16

1050 Kata
Seminggu sudah berlalu sejak Hayato dan Shatoru kabur, dan sampai saat ini tak ada kabar apapun baik dari mereka maupun militer kekaisaran. Padahal awalnya penjual b***k sudah was-was jika keduanya mengatakan perihal penujualan manusia itu, tapi nyatanya sampai saat ini ia masih duduk santai sambil menyeruput teh hijau di depan teras rumah tuanya. Dan sejak Hayato pergi, ia belum mendapatkan seorang pun yang bisa menghasilkan uang untuknya, padahal loginya sudah menipis, militer kekaisaran yang bekerja sama dengannya pun meminta bagian. Bekerja sama dengan orang-orang yang mengaku abdi negara itu sama saja seperti bekerja dengan sumber penyakit, kapan saja mereka bisa menyerang. Tapi, jika tidak begitu ia tak mungkin bisa menjalankan bisnis haram itu kapan saja tanpa ketakutan berlebih. "Kau masih memikirkan mereka?" tanya si kusir sambil menggosok tubuh kuda jantannya yang berwarna coklat gagah perkasa. Kuda jenis itu memang yang terbaik, bahkan sering memenangkan banyak pertandingan, juga memenangkan banyak perjudian yang menguntungkan. Salah satunya juga dengan bermain curang. "Wajar aku masih memikirkan mereka. Kalau sampai buka mulut, bisnis kita akan hancur, bukan," ujar si laki-laki penjual b***k. "Bukan bisnis kita, tapi pekerjaanmu, aku hanya seorang kusir." "Kau juga menikmati uang hasil menjual mereka," setelah mengucapkan hal itu si penjual b***k masuk kedalam rumah. "Kemana kau?" tanya si kusir lagi, saat penjual b***k itu masuk kedalam rumahnya. "Dewaku menunggu untukku sembah," ujar si penjual b***k yang hanya bisa membuat si kusir menggelengkan kepalanya. Si kusir yang sudah bekerja dengannya begitu lama tak bisa banyak berbicara, penjual b***k itu terbiasa diam jika tak membahas tentang logi, tapi jika tentang logi ia akan sangat banyak berbicara. "Paman, makan lah dulu, aku memasak enak untukmu," ujar Ayami mendekati si kusir. "Khusus untukku?" "Untuk kalian, lagi pula yang memberi uang bukan dirimu," ucap Ayami ketus. "Begitu jawabmu padaku," kata Si Kusir. "Kalau begitu aku minta sake, satu gelas saja." "Tidak ada, hanya ada air sumur." Si kusir hanya bisa mengulas senyumnya sambil mengekor Ayami yang menuju dapur untuk mengambil makanan. Saat si kusir tengah sibuk dengan gadis bernama Ayami, si penjual b***k sibuk dengan cawan berisi abu sang ayah, di tatapnya abu itu dengan mata kecilnya. Pikirannya terus tak arah setiap ada masalah, ingin sekali ia marah pada ayahnya yang menghibahkan masalah itu padanya atau pada para Dewa yang telah memberikan semua padanya. "Kapan aku bisa keluar dari masalah ini," desisnya sambil tangan kanannya mengelus perlahan luaran cawan itu. Sudah 25 tahun lebih kematian itu, tak mungkin ia bisa melupakannya begitu saja. Awal masalah ini juga dari dirinya, dirinya yang bersikap kesatria padahal tak tahu apa-apa. Kematian ayahnya menyisakan luka batinnya untukknya juga untuk ibunya. Setahun setelah usai perang saudara, ibunya jatuh sakit dan lumpuh. Karena terlalu miskin tak banyak dokter yang mau membantu. Hingga akhirnya sang ibu meninggal. "Kau tidak berdoa, hanya melamun saja. Lebih baik kau makan," ujar Ayami memasuki tempat berdoa. Laki-laki itu menatap Ayami dengan wajah datarnya, sekilas ada senyum tipis di bibirnya. "Aku belum makan," kata si laki-laki. "Si kusir mengatakan padaku kau terlalu banyak pikiran, sekembalinya dari Tabuchi kau juga belum makan. Bagaimana mungkin kau tak lapar?" papar Ayami. "Sebagai seorang wanita kau terlalu banyak bicara," setelah mengucapkan itu si penjual b***k menaruh cawannya kembali di dekat dupa dengan aroma mawar kuning jenis lodris. Si penjual b***k berjalan keluar, di susul Ayami yang mengikuti dari arah belakang. Sebagai seorang pekerja, Ayami tak mungkin berjalan sejajar dengan penjual b***k itu. *** Sementara itu Hideyoshi telah mengucapkan selamat tinggal pada Hayato dan Shatoru yang keluar dari Sibichu melewati gerbang selatan. Hideyoshi belum bisa pergi dari kota itu sampai ia menemukan pencuri yang mengambil semua benda berharganya, termasuk surat penyatuan, logi dan barang lainnya. Jika ia datang ke Edo tanpa surat itu, ia akan dia anggap sebagai seorang pengacau yang tak memberikan bukti apalagi ia seorang ronin. Sedangkan Shatoru dan Hayato kini sudah berada di kereta, Hideyoshi bilang akan sangat akan menuju Yondama menggunakan kereta karena perjalanan yang tak baik. Shatoru mengawasi jalan dari samping, Hayato tengah menikmati tidurnya, sementara kereta yang di kusirkan orang itu masih saja terus berjalan. Dalam perjalanan itu Shatoru mulai memikirkan perkumpulannya yang mungkin saat ini tengah sibuk menunggu kabar tentangnya. Mereka tak akan khawatir hidup-matinya, karena mereka tahu bahwa Shatoru begitu waspada terhadap banyak hal. Meskipun kadang bersikap bodoh, untuk melakukan semuanya sendiri. "Paman, aku lapar." Suara serak Hayato yang baru saja bangun membuat lamunan Shatoru pecah. "Aku menyimpan persik di kantung belakangmu tidur," ucap Shatoru memberitahu Hayato. Hayato yang lapar mulai membuka kantung itu, mengambil sebuah persik berwarna merah-jambu dan langsung menggigitnya. Dengan begitu menikmati Hayato memakannya, meskipun tak akan kenyang setidaknya itu bisa mengganjal perutnya sampai mereka menemukan makanan yang layak di sebut makanan. "Paman," kata Hayato lagi saat mulutnya sudah tak ada makanan lagi. "Kenapa kau begitu baik padaku?" "Berapa kali kau menanyakan itu, apa kau ingin sekali tau?" tanya balik Shatoru atas pertanyaan Hayato. "Aku ingin sekali tau, tidak mungkin kau menolongku karena hanya ingin, kan? Aku tidak mengenalmu..." "Aku mengenalmu," potong Shatoru, "lebih tepatnya aku mengenal salah satu anggota keluarga Shouta." "Lalu apa hubungannya denganku?" "Satu-satunya keluarga Shouta yang masih hidup kan cuma dirimu, maka biarkan aku berbuat baik padamu. Membalas jasanya padamu." "Aku masih tak paham," kata