Hubungan Kakak Adik

1180 Kata
^.^ Jya duduk menatap seseorang yang beberapa menit lalu masuk ke dalam butiknya. Seseorang yang tidak pernah Jya harapkan datang ke tempat kerjanya. Siapa lagi kalau bukan Kakaknya, Aleta. “Kau tidak pulang lagi hari ini?” tanya Aleta buka suara. Jya langsung menjawab, “lihat nanti pekerjaanku.” “Semalam kau mampir ke kampusku?” tanyanya lagi. Jya mengangkat kepalanya dan memandang sang Kakak. “Iya, bukan sekedar mampir tapi aku mengisi seminar di sana,” jawab Jya dengan wajah datar. Aleta tersenyum. “Seminar apa kau di sana?” tanyanya tampak dengan raut wajah yang meremehkan Jya. Jya menatap sang Kakak dengan raut tak terbaca. “Bukan apa-apa, dan bukan urusanmu.” Aleta tersenyum mendecih. “Sombong sekali Adikku ini,” sindir Aleta. Jya menghela napas. “Aku belajar dari Kakaku,” balas Jya dengan santai. Selama ini terhitung dari mulai Jya berpikir bahwa Kakaknya adalah yang terbaik karena selalu memperhatikan dirinya dalam segala aspek yang bahkan kedua orang tuanya seperti tidak begitu mengurusi urusan kecil-kecil milik Jya, anak bungsu mereka. Sang Kakak adalah kebanggan bagi Jya, tempat dia menadah saat dia berada di akhir-akhir suatu masa miliknya. Dia mendongak menunggu keputusan sang Kakak dengan senang hati. Hingga terus menerus begitu sampai saat ini dia sudah bisa berpikir. Bukan dia tidak lagi ingin diurusi atau dipedulikan oleh Kakaknya itu, hanya saja Kakaknya sudah terlalu jauh mengurusinya sampai dia tercekik karena ulah Kakaknya sendiri. Aleta tidak membiarkan Jya berhasil dengan caranya sendiri, dengan jalan yang sang Adik ambil sendiri. Rintangan paling utama dari semua mimpi Jya saat dia mulai bermimpi adalah Kakaknya sendiri. Bukan tentang bagaimana menakluk sang Kakak agar dia dapat lolos dari rintangan itu, tapi tentang sang Kakak yang memang tidak pernah membiarkan Jya bermimpi, ketika dia sudah hampir lepas kendali atas Jya, maka dia akan menggunakan cara lain yaitu melibatkan kedua orang tuanya mereka dengan sudut pandangan seakan Jya baru saja menzolimi sang Kakak yang padahal dia sangat perduli dengan Jya. “Omong kosong apa lagi yang ingin Kakak mainkan?” tanya Jya dengan nada datar dan dingin. “Apa yang kamu katakana? Jangan mulai berkata kasar kamu pada aku, aku ini Kakakmu!” balas Aleta tidak terima. “Aku sudah membangun semuanya, aku sudah dikenal orang, aku sudah menjalankan semuanya selama setahun ini. Apa Kakak masih belum menyerah untuk berhenti mengurusiku? Aku sudah ratusan kali bahkan sebelum aku membuka usahaku, sebelum aku menyelesaikan naskahku. Kalau aku tidak mau bekerja di firma hokum itu.” Jya berucap dengan nada dingin dan tatapan tajam pada sang Kakak. Dia tidak ingin meninggikan nada bicaranya karena dia masih menaruh rasa hormat dan sopan di depan sang Kakak. Ada hal lain yang membuatnya betah berbicara dengan nada rendah dan datar, yaitu dia yang terlalu malas untuk berteriak mengeluarkan suara dan tenaganya menjadi lebih ekstra. “Yang terbaik dari semua urusanmu adalah kau kerja di firma hukum yang cocok untuk kulifikasimu bukan bekerja sebagai penulis buku dan tukang jahit! Kemana pikiranmu? Kau ingin menjadi sastrawan bodoh hanya mengandalkan khalayan?!” Aleta kembali berteriak pada Jya kali ini Aleta mencemooh pekerjaan yang sedang Jya geluti. “Kau menikmati menjadi pencipta sesuatu yang memalukan berasal dari pikiranmu? Huh! Ibu dan Ayah hanya menghabiskan uang dengan tidak berguna jika hanya berakhir seperti dirimu! Kau tidak memikirkan berapa ratus juga Ibu dan Ayah habis hanya karena membuatmu nyaman dimasa perkuliahanmu itu! berpikir dengan rasional Jya! Yang dibutuhkan saat ini adalah kesuksesanmu menjadi seorang pengacara atau kau dapat berlatih menjadi seorang hakim! Itu akan membanggakan keluarga, mengangkat nama Ayah dan Ibu!” ceramah Aleta panjang lebar pada Jya. Jya hanya mendengarkan sambil memandangi