Kata orang bahagia itu adalah penyempurna hidup. Tapi kenyataannya, yang menjadikan sebuah hidup itu sempurna bukan karena kebahagiaannya. Melainkan luka yang pernah singgah dihatinya. Yang mungkin hampir menghancurkan hidupnya. Yang menguji diri dan segalanya. Hingga akhirnya mampu bertahan karena rasa percayanya pada Tuhan. Sebab Tuhan tak akan pernah memberikan sebuah ujian kepada seorang hamba melebihi kemampuannya. Dan setidaknya itu lah kata-kata yang membuat mereka bertahan hingga bisa berdiri tegak hingga saat ini. Mereka?
Ya. Mereka adalah perempuan-perempuan pilihan Tuhan yang ditakdirkan untuk menjalani takdir yang tak pernah terbayangkan akan ada di dalam kehidupannya. Dan tak ada satu orang pun yang ingin menggantikan posisi mereka ketika ketidakbahagiaan menerpa mereka. Begitu lah kehidupan manusia. Masalah adalah bagian dari ujian hidup yang akan terus ada selama manusia itu masih hidup. Masih bernyawa.
"Oke!" seru seseorang dibalik kamera. Satu matanya menyipit lantas mengangkat jempol. Setelah berkali-kali berpose dengan bermacam gaya, ia kembali berteriak untuk menyudahi sesi pemotretan kali ini. Pemotretan berjalan dengan sangat lancar.
"Bel! Bel!" panggil asistennya. Ia menoleh dengan cantik lantas tersenyum tipis. Siapa pun tahu kalau pernah ada sendu diwajahnya. Tapi kini? Dua tahun telah berlalu dan tak seharusnya membicarakan luka yang pernah ada itu. Luka yabg sudah dilupakan. Untuk apalagi memikirkan yang sudah berlalu? Hidup harus tetap maju. "Ada telpon! Dari Carissa!" serunya.
Bella mengangguk. Perempuan cantik yang bernama asli Arabella Sarasvati itu berjalan dengan anggun menuju asistennya yang sedari tadi tampak sibuk mengangkat telepon juga membalas beragam pesan. Selama dua tahun terakhir ini, ia dibanjiri banyak pekerjaan. Nyatanya, luka ini malah mendatangkan padanya rejeki yang berlimpah dan tak terkira. Yaa meski sebelumnya ia sudah terkenal. Namun banjirnya rezeki tak boleh ditolak.
"Assalamualaikum, Carissa," sapanya. Ia tersenyum tipis meski hanya lewat telepon.
"Waalaikumsalam, Mbaaaak! How are you?"
Ia tersenyum lebih lebar kali ini. "Baik, alhamdulilah."
"Alhamdulillah," ia ikut menyeru di seberang sana. Lantas menahan degup jantungnya. Ia sudah menunggu-nunggu hari ini. Hari di mana Bella berjanji akan mengabarkan keputusannya tentang tawarannya yang datang berbulan-bulan lalu. Namun baru benar-benar ditanggapi selama tiga bulan terakhir. Begini lah nasibnya yang hobi mencari derita dibalik cerita. "Eung....bagaimana, Mbak? Aku hendak bertanya kabar yang kita bicarakan sebulan lalu."
Bella berdeham. Perempuan itu memutuskan untuk menjauh dari keramaian. Ia berjalan cepat menuju tempat yang agak sepi dan malah masuk ke ruang ganti. Ia hanya memberi kode pada beberapa staf yang ada di dalam kalau ia hendak di sana sebentar selama menelepon. Mereka yang paham pun memilih untuk keluar.
"Tapi aku punya syarat."
Kalimat itu tentu saja membuat Carissa lega seketika. Setidaknya, ada harapan. Dan ada kemungkinan kalau tawarannya diterima bukan?
"Syarat boleh asal bisa dikondisikan, Mbak."
Walau sebetulnya Carissa juga tak bisa berjanji. Tapi ia tetap mencoba melobi apapun yang akan terjadi. Cerita ini akan sangat menarik. Karena ia justru mencari hikmah dari segala cerita itu. Bukan mau pamer aib ya.
"Aku ingin namaku disamarkan. Dan lagi...."
"Dan lagi?"
"Aku tak ingin hanya buku tentangku."
"Lalu?"
