1
Mentari menunjukkan dirinya dengan malu-malu seperti biasanya di pagi ini.
Putri yang masih tetap ingin berada di dalam dunia mimpinya terpaksa harus bangun karena jam di dinding telah menunjukkan pukul 5 pagi dan alarm miliknya pun telah berbunyi.
Jika dia menunda beberapa menit lagi, dia bisa terlambat untuk pergi ke sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah mereka.
Dengan langkah yang terasa berat, dia beranjak dari atas kasur minimalisnya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah serta menggosok gigi dan melakukan aktivitas lainnya selain mandi.
Ya, dia memang selalu merasa malas untuk melakukan aktivitas tersebut apalagi saat di pagi hari seperti ini karna air nya terasa dingin.
Palingan, Putri mandinya ketika pulang sekolah dan itu pun kalau dia tidak merasa kecapean.
Putri tau dan sadar betul kalau dia pemalas dan jorok. Tapi meskipun begitu, dia sama sekali tidak peduli.
Sejauh ini, tidak ada satu pun hal yang mampu untuk memotivasi dirinya agar rajin mandi. Dan sampai saat ini pula, dia masih tetap memegang teguh alasannya ketika ditanya kenapa tidak mandi. Yaitu, 'mandi atau ngga mandi pun akan tetap sama. Ngga akan ada yang berubah. Aku tetap akan terlihat jelek dan kulitku pun tidak akan pernah memutih mau sesering apapun aku melakukan aktivitas itu. Jadi ngga usah mandi, ayo hemat air dan selamatkan bumi dari kekeringan!'
Itulah alasan yang selalu dia berikan.
Setelah kurang-lebih 15 menitan berlalu, dengan mata yang telah terlihat jernih dan wajah yang terlihat segar, Putri keluar dari dalam kamar mandi dan mengambil seragamnya dari dalam lemari.
Setelah memakainya, dia langsung menatap pantulan wajahnya di kaca berukuran besar miliknya.
Untuk sesaat, Putri menghela nafas saat menatap pantulan dirinya itu.
"Dasar jelek!"
Ucapnya kepada diri sendiri kemudian menjulurkan lidahnya ke arah kaca dan tertawa.
Putri tau kalau dia aneh. Tapi jujur saja, menghina diri sendiri memiliki kebahagiaan tersendiri untuk dirinya.
Dia sangat suka mengatakan 'jelek' kepada dirinya ketika sedang bercermin di pagi hari. Dan itu semua dia lakukan untuk mempersiapkan diri agar ketika nanti di area sekolahan mereka ada yang melakukan rasisme dengan memilah antara si cantik dan si buruk rupa, Putri sudah merasa tidak sakit hati lagi serta lebih enjoy dengan muka pas-pasan nya tersebut karena telah sadar diri.
Sebenarnya, wajah putri tidak bisa di kategorikan jelek, tapi dia juga tidak cantik. Wajahnya biasa-biasa saja dan hanya ada beberapa orang selama 18 tahun hidupnya yang mengatakan kalau dia jelek.
setelah selesai merapikan pakaian dan wajahnya, Putri keluar dari dalam kamar menuju ke meja makan yang sekaligus menjadi dapur mereka.
Rumah mereka memang cukup minimalis. Memiliki ruang tamu seadanya dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Kamar tidur mereka ada 3, satu untuk abangnya satu untuk ibunya dan satu lagi untuk dirinya. keluarga mereka memiliki hidup yang pas-pasan.
Putri beruntung bisa sekolah di sekolah bergengsi dimana para siswanya mayoritas anak orang kaya.
Tidak, Putri bisa masuk ke sana bukan karena kepintarannya. Dia bisa masuk ke sana karena teman Alm. ayah nya bersedia menyekolahkan dirinya bersama putri mereka dengan alasan ingin membalas hutang budi.
Awalnya putri menolak tawaran itu. Karna jujur saja, sejak awal pun dia sudah merasa yakin kalau nanti dia akan menjadi minoritas di sana. Dan kemungkinan terburuk yang dia pikirkan adalah menjadi korban bully karna dianggap berbeda kasta dan juga tidak memiliki wajah yang jelita.