sang Kakak berceramah dengan wajah datar tidak terpengaruh sama sekali dengan bentakan sang Kakak padanya. Mentalnya sudah lebih kuat dari sebelumnya, anggap saja sebenarnya dia sudah terlalu sering mendapatkan ceramahan gratis dari sang Kakak hingga membuat dia kebal dengan bentakan-bentakan yang mengatas namakan kebahagiaan kedua orang tua mereka dan mengabaikan kebahagiaannya sendiri. “Apa poros hidupmu hanya tentang mengatur hidupku, Kak? apa tujuan hidupku hanya untuk memenuhi segala keinginanmu? Ck. Jika dibilang kau ingin aku mencapai semua mimpi yang tidak pernah kamu dapatkan, tidak masuk akal sebab kau sendiri juga menggagalkan keinginanku untuk beberapa kali mengikuti jejakmu. Mau aku bilang kau merasa iri. Padahal aku baru saja bernapas Kak, belum ada apa-apanya denganmu yang lebih dulu bernapas di bumi ini. Oh astaga aku bicara apa sih? Hahaha….” Jya tertawa atau lebih tepatnya dia sedang menertawakan dirinya sendiri yang tampak begitu bodoh dapat dimanfaatkan sang Kakak menjadi boneka uji coba untuk Kakaknya sendiri. Kemudian Jya menatap sang Kakak langsung ke matanya. Dia mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Aleta. “Apa seharusnya dulu saat kau menikah yang mencoba mantan suamimu itu aman atau tidak, saat malam pertama aku juga? Ah tapi saat itu umurku baru berapa? belum lulus SMA. Bercanda sekali aku kawin dengan Kekasih Kakakku sendiri yang rupa-rupanya Suami orang, ck ck ck!” bisik Jya dengan kejam di depan wajah Kakaknya. Kemudian Jya menarik tubuhnya kembali duduk dengan tagap, wajah Jya berubah menatap nanar Aleta yang tampak tertegun dengan ucapan Jya. Jya tidak peduli jika Kakaknya itu tersinggung akibat ucapannya. “Kak? tercengang ya? Aku bisa mengatakan hal semacam itu padamu lansung, huehm! Selama ini aku tidak paham dan belum berani saja untuk berkata-kata, aku berharap semua berakhir tapi nyatanya tidak, sampai urusan percintaanku pun kau urusi juga,”  keluh Jya sambil menatap tajam sang Kakak. “Jeyana! Jangan sekali-kali kau mengungkit tentang pria b******n itu!” bentak Aleta tidak terima setelah dia menyadari setiap ucapan sang Adik tadi di depan wajahnya. “Apakah tujuanku terlihat olehnya?” “Sudahlah, Kak. Saat ini aku hanya akan memikirkan bagaimana aku akan menjadi seorang penjahit katamu tadi dan menjalankan hobby yang sangat bermanfaat menghilangkan stressku ini. Biarkanlah kau mau mengataiku pecundang atau beban saja, selama aku sadar bahwa menuruti keingananmu sendiri, itu lebih buruk dari pada sekedar menjadi pengkhayal yang mengarang sebuah buku dengan ratusan halaman buku,” sindir Jya yang juga tidak menerima bujukan sang Kakak kali ini. Itu adalah bujukan kesekian kalinya yang tidak terhitung lagi oleh Jya, dan sungguh tidak terhitung juga penolakan yang Jya berikan pada Aleta. Sampai pada akhirnya Jya sendiri sudah bosan dengan Aleta yang masih saja memaksanya padahal waktu sudah berlalu cukup lama. “Bodoh! Diberikan jalan untuk kerja yang lebih baik dan membawa nama baik keluarga kau malah ingin bekerja yang tidak jelas seperti ini.” Aleta berkata sambil menunjuk-nunjukkan tangannya mengalahkan kesegala arah ruangan kerja milik Jya. Jya tersenyum. Tidak masalah tentang apa yang kau bilang tempat kerja yang tidak jelas ini. Aku hanya ingin memperjelas,” kata Jya. “Memperjelas apa?” tanya Aleta ingin mengetahui maksud dari perkataan Jya. Jya menatap sang Kakak yang duduk di depannya. Jya tersenyum. “Apa tujuan Kakak sangat ingin aku bekerja di sana?” tanya Jya pada Aleta. Aleta terdiam membalas tatapan Jya, lalu dia tersenyum. “Bukankah aku sudah memberitahukanmu alasannya tadi. Terlihat kebodohanmu, sudah kubilang berhentilah menjadi tukang berkhayal yang tidak berguna itu kau bisa saja gila suatu hari nanti,” jawab Aleta sambil kembali meminta Jya untuk berhenti mengurusi pekerjaannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN