantan laknatnya. “Kamu nggak pulang?” tanya Intan ketika melihat Luna masih terlihat sibuk. “Mama pulang dulu, aku masih ada yang harus dilakukan.” Luna menjawab tanpa menatap sang mama. Hembusan napas panjang dikeluarkan saat mendengar suara langkah menjauh, keberadaan mamanya akan membuatnya tidak fokus. Menatap beberapa pesanan yang sudah masuk membuat Luna harus memastikan semuanya, bukan hanya bahan tapi mental pegawainya. “Mbak, ada yang mau ketemu.” “Siapa?” Luna mengingat rasanya tidak pernah membuat janji dengan siapapun. “Mas ganteng yang kapan itu.” Luna paham siapa yang dimaksud pegawainya, memilih menutup pekerjaannya dengan mendatangi sang tamu. Tamu yang menjadi bahan pembicaraan orang tuanya dari pagi, ralat bukan pagi saja tapi setiap hari, dimana membahas tentang Faisal tidak ada habisnya. “Ada apa, mas?” tanya Luna menatap Faisal yang langsung berbalik badan. “Stok roti kamu habis?” “Memang mas butuh buat apa? Di belakang ada, tapi nggak tahu cocok sama mas atau nggak.” Faisal menggaruk kepalanya yang tidak gatal “Mau kasih cewek aku, lagi ngambek soalnya aku lupa kalau ada janji.” Luna menggelengkan kepalanya “Apa aja ya? Kalau yang sesuai sama ceweknya mas belum tentu ada.” Luna masuk kedalam menatap roti yang masih ada, mengambil beberapa dan membawa kedepan. Faisal yang melihat Luna keluar seketika tersenyum lebar, mengeluarkan uang karena tampaknya transaksi sudah selesai. Luna menghitung dan membungkusnya dengan cepat, tidak ada pembicaraan saat Luna melakukan pekerjaannya. “Mas nggak bilang kalau ada cewek?” Luna membuka pembicaraan. “Nggak, orang tua nggak akan setuju. Kamu tahu gimana mama, belum papa.” Faisal menggelengkan kepalanya “Kamu udah baik-baik saja?” Luna mengerutkan keningnya “Baiklah, mas. Aku nggak mungkin meratapi hubungan yang belum jelas. Beda cerita kalau hubungan ini pernikahan dan ada anak didalam sana. Mas memang nggak mau serius sama Mbak Rachel?” “Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kamu sendiri kapan membuka hati?” “Jalanin aja sekarang, mas. Lagian aku nggak ada target menikah sekarang, kalau dapat yang cocok mungkin bisa langsung.” “Makasih, kamu memang bisa diandalkan.” “Harusnya kasih bayaran lebih, mas.” “Nanti aku traktir makanan kesukaan kamu. Aku pergi dulu, keburu Rachel makin marah.” “Good luck, mas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN