Semakin hari, suhu di kota Goteborg semakin menurun, padahal ini masih pertengahan tahun yang artinya, sebentar lagi musim panas akan datang. Namun bukannya suhu yang hangat yang didapat, justru suhu rendah yang menyelimuti keseharian orang-orang.
"Jangan lupa pakai mantelmu, Isla!" titah Maria dari bawah.
Di dalam kamar, Isla yang baru saja hendak membuka pintu itu seketika berdecak dan memutar kembali tubuhnya dan kembali membuka lemari, mengeluarkan salah satu mantel tebal miliknya.
"Ibuku memang agak menyebalkan dan cerewet, jadi kuharap kau tidak kesal selama berada di rumahku," ujar Isla asal pada Rhys yang kini duduk di atas sofa miliknya yang berada di kamar.
"Tapi itu pertanda kalau ibumu itu perhatian," ujar pria itu.
Isla hanya memutar kedua matanya dan gadis itu bergegas memakai mantel. Namun kedua kakinya lagi-lagi berhenti begitu mencapai pintu, dan tubuhnya kembali berbalik.
"Aku sudah menyiapkan makanan untukmu di dalam laci meja belajarku, makan saja. Di situ juga ada beberapa stok camilan yang belum kumakan. Jika kau menyukainya, kau bisa habiskan itu. Aku bisa membelinya lagi nanti bersama ibu. Dan kalau ibuku pergi, kau bisa turun ke bawah atau jika ibuku tidak pergi hari ini dan kau bosan seharian di kamar, kau turun tapi maaf, jangan pakai dengan wujudmu yang manusia. Oke? Sudah, ya. Aku berangkat!" Usai berkata penjang lebar, akhirnya Isla membuka pintu kamarnya dan keluar dari sana. Derap langkah kaki terdengar saat gadis itu menuruni satu per satu anak tangga dengan sedikit berlari.
"Ibu akan mengantarmu, Isla! Jangan baik bus, udara di luar begitu dingin." Maria segera menghentikan langkah putrinya dan ia segera mengambil kunci mobil di atas meja.
"Aneh sekali, padahal ramalan cuaca dari kemarin mengatakan kalau minggu ini udara akan menjadi hangat karena sebentar lagi musim panas, tapi kenapa malah semakin dingin begini? Tidak masuk akal." Isla berlari memasuki mobilnya dan langsung memasang sabuk pengaman.
"Ibu juga tidak paham. Memang tidak semua ramalan cuaca itu akurat, tapi ini kurasa terlalu kelewatan mengingat kita hampir menikmati musim panas. Semoga saja ke depannya cuaca dingin ini akan segera selesai," ujar Maria seraya menyalakan mesin mobilnya dan mengantar Isla ke sekolah.
"Padahal hari ini langit cerah sekali dan tak ada satu tetes pun salju terlihat," batin Isla seraya menatap ke luar jendela.
Tunggu!
Salju?
Kening Isla seketika mengerut saat mengingat sesuatu. Ucapan ibunya memang benar, kalau ramalan cuaca yang ada di setiap berita itu tidak akan selamanya akurat, tapi ini terlalu kelewatan dan berlebihan karena harus sampai memakai mantel hangat yang tebal.
"Ini memang aneh, dan bahkan terlalu aneh. Lalu apa mungkin jika ... ini ulah pria yang waktu itu? Yang melempar batangan es padanya sewaktu di Trollehallar? Pria yang mengendalikan es?" Isla kembali membatin dengan bulu kuduk yang sudah meremang. Gadis itu lalu mengusap salah satu permukaan lehernya dengan tangan dan merasa ada guratan di sana, bekas luka minggu lalu saat di trollehallar.
"Sudah sampai, Isla. Kau harus segera masuk sebelum bel berbunyi dan pagarnya ditutup oleh penjaga."
Ucapan Maria membuat Isla tersadar dari lamunannya. Gadis itu lalu berpamitan pada sang ibu dan segera keluar dari mobil.
Isla menatap orang-orang yang juga memakai mantel. Mereka tampak kedinginan dengan mantel tebal yang menutupi tubuh mereka.
Pemandangan yang agak asing di pertengahan tahun.
"Harusnya sebentar lagi aku bisa berlibur ke pantai," gumam Isla lalu mengembuskan napasnya pelan.
"Isla!"