"Aku bersedia bercerita segalanya asal kamu tidak menulis sebuah buku hanya tentang aku"
Carissa tersenyum di seberang sana. Ia tahu kalau ia tak mau membuka keseluruhan cerita hidupnya. Mungkin tak akan cukup menjadi sebuah buku. Alasan lainnya, mungkin tak ingin publik tahu lebih dalam tentang apa yang pernah terjadi dalam kehidupannya. Meski semuanya sudah tampak jelas. Ya mana mungkin mereka tak bisa merangkai ceritanya?
"Kebetulan sekali. Sebetulnya aku ingin membahas ini nanti, Mbak. Aku terpikir untuk membuah sebuah cerita yang saling berkaitan. Mbak kenal.....Davira?"
Bella berdeham. Tentu saja ia kenal. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan perempuan itu. Statusnya pun sama dengannya. Dan ketika ia membandingkan kisah hidupnya, ia jadi merasa kecil. Merasa bukan apa-apa. Walau yah....barangkali ada yang beranggapan jika hidup sepertinya akan lebih menderita. Tapi juga ada yang beranggapan kalau hidup seperti perempuan itu, akan lebih menderita. Ini hanya persoalan pilihan.
"Aku ingin menggabungkan kisah kalian ke dalam sebuah buku, Mbak. Kalau Mbak bersedia, mau aku pertemukan dengan Davira....juga seseorang yang akan menjadi pelengkap buku ini?"
Kening Bella mengerut. Ia kira hanya ia dan Davira. "Siapa?"
@@@
Ia melihat ke sekitar. Saat memastikan suasana kafe agak sepi, ia memutuskan untuk masuk. Ia langsung berjalan naik ke atas dan memasuki sebuah ruangan di mana ia yang mereservasinya untuk bertemu dengan seseorang. Ia sungguh menantikan pertemuan ini. Kenapa?
Ia hanya ingin berbagi. Apa salahnya berbagi? Toh berkat 'aksi berbaginya' lah yang ternyata malah membawanya hingga pada titik ini. Walau yah, ia seharusnya tidak lupa mengatakan terima kasih pada seseorang yang membawanya pada titik ini. Titik di atas setelah lama terpuruk di bawah. Meski ditinggalkan itu menyakitkan, nyatanya ia justru menemukan sebuah kemanisan dari akhir pertemuan. Tanpa itu semua, ia tak akan pernah menginjakan kaki di tempat ini dan berada di posisi ini. Dan satu hal yang ia selalu ingat dalam hati bahwa ia harus selalu bersyukur atas semua yang terjadi di dalam hidupnya. Karena dengan takdir-Nya lah yang membuatnya tahan banting menghadapi segala luka yang pernah ada.
Ia menghela nafas lantas menatap ke arah jendela yang terbuka lebar. Rasanya sudah lama sekali tak merasakan hati selega ini.
Sementara perempuan lain baru saja berlari terbirit-b***t keluar dari pintu kereta. Perempuan itu terburu-buru melintasi pintu keluar stasiun lantas langsung menghampiri abang ojek online yang sudah dipesannya sejak hampir turun dari kereta. Akibat nyaris tertidur usai menelepon seseorang, ia jadi terlambat seperti ini. Terlambat bukan kebiasaan darinya. Tapi kali ini? Ah sudah lah. Bisa tiba dengan cepat saja sudah harus bersyukur.
Ia turun dari motor di salah satu gedung yang cukup tinggi. Kemudian meringis saat melihat jam ditangannya. Tak lama, ia sudah berlari masuk. Tujuan utamanya adalah lift. Tapi berhubung gedung ini sungguh besar, membuatnya sempat kesulitan. Butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah lift. Ia menggetuk-getuk kakinya sembari menunggu pintu lift terbuka. Begitu terbuka, ia memencet tombol lantai yang ia tuju. Kurang dari lima menit, ia sudah tiba. Ia melirik ke kiri lantas menemukan pintu masuk sebuah kafe.
Matanya langsung mengitari kafe yang lumayan sepi itu. Kafe ini terletak di lantai yang lumayan tinggi. Tidak terlalu ramai dan berada di sebuah gedung perkantoran bukan mall.
"Mbak....Davira?" sapanya yang membuat perempuan yang sedari tadi termenung menatap ke arah jendela pun menoleh ke arahnya yang mengembangkan senyuman tipis di bibir. Lalu ia mengulurkan tangan. Biar pun sudah sering berkomunikasi melalui pesan juga email-email yang cukup panjang, nyatanya baru kali ini ia bertemu langsung dengan perempuan manis dan cantik ini. "Saya...Carissa," kenalnya.