Tidak ada yang bisa Putri tonjolkan dari dirinya. Pintar? Tidak, kaya? Apalagi. ke sekolah saja naik angkot. Cantik? Astagfirullah, sejauh ini tidak pernah ada satu pun laki-laki yang mau mendekati dirinya karena mereka merasa kalau dia tidak menarik.
Dan karna itu semua, pada awalnya dia merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut.
Tetapi, karena merasa tidak enak kepada teman ayahnya serta anak mereka juga adalah sahabatnya, Putri jadi terpaksa untuk mengiyakannya.
Dia mengambil langkah nekat untuk datang ke sekolah yang dalam mimpi pun dia tidak berani memimpikannya. Dan setelah masuk ke sana, Putri merasa lega karena orang-orang di dalamnya tidak seburuk yang dia bayangkan walaupun tidak semenyenangkan itu untuk di kenang.
Putri adalah orang yang ramah. Dan oleh karena itu, banyak siswa yang mau menjadi temannya walaupun di antara mereka semua tidak ada yang berjenis kelamin laki-laki.
Mungkin ada, tapi mereka bukan teman dekat melainkan hanya sekedar kenal saja.
Putri menjalani kehidupan masa SMA yang monoton. Kesehariannya hanya seputar masuk sekolah, pusing dengan pelajaran, habis itu pulang. Main ke luar bersama teman-teman? Putri tidak pernah melakukannya karna kantongnya tidak pernah sanggup untuk mengimbangi jajan mereka yang terlahir dari keluarga kaya raya.
Dan juga, terkadang rasisme suka berlaku di sana. Tapi jujur saja, Putri tidak merasa masalah sekali karna sejak awal pun dia sudah menduga kalau hal itu akan terjadi. Sehingga, dia tidak menetapkan ekspektasi yang tinggi tentang sekolahnya ini.
Tidak mendapatkan bully-an secara fisik seperti yang dia lihat di drama-drama Korea yang dia tonton saja sudah membuatnya merasa sangat bersyukur. Dan bagi Putri, hal itu sudah lebih dari cukup karena dia bukan orang yang serakah.
Dan perihal cinta-cintaan masa SMA? Sama sekali tidak pernah berani Putri memimpikannya karena dia adalah orang yang sadar diri.
Para siswa di sekolahnya adalah anak orang kaya dan para siswi di sekolahnya pun rata-rata berwajah jelita. Jadi mustahil bagi upik abu seperti dirinya bisa bersanding dengan salah satu dari mereka disaat wajahnya terlihat lebih pantas menjadi babu mereka.
Putri adalah orang yang sadar diri jadi dia tidak pernah berani memimpikannya.
Yang ada di dalam pikirannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolahnya hanyalah masuk, belajar, ujian, kemudian lulus dan melamar kerja di kantor perusahaan yang mungkin saja adalah milik keluarga dari salah satu teman sekolahnya.
Dia realistis. Tidak mungkin kehidupan berjalan seperti di dalam dunia dongeng di mana sang pangeran bisa jatuh cinta kepada upik abu.
Mungkin bisa, tapi ada syaratnya. Yaitu, sang upik abu harus jelita dan sayangnya Putri jauh dari kata itu.
"Bu, hari ini bekel Putri di banyakin ya. Karna libur panjang, nafsu makan Putri jadi nambah. Putri takut kalau nanti di sekolah kelaperan kalau ibu kasih porsi yang biasanya," ujar Putri kepada ibunya saat sudah sampai di meja makan.
"Ibu kan tau sendiri kalau jajanan di kantin sekolahan Putri mahal-mahal dan selalu sukses bikin jiwa miskin Putri meronta-ronta karna sayang duit, jadi di tolong di banyakin ya bu, hehe," lanjutnya seraya menunjukkan cengiran bodohnya.
"kenapa harus meronta-ronta? Kamu kan bisa beli. Apa jangan-jangan uang jajan yang ibu kasih itu kurang?" sahut ibunya.
