6. Hutan Ajaib Trollehallar

1039 Kata
"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu. Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang. Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu. Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunakan? Jika semua yang terjadi itu bukan karena sihir, lalu karena apa? Bahkan NASA sendiri tak pernah membahas apa-apa tentang apa saja yang terjadi di Angelholm, tepatnya di Trollehallar. Kini NASA sibuk mengurusi kehidupan sekarat bintang raksasa bernama Betelgeuse di luar angkasa sana. "Aku khawatir pada anak anjing itu. Apa dia baik-baik saja?" gumam Isla. Ia menatap ke luar jendela dan melihat pemandangan yang ia lewati menuju Angelholm. Ada satu lagi hal yang sampai sekarang masih dia pertanyakan. Kenapa dia seperti hilang ingatan begitu pulang dari Trollehallar? Naik apa dia ke rumah? Apa saja yang terjadi selama dia pulang? Sementara ibunya berkata kalau dirinya langsung tidur begitu sampai di rumah. "Benar-benar tidak masuk akal," batin Isla. "Aku harus benar-benar mencari tahu apa saja yang terdapat di hutan Trollehallar itu. Selang lima belas menit kemudian, bus akhirnya sampai di sebuah pemberhentian. Isla turun dan ia menatap ke sekitar. Gadis itu sempat ragu untuk melangkahkan kakinya menelusuri jalan setapak menuju Trollehallar, namun dia sudah jauh-jauh datang ke sana dan akan sangat disayangkan kalau dirinya langsung kembali tanpa membawa apa-apa. Setidaknya, dia harus bisa mengurangi rasa penasarannya terhadap tempat itu, walau hanya sedikit dan dirinya masih diliputi rasa takut. "Rasanya seperti sudah berbulan-bulan aku tidak memotret," gumamnya seraya menyalakan kamera. Ia membidikkan fokus terhadap seekor burung yang hinggap di papan penunjuk jalan bertuliskan Trollehallar. Kedua kaki milik Isla perlahan melangkah melewatinya, berjalan semakin dalam menelusuri hutan. Ia sudah beberapa kali ke sana namun tetap saja terpesona dengan keindahan alam yang ada di sana. Bahkan bekas kebakaran beberapa hari lalu sampai hilang dan sudah ditutupi oleh jamur-jamur kecil bahkan rerumputan liar hingga benar-benar tak tampak kalau tempat itu pernah terbakar hebat dalam waktu kurang dari seminggu. "Kurasa orang-orang menyebut tempat ini sebagai hutan sihir itu memang tidak salah, karena semua yang ada di sini benar-benar terasa ajaib." Isla bergumam pelan seraya melihat hasil jepretannya. Samar-samar ia mendengar gemersak di antara semak-semak. Tubuh Isla mendadak menegang, gadis itu terdiam di tempatnya dengan kedua bola mata yang berputar ke kanan dan ke kiri, dalam hati ia berdoa agar ia tak melihat sesuatu yang tak diinginkannya, termasuk pemuda yang membawa es beberapa waktu lalu. Isla refleks memegang sebuah luka ringan di lehernya yang timbul karena goresan es itu. Membayangkannya saja sudah membuat ia merinding bukan main. Manusia mana yang bisa secara ajaib mengeluarkan es dari tubuhnya, atau yang lebih aneh lagi, dia bisa mengatur salju yang jatuh ke bumi. Apa dia anak Tuhan? Dewa Salju? Atau apa? Isla menelan ludahnya dengan susah payah. Perlahan ia mencoba berbalik dan menatap ke belakang, namun tak melihat adanya hal mencurigakan. Namun saat ia hendak kembali melangkah, suara itu kembali terdengar. "Apa mungkin itu anak anjing yang waktu itu?" Kedua mata Isla mengerjap. Mendadak ia khawatir dengan makhluk kecil itu, takut jika ternyata anak anjing itu kembali terluka parah sama seperti sebelumnya. Jika itu bukan anak anjing, mungkinkah pria es waktu itu? Kedua kaki Isla seketika bergerak mundur. Di saat yang bersamaan, tubuhnya tiba-tiba terdorong dengan cukup kuat hingga akhirnya ia jatuh ke permukaan tanah dengan kasar. Lalu tidak lama setelahnya, ia melihat ada kayu yang berukuran cukup besar jatuh hampir menimpa dirinya. "Ya Tuhan, aku pasti sudah mati jika tidak berhasil menghindar." Napas Isla terengah. Gadis itu begitu bersyukur karena bisa selamat. Lalu bersamaan dengan itu, ia melihat sesuatu di dekatnya. "Kau ... " Kedua pupil mata Isla melebar. Anak anjing yang tadi ia khawatirkan rupanya ada di sana, dan ia lagi-lagi menolongnya. "Kau baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan kakimu? Apa kakimu sakit lagi?" Isla buru-buru bangkit dari posisinya dan menghampiri si anaj anjing. Namun belum ia menyentuh hewan itu, Isla mendadak terdiam. Kedua matanya perlahan membulay. "Matamu ... " Gadis itu terdiam. Ia perlahan bergerak mundur menjauhi anak anjing itu. Sementara kedua mata si anak anjing tampak bergerak seakan tengah gelisah. Atau mungkin lebih tepatnya panik? "Siapa kau? Makhluk apa ... kau?" Napas Isla tercekat. Gadis itu semakin menjauhkan tubuhnya. Kedua mata anak anjing itu terlihat merah menyala, cenderung mengerikan. Perlahan hewan itu bergerak mendekati Isla namun gadis itu lagi-lagi menjauh. "Jangan mendekat!" ujarnya cepat. Gadis itu bangkit dan ia berlari secepat yang ia bisa. Isla keluar dari Trollehallar dan bergerak melewati pemberhentian bus yang seharusnya. Hari semakin sore dan ia tak ingin terjadi sesuatu yang aneh lagi di sana. Sementara si anak anjing menatap kepergian Isla dengan kedua mata yang berubah sendu. Bola mata yang semula merah menyala itu kembali berubah menjadi warna biru safir yang meneduhkan. Ia hendak mengejar Isla namun seseorang menghentikannya. "Hentikan. Kau akan semakin membuatnya ketakutan." Sosok itu berujar pelan Tubuhnya yang semula berbentuk anak anjing itu perlahan berubah menjadi sosok menyerupai manusia. "Apa aku membuatnya terluka?" Seseorang berujar seraya menatap ke arah Isla pergi barusan. Menyadari tak ada jawaban, ia kembali berkata, "Rhys? Kau baik-baik saja?" tanyanya. Pemuda bernama Rhys itu masih terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "aku tak apa." "Lalu bagaimana dengan gadis itu? Apa aku membuatnya terluka?" Rhys membuang napasnya pelan. "Tidak, kau tidak membuatnya terluka. Tapi kau berhasil membuatnya takut padaku," ujarnya. "Aku tak sengaja, sungguh. Aku juga tidak tahu kalau gadis itu akan datang lagi." "Tak masalah. Setidaknya aku berhasil menyelamatkannya dengan tepat waktu." Rhys berjalan melewati temannya. "Ingat, kita masih harus memfokuskan pencarian terhadap Kai dan orang-orangnya. Jika kita sampai lengah, maka planet ini yang akan jadi taruhannya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN