Di lingkungan perumahan selalu saja ada cerita yang menarik. Mulai dari ghibah mengenai tetangga yang kaya atau nyinyirin kejelekan seseorang melebihi aib diri sendiri. Sementara untuk gadis yang seumuran denganku adalah gossip mengenai sosok cowok yang tampan asal dari Korea atau negara luar lainnya menjadi santapan yang lezat buat di obrolkan.
Itupun tanpa terasa waktu gibahin seseorang bisa berjam jam memakan waktunya. Aku yang selalu ikut nimbrung sebenarnya sangat tidak tertarik dengan hal yang berbau gossip. Apalagi type cewek seperti diriku yang sebenarnya lebih menyukai permainan para cowok yang bisa memacu adrenalin. Menurutku itu lebih mengasyikkan dan menantang dari pada sekedar menghabiskan waktu untuk gosipin orang yang belum tentu kebenarannya, apalagi itu seorang artis yang tidak kita kenal betul.
Biasanya kami sering berkumpul dengan teman teman sebaya di lingkungan sekitar masjid di komplek perumahan. Semua membaur baik yang cowok maupun cewek. Semenjak kejadian di Mbah Anom, aku dipaksa ibu untuk sering berkumpul dengan teman teman di lingkungan perumahan. Meski sebenarnya aku sangat malas karena tidak ada yang bisa ku bahas dengan mereka.
Ketika mereka sedang asik menggosip di pelataran masjid selepas azhar, aku lebih tertarik berjalan sendiri mengelilingi lingkungan masjid. Hingga tanpa sengaja langkahku tertahan oleh sebuah poster yang terpampang di papan pengumuman masjid yang menarik mataku untuk membacanya.
Sebuah pengumuman untuk mengajak warga khusus di perumahanku untuk mengikuti sebuah pengobatan alternative cara islami. Seketika dahiku berkernyit membaca poster itu. Terbayang dalam otakku saat itu orang orang yang mengobati seperti di acara acara yang selama ini ku saksikan di televisi.
Setelah selesai membaca satu persatu isi poster itu, seketika keadaan di sekitarku langsung berubah. Whussss ... Lingkungan yang ku lihat tadi bukan lagi kondisi dan situasi di masjid. Aku seperti sedang berada di dunia lain. Dimana disitu ada beberapa orang yang menggunakan pakaian serba putih seperti para alim ulama.
Kejadian itu di tanah lapang yang cukup besar. Jika di hitungan kasar ada sekitar puluhan orang yang menggunakan pakaian serba putih tersebut. Mereka semua terdengar membaca ayat yang tidak asing di telingaku. Aku coba mendekat agar bisa terdengar lebih jelas lagi apa yang sedang mereka semua ucapkan.
Ketika langkahku semakin dekat barulah terdengar jelas apa yang mereka ucapkan semua. Rapalan doa wajib ketika shalat yang mereka ucapkan tapi tidak tuntas namun di ubah sedemikian rupa. Entah apa artinya tapi mereka sangat semangat membacanya.
Ada yang memandu di tengah kerumunan mereka. Terlihat seorang yang cukup berumur seperti usia ayahku. Mungkin lebih tua sedikit dari beliau. Ia yang begitu lantang merapal doa tersebut dan di ikuti oleh semua orang yang ada di sekitarnya.
Alangkah terkejutnya ketika tiba tiba satu persatu orang yang ada disitu berguguran ke tanah dengan tubuh yang menggeliat tak menentu serta menggeram dan menjerit. Tingkah mereka semuanya aneh, ada yang berlaku seperti hewan. Ada juga yang menangis tersedu sedu dengan suara khas seorang wanita.
Melihat tingkah mereka seperti ku urungkan langkahku untuk lebih dekat lagi. Cukup lama aku berada di situasi seperti itu. Tak ada satupun yang menyadari kehadiranku saat itu. Semuanya pada focus pada rapalan dan kerasukan yang tak jelas.
Hingga akhirnya orang tertua yang memandu seremoni tersebut seperti sedang menatap tajam ke arahku. Sepertinya ia menyadari kehadiranku. Mendapat tatapan tajam seperti itu membuat tubuhku bergetar seketika. Rasa takut langsung menyelimuti seluruh tubuhku. Ingin rasanya membalikkan badan dan berlari secepatnya, tapi tubuh ini tak mampu ku gerakkan sedikitpun.
Sosok tua itu terus menatapku dengan mata merah yang terlihat seperti menyala. Amarahnya seakan mau meledak, rasanya ia ingin melahapku seketika. Ya Allah ingin rasanya menjerit sekeras kerasnya. Aku benar benar sangat takut menyaksikan semuanya. Sekejap memejamkan mata berharap ini semua hanya mimpi dan segera berakhir, tapi ternyata tidak.
Ketika membuka mata, betapa terkejutnya melihat semua yang ada di hadapanku tidak hanya sosok tua tadi yang masih menatapku. Melainkan semua orang yang sedang kesurupan di tempat itu menatap ke arahku. Tampak raut benci dan kemarahan yang begitu beringas di tunjukkan oleh mereka. Seketika aku tak mampu lagi menahan tubuh ini untuk melihat kejadian di depan mata.
“Ris, bangun nak, sadar nak …” lamat lamat terdengar suara khas orang yang sangat ku kenal.
“Kenapa Riris, Bu? Ini dimana Bu?” aku masih tak bisa mengingat kejadian yang baru terjadi. Sementara Ibu juga masih khawatir dengan keadaanku. Raut wajah tua itu terlihat begitu panic namun ia berusaha untuk tenang.
“Kamu tadi semaput di masjid, kurang lebih sejam. Kenapa kamu nduk?” perlahan ibu coba interogasi diriku. Perlahan aku coba memahami perkataan ibu sambil mengulang memori ketika berada di masjid tadi. Ah rasanya kepalaku begitu berat dan terasa nyeri. Seketika ku pegang kepalaku dan ibu membujuk agar aku tak usah mengingat dan kembali berbaring saja.
Aku pun pasrah dengan keadaan, mencoba menahan rasa sakit pada kepala dan tubuhku yang lain. Tak ada satupun yang mampu ku ingat kejadian seperti yang Ibu ceritakan tadi. Sambil menyuapi makanan Ibu coba menghibur diriku dengan cerita yang ia karang. Aku paham Ibu bermaksud menghibur diriku yang masih terlihat ling lung dengan situasi saat itu.
Pikiranku saat itu masih melayang entah kemana, apa yang di ceritakan oleh ibu satupun taka da yang ku pahami. Di telingaku hanya terngiang suara jeritan banyak orang. Asupan yang masuk ke dalam mulut hanya terendam di dalam mulutku. Mataku tertuju pada satu titik di hadapanku.
Kembali keadaan sekitarku berubah menjadi gelap gulita. Tak ada cahaya sedikitpun yang menyinari. Aku seperti berada di suatu tempat yang begitu luas. Suara jeritan yang lirih kembali terdengar. Perlahan lahan suara itu menjerit memanggil namaku. Tidak hanya satu yang memanggil tapi ramai yang berteriak.
Sedikit cahaya mulai muncul dari arah depan seperti mulai mendatangiku dibarengi dengan suara jeritan tadi. Asap kabut pun turut hadir dengan menggumpal dan seperti menari nari mengelilingi sesuatu. Perlahan tapi pasti ketika asap kabut itu semakin tipis, terlihat beberapa sosok manusia yang berpakaian alim ulama, jubbah putih dan bolang putih.
Hampir sama dengan kejadian yang ku alami di masjid tadi, tetapi kali ini ada yang terlihat beda dengan apa yang ku rasakan. Melihat mereka terasa ada perasaan damai, nyaman dan tenang. Rasanya aku ingin mengikuti mereka, berada di dunia mereka. Aura yang terpancar dari semua sosok yang ku lihat itu berwarna putih yang cukup menyilaukan, namun masih bisa ku lihat wajah wajah yang begitu asri, enak di pandang.
Tanpa terasa air mataku keluar perlahan lahan. Ada rasa haru dan bahagia yang bercampur aduk menjadi satu yang sangat sulit ku gambarkan saat itu. Seperti ada yang membuatku kangen dengan kehadiran mereka ini. Perasaan tidak asing dengan semua sosok yang hadir di muka ku.
“Assalammualaikum Ameera …”
“Waalaikumsalam ya Sayidi rabiy …”
Mereka lalu tersenyum dan perlahan menghilang bersamaan dengan cahaya putih yang turut memudar.
“Ris … sadar nduk, eling … Istighfar nduk.” Kembali ibu cemas dengan diriku.
Aku yang tersenyum ketika tersadar jadi membuat ibu bertambah bingung. Beliau berpikir mungkin aku lagi mengigau atau bermimpi aneh. Apa yang barusan terjadi juga aku belum mengerti maksudnya. Untuk kejadian barusan aku masih bisa mengingatnya.
“Koe ki ngapo toh nduk, tadi nangis sekarang pringas pringis koyok wedus.”
Aku tambah terhibur kalau ibu sudah mengeluarkan ciri khas jawanya. Rasanya seperti ironman lagi makan tiwul.
“Udah ah Bu, Riris mandi dulu ya, udah sorean nih, keburu magrib ntar … “
Ibu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya yang main kabur ketika ia sedang di khawatirkan. Paling tidak Ibu bisa bernafas lega jika anaknya baik baik saja tidak seperti apa yang di risaukannya.