Davira mengangguk lantas membalas uluran tangannya. "Davira, Mbak."
Carissa tersenyum. Gadis itu segera mengambil kursi lantas duduk di seberang Davira. Biar pun terlihat bahagia di media sosialnya, tapi kali ini Carissa menangkap masih ada luka yang tersisa diwajahnya. Luka hati yang tersirat bukan luka fisiknya. Ini persis dengan beragam pesan juga email-email yang terkirim padanya. Ia cukup senang karena perempuan ini paling terbuka di antara yang lain.
"Kita mulai sekarang?" tanyanya. Rasanya ia terlalu cepat memulai tanpa harus berbasa-basi. Bukan apa-apa. Pasalnya perempuan di depannya ini bilang tak bisa bertemu lama dengannya. Katanya harus segera kembali ke Bandung.
@@@
"Aaaaaah ayo doong, Shiiiir!"
"Gak maauuu!"
Carissa hampir jungkir balik dari sofa apartemennya. Berhari-hari ia menumpang di kos teman ketika berada di Jakarta demi mengejar Arabella, Davira dan gadis ini. Tapi yang terakhir ini yang paling susah. Ia sudah susah payah bolos kuliah dari Yogyakarta sana, terombang-ambing di kereta api lalu menumpang pula di kos teman kuliahnya saat sarjana dulu. Eeeh tetap saja tak bertemu dengan sahabat lamanya ini. Susahnya bertemu gadis yang lama menjadi selebgram ini. Ditambah lagi, ia tahu kalau perempuan ini semakin sibuk. Terlebih.....
"Ayo doong! Berbagai sedikiiiit ajaaa! Gue gak janji sih bakalan booming kalo itu yang lo harapin!"
"Bukan itu masalahnya, Rissa!"
"Terus apa? Apa? Apa?" kesalnya. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Seharian ini pun ia sama sekali tak berniat melanjutkan tugasnya. Pikirannya masih stuck pada gadis ini.
"Apa kagak bisa nulis cerita yang bahagia gitu tentang gue? Kayak sekarang?" dumelnya.
"Bukan begitu. Kalo gak ada naik-turunnya mana seru? Dan lagi, Shira! Yang namanya hidup ya begitu. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang bahagia, kadang terluka."
Terdengar desisan ditelinganya. Ia tahu kalau urusannya dengan Inshira pasti tidak akan mudah. Gadis keras kepala itu memang tidak mudah ditakhlukan.
"Tapi gue udah bahagia sekarang! Akan percuma kalo lo mengorek itu!"
Carissa tampak gemas. "Justru ituuuuuuuuuu!" keluhnya. "Dengan lo bahagia sekarang, dengan posisi lo sekarang. Itu menunjukan kalo lo berhasil melewati badai itu, Shir! Nah gueee cuma pengen bercerita ke orang-orang kalo apapun cobaan hidupnya, semua orang bisa melewati itu!"
Inshira memutar bola matanya. "Apa peduli lo sama mereka? Mereka akan sibuk dengan urusannya masing-masing."
"Tidak perlu semua orang peduli, Shira. Jika satu atau dua orang bisa membuat perubahan untuk itu kenapa tidak? Dan lagi, lo tahu? Ada 48.344 kematian karena bunuh diri pada tahun lalu, dan meningkat hingga 1.171 di tahun ini. Rata-rata bunuh diri dengan alasan depresi. Mereka punya masalah tapi tak bisa menyelesaikannya hingga akhirnya memilih jalan yang malah semakin salah. Alih-alih tenang, malah menyesal selamanya. Padahal semua orang juga punya masalah. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang tidak punya masalah. Namun nyatanya, tak semua aware dengan keberadaan Tuhan di dalam kehidupan mereka," ia mulai membara. Inshira sudah tahu tipikal diplomat yang dimiliki oleh sahabatnya ini. Ia memang terkenal dengan keras kepalanya. Tapi untuk kasus ini, Inshira setuju. "Dan lo sebagai salah satu manusia yang berhasil melewati pahitnya kehidupan, masa gak mau berbagi? Walau mungkin masalah lo gak sebesar masalah orang lain yang ada di laut sana. Tapi setidaknya, mereka bisa belajar dari lo, Shira. Belajar tentang arti hidup, arti ujian dan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena ini lah cara manusia mencari tujuan hidup yang sebenarnya."
@@@