Merasa namanya dipanggil, gadis itu menoleh dan ia melihat seorang pria yang berlari ke arahnya. Kedua mata Isla membulat dan gadis itu baru saja hendak melarikan diri namun salah satu tangannya lebih dulu di cekal.
"Pagi ini terasa agak berbeda dari pertengahan tahun sebelumnya, ya?" ujar Alex.
"I-iya, begitulah." Isla hanya tersenyum tipis dan melepaskan tangannya dari cekalan Alex. Yang harus ia lakukan sekarang adalah pergi dari sana sebelum Teresa melihatnya, atau ia bisa habis digoda seharian oleh sahabatnya itu.
"Jika musim panas nanti sudah tiba, kau mau liburan ke pantai bersamaku?" ajak Alex.
"Ha? A-ah, itu ... maaf, kurasa aku tak bisa. Aku ... akan sedikit sibuk. Ya, begitulah," alibi Isla. Padahal ke pantai di musim panas ini adalah hal yang sudah ia rencanakan sejak jauh-jauh hari sebelumnya.
"Ah, benarkah? Sayang sekali. Baiklah, mungkin kita bisa pergi lain kali. Oh, iya. Malam ini kau ada acara? Aku punya tiket nonton untuk dua orang tapi aku tidak ada teman untuk pergi. Kau mau pergi bersamaku?" Alex kembali menawari tawaran yang hampir saja membuat Isla berteriak dan memukul wajah pria itu.
"A-apa? Tiket nonton? Maaf, tapi kurasa—"
"Tentu saja Isla mau!!" Tiba-tiba Teresa yang entah datang dari mana itu langsung merangkul bahu Isla dan tersenyum lebar pada Alex.
Kedua mata Isla membulat dan ia merutuki kalimat yang baru saja keluar dari mulut lemas Teresa.
"Astaga apa yang baru saja kau katakan?!" protes Isla pelan seraya menyikut Teresa namun yang disikut justru tak merasa kesakitan sama sekali, malah sebaliknya. Teresa justru mengedipkan salah satu matanya pada Isla, menunjukkan tatapan kalau semuanya akan berjalan baik-baik saja dan tak perlu ada yang dikhawatirkan sedikit pun, padahal Isla merasakan yang sebaliknya.
"Benarkah? Kau tidak sibuk?" Kedua mata Alex sudah terlihat berbinar menatap Isla.
"Tentu saja! Malam ini Isla tidak sibuk, jadi kalian bisa pergi sepuasnya." Lagi-lagi Teresa menjawab lebih dulu saat Isla baru saja membuka mulutnya, membuat gadis itu kembali membulatkan kedua matanya.
"Sialan kau, Teresa!" rutuk Isla dalam hatinya.
"Baiklah. Kalau begitu nanti malam jam tujuh, aku ke rumahmu, ya! Sampai jumpa nanti, Isla!" Alex lalu berbelok ke koridor lain dan ia melambaikan tangannya pada Isla sebelum akhirnya bergabung dengan teman-temannya yang lain.
"Astaga, Teresa!" Isla segera melepas tangan Teresa dan menatap tajam sahabatnya itu.
Teresa pun hanya tertawa melihat reaksi Isla. "Kenapa kau marah? Bukankah itu bagus? Itu kan kesempatan yang sangat langka. Kapan lagi kau akan pergi bersama Alex?" ujar Teresa seraya merangkul bahu Isla, namun sahabatnya itu terlihat masih kesal.
"Hei, sudahlah. Lagi pula Alex itu tampan dan dia juga terlihat cocok denganmu. Jadi tersenyumlah, kau kan nanti malam ada kencan dengannya!" Usai mengatakan itu, Teresa langsung berlari menghindari amukan Isla yang langsung mengejarnya hingga ke kelas.
"Baik, baik aku menyerah!" Teresa yang sudah kehilangan tenaga itu langsung ambruk begitu sampai di dalam kelas.
"Awas ya, kau! Aku akan membuatmu babak belur jika kau tidak bisa menjaga mulutmu!" ancam Isla dan segera membantu Teresa berdiri.
"Salju!"
Deg.
"Salju?" Teresa menoleh ke arah jendela dan ia benar-benar melihat butiran salju turun. "Astaga, Isla! Lihatlah, salju benar-benar turun di pertengahan tahun!"
Kedua mata Isla membulat menatap pemandangan di depan sana.
"Mustahil."
—TBC