Putri langsung menggeleng, "cukup kok bu. Cuma sayang aja gitu rasanya kalau Putri gunain uang itu buat beli makanan yang harganya ngga ngotak. Masa nasi goreng aja 25 ribu sih bu? Di pinggir jalan kan cuma 10 ribuan dan rasanya juga lebih enak. Jadinya daripada jajan di kantin, Putri lebih milih jajan setelah pulang sekolah karna porsi yang putri dapet jadi lebih banyak dan pengeluaran lebih sedikit," sanggahnya.
"Yaudah, terserah kamu. Tapi kalau semisal di sekolah kamu ngerasa lapar, jangan ditahan ya. Langsung beli makanan di kantin. Dan kalau memang uang jajan kamu kurang, jangan segan-segan buat minta sama ibu."
Putri tersenyum lebar dan menghormat kepada ibunya, "siap 86 kapten!" sahutnya.
"Kalau di sana ada yang jahatin lo, kasih tau gue yah, biar gue kasih pelajaran orangnya."
Kini, yang berceletuk adalah Angkasa Putra, abangnya Putri.
Usia mereka berbeda satu tahun dan sekolah mereka pun juga berbeda. Putra tidak sekolah di tempat Putri yang elite dan berisi anak-anak yang kaya raya. Dia bersekolah di SMA biasa yang dekat dari rumah mereka.
Sebenarnya Putri juga ingin bersekolah di sana karna menurutnya lingkungannya lebih cocok untuk dirinya. Tetapi karna dia merasa tidak enak dengan teman ayah mereka, jadinya dia dengan berat hati mengubur keinginannya itu.
Dan tentang abangnya, Putra. Ada satu perbedaan kontras di antara mereka berdua, yaitu soal fisik. Jika Putri berwajah pas-pasan, Putra malah sebaliknya. Parasnya sangat Tampan dan hal tersebut seringkali membuat Putri menjadi iri di buatnya.
"Ngga ada kok, santuy. Lagian siapa sih yang berani sama gue, bang? Jawara kampung kita nih ...!" jawab Putri dengan percaya diri.
"Bagus! Pokoknya kalau ada yang macem-macem, langsung hajar aja yah. Dan kalau semisal lo udah ngga bisa nanganin mereka, kasih tau gue biar gue yang maju!"
"Siap...!" sambil mengacungkan jempol tersenyum lebar menanggapinya.
"Oiya, hari ini mau gue anter ngga?" tawar Putra setelahnya sambil menyendokkan sarapan yang ibu mereka buat, ke dalam mulutnya.
"Ngga usah deh bang, gue berangkat sendiri aja," tolak Putri.
"Kenapa?"
"Ntar lo telat."
"Santuy, satpam sekolahan sama guru BK udah jadi cs gue. Jadi ngga papa telat juga."
"Pokoknya gue ngga mau, titik ngga pake koma tanda seru lima!" tolak Putri lagi dengan keras kepala sambil terus memasukkan makanannya ke dalam mulut.
Alasan sebenarnya kenapa dia tidak pernah mau di antar oleh Putra adalah karena rasa insecure yang suka datang menghampirinya.
Ketika mereka berdua berjalan bersama, orang-orang suka salah faham dan menganggap kalau mereka berdua pasangan dan pada akhirnya menghina Putri.
Putri tidak ingin merusak paginya.
"Yaudah bu, Putri berangkat dulu. Takut telat," sambung Putri seraya mengambil bekal makan siangnya dan mencium tangan ibunya.
Setiap pagi, dia selalu makan dengan terburu-buru untuk menghindari perdebatan dengan Putra yang selalu menawarkan diri untuk mengantarnya. Sehingga, tidak butuh waktu lama bagi Putri untuk menghabiskan sarapannya.
"Hati-hati di jalan ya sayang," ucap ibunya yang sudah merasa terbiasa.
"Iya buuuu!!!!" Jawab Putri yang kini sudah berada di ruang tengah.
"AWAS NYASARR...!!!" teriak Putra.
"BODOAMAT!!!"