Kisah Adrian Pemuda Yang Selalu Di Hina

1450 Kata
Bab 1 – Ini Aku, Adrian! Waktu istirahat aku habiskan di bawah pohon akasia, sambil mengipas-ngipas wajah dengan topi sekolah yang tadinya kukenakan. Keringat mengucur deras sekali. Setelah jam pelajaran olahraga selesai, teman-temanku membubarkan diri. Ada yang ke kantin, ke kelas dan ada juga yang masih berada di lapangan sama sepertiku. “Hei, anak miskin! Berani-beraninya kau membela tim B dan mengalahkan kami. Kau cari mati ya?!” erang Tono, si ketua The Genks Perundung. Seperti namanya, mereka memang suka menghina siswa-siswi yang kurang mampu di sekolah ini. Aku diam saja. Tidak mau mencari masalah hingga masuk ke ruang BP. “Mulutmu terjahit ya? Kenapa tidak jawab pertanyaanku?” tanya Tono lagi. “Maaf, aku hanya ikut bermain saja tadi. Kalian jangan tersinggung. Kita harus sportif dalam bermain,” sahutku. “Berani sekali ya!” Tono menarik rambutku hingga aku terjatuh. Kemeja sekolahku diremasnya dan mengancam akan memukulku kalau berani menjawab ucapannya lagi. Aku pun tertunduk, menerima pukulan keras ke wajahku. Bukan aku tidak mampu membalas, tapi aku tidak mau orang tuaku dipanggil ke sini hanya karena masalah perkelahian. Aku memang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahku seorang kuris pengantar barang sementara ibuku seorang kuli cuci dari rumah ke rumah. Kesulitan yang kami alami, tidak pernah dibebani pada semua orang, tapi orang-orang sangat senang membebani kami dengan hujatan. Entah salah apa aku dan keluarga pada mereka semua. Tak hanya di sekolah, di lingkungan rumah juga tidak mendapat dukungan. Aku selalu bersabar, seperti yang dikatakan oleh ayah dan ibu. Setiap kehidupan akan ada pasang surut dan naik. Berputar seperti roda delman. Bisa berada di bawah, menyatu dengan tanah dan bisa juga terbang tinggi hingga ke angkasa. Aku punya cita-cita besar, membuat perubahan hidup agar kedua orang tuaku tak lagi hidup susah. Aku yakin akan ada pelangi setelah badai yang menerpa. Tuhan pasti akan membantuku. Aku berjanji akan membungkam mulut mereka yang telah merendahkanku. Aku akan melindungi orang tuaku. Seperti luka tetapi tidak berdarah dan bernanah. Ingin rasanya, aku bungkam mulut mereka semua dengan berjuta prestasi yang aku miliki. Aku harus berjuang, aku harus bangkit. Aku tidak boleh lemah, jika aku lemah. Yang ada aku, semakin di hina dan di rendahkan hingga titik terendah. Semangat Adrian! Kamu pasti bisa, ayo bangkit! Jika kamu terjatuh, kamu bangkit lagi. Kamu tidak boleh, pantang menyerah. Jika kamu menyerah, siapa yang akan melindungimu serta keluargamu. Apalagi kasian, kedua orang tuamu. Bangkitlah Adrian, kamu harus menjadi prmuda yang sangat tangguh. Pemuda yang dapat mengangkat derajat dan martabat kedua orang tuamu. *** Malam ini, aku sedang mengerjakan tugas sekolah. Mataku terus mengawasi jam dinding. Ibu belum pulang sampai sekarang. Sudah jam 9 malam. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka. Segera aku mengejarnya dan melihat siapa yang datang? Ternyata ibuku sudah pulang. "Ibu baru pulang? ya ampun Ibu … Adrian sangat cemas dan khawatir. Takut kalau ibu kenapa-kenapa.” "Ya Allah, Adrian … kamu jangan khawatir dengan Ibu. Ibu sungguh tidak apa apa, Ibu habis ke rumah Tantemu. Ibu mau pinjam uang, untuk membayar SPP kamu - tetapi Tantemu tidak mau meminjamkan ke Ibu," ungkap Ibu dengan ekspresi sedih. "Ibu barusan pergi ke rumah Tante Cindy? Kenapa Ibu pergi ke rumah Tante Cindy? Apakah Ibu belum mendapatkan bayaran dari kerja keras Ibu mencuci pakaian?" tanyaku kepada Ibuku. "Iya, Nak, mereka bayar sekitar tanggall sepuluh. Sedangkan kamu kan sudah harus membayar uang sekolah tanggal lima," ungkap Ibu sambil menitikan air mata. Ya Tuhan, kasian Ibu. Aku tidak mungkin tega membiarkan Ibu, menderita seperti ini, gumamku dalam hati. Aku memutar otak, memutuskan untuk kerja paruh waktu di sebuah restoran Chinese. Lumayan hariannya dibayar lima puluh ribu. Aku pernah bertanya, tapi belum berani bekerja. Sekarang, aku harus memberanikan diri demi meringankan kedua orang tua untuk membayar uang sekolahku sekitar seratus delapan puluh ribu rupiah. Setelah aku hitung, aku bisa mengumpulkannya dalam waktu 6 hari karena seharinya digaji lima puluh ribu rupiah. Sisanya untuk makan kami. *** Aku tetap berusaha, semangat untuk membantu Ayah dan Ibu. Mulai hari ini aku bekerja di sana setelah pemiliknya berbaik hati mengizinkan aku bekerja. Sepulang sekolah, aku langsung kerja di restoran. Alhamdulilah, Ibu dan Ayah mengizinkan juga. Aku harus semangat, tidak boleh cengeng dan mengeluh. Aku ingin menjadi pijar bagi aku dan keluargaku. Walaupun aku sangat lelah, dan letih. Aku tidak boleh cengeng, saat tubuhku pegal, aku menempel koyo di bagian itu agar sakitnya hilang. Aku membalurkan minyak panas setiap malam supaya keesokan harinya bisa bangun dengan segar. Tidak terasa, sudah seminggu aku bekerja di Restoran Chinese ini. Koko dan Cecenya juga sangat baik. Bahkan jika aku rajin, serta kinerjaku bagus, atasanku pasti akan kasih bonus tambahan serta makanan untuk aku bawa pulang. *** Hari ini, ada ulangan sekolah. Ketika aku sedang mengerjakan soal dengan teliti. Tiba-tiba saja Tony, sang anak pembawa masalah, meminta hasil jawabanku. Aku sama sekali tidak menggubrisnya dan aku tetap melanjutkan ulangan. Namun, masalah datang tatkala aku sedang istirahat. Tiba-tiba Toni dan segerombolan kawannya datang menghadangku. Mereka memukulku secara membabi buta. Ingin sekali aku melawan, tetapi percuma. Jika anak nakal, aku lawan. Mereka akan semakin brutal. Aku tidak mau membalasnya dengan kekerasan. Apa bedanya aku dan dia bila aku membalasnya dengan cara yang sama? Lihat saja nanti, jika aku sukses. Aku akan balas mereka semua. Tetapi bukan dengan pukulan, tetapi aku akan membalasnya dengan berjuta prestasi yang aku miliki. Lihat saja nanti, aku akan membuktikan siapa aku. Jadi jangan coba coba macam-macam denganku. Aku sekarang berjalan ke UKS, aku di obati di ruangan itu. Guru BK yang sedang melihatku itu bernama Ibu Sonya. Ibu Sonya langsung menghampiri saat tahu aku masuk ruang kesehatan itu. Ibu Sonya sangat cantik dan baik hati. "Ya ampun wajahmu, Adrian! Kok bisa seperti ini? Siapa yang melakukan ini kepadamu? Bilang ke Ibu, nanti Ibu sidak anak-anak nakal itu," emosi Ibu Sonya. "Bukan siapa-siapa Ibu, aku hanya jatuh terpeleset di halaman. Nanti juga sembuh, setelah diobati. Ibu tidak perlu khawatir dan cemas," ucap aku kepada Ibu Sonya. "Kamu jangan bohong sama Ibu, Ibu tahu jika itu luka karena dipukul. Bukan luka karena jatuh, apa itu perbuatan Toni dan Geng-nya?" tanya Ibu Sonya, sambil menatapku secara tajam. "Bukan Ibu … Ibu tidak perlu cemas dan khawatir. Saya akan membalas mereka semua yang menghinaku. Ibu tidak perlu ikut campur. Biarkan mereka tetap sekolah di sini. Jika pihak sekolah, komite sekolah dan kepala sekolah tahu. Saya akan merasa bersalah, apalagi jika mereka sampai di skors dan dikeluarkan dari sekolah. Jadi, saya hanya ingin melawan dan membungkam mulut mereka, dengan prestasi bukan kekerasan," ucapku sambil menitikkan air mata. "Adrian kamu memang anak yang baik, Ibu bangga sama kamu. Sepulang sekolah, kamu ke rumah sakit lagi bila perlu ya. Ibu antarkan," ucap Ibu Sonya dengan penuh kelembutan. Sepulang sekolah, aku dan Ibu Sonya ke rumah sakit. Ibu Sonya memanglah berhati malaikat. Ketika aku ingin membayar biaya, ternyata Ibu Sonya sudah membayarkannya. Bahkan Ibu Sonya mengantarkan aku ke tempat kerja. "Maaf Iya Koko dan Cece, murid saya bekerjanya agak telat. Soalnya murid saya terluka pada saat di sekolah, jadi sepulang sekolah saya antarkan Adrian ke rumah sakit dulu," terang Ibu Sonya kepada Koko dan Cece. "Iya tidak apa-apa Ibu guru, terima kasih sudah mengantarkan Adrian. Terima kasih Ibu guru," ucap Koko dan Cece dengan ramahnya. "Ya ampun Adrian, mukamu sampai babak belur. Kamu kerjanya sampai jam tujuh malam saja. Mulai besok, kau libur saja dua hari. Koko kasih obat dan uang lagi buat kamu. Kamu mau obat Cina manjur?" tanya Koko sambil tersenyum. "Baik Ko, terima kasih iya Ko. Saya cuci piring dulu Ko," ucapku sambil tersenyum. Aku mencuci semua piring, hingga bersih. Setelah selesai, aku kini menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Dimsum dan Puyunghai. Karena bahan-bahan untuk Bakpao sudah di sediakan oleh Cecenya. Aku tidak menyangka, kalau si perundung dan pembuat masalah dan onar itu. Toni and the genks. datang ke kedai restoran Chinese tempatku bekerja. Bahkan mereka merundungku lagi, tetapi aku hanya diam. Diam bukan berarti aku lemah, aku diam karena aku tidak mau membuat masalah. Untungnya ada Koko dan Cece, mereka membela aku. Ketika aku di hina dan di rundung oleh mereka, yang sudah merendahkan aku. Ketika aku pulang kerja, Koko dan Cece memberikan nasihat dan petuah untukku. "Kamu kenapa Adrian? Kenapa diam saja? Ketika mereka menghinamu, seharusnya kamu lawan mereka Adrian. Kamu tidak boleh diam saja," tanya Koko kepadaku. "Aku diam saja, bukan berarti aku lemah Koh. Aku tidak mau, menambah masalah dengan berantem sama anak perundung di Sekolah. Aku ingin membalas mereka dengan prestasi, bukan dengan kekerasan Ko," terangku memberikan penjelasan kepada Koko. "Ya ampun Adrian, kamu memang anak baik, yang tidak mau membalas kekerasan dengan kekerasan. Koko bangga sama kamu, Nak," ucap Koko sambil memeluk dan mengelus rambut. Tiba-tiba pada saat Cece ingin berbicara dan memeluk aku - pandanganku buram, tubuhku melemah dan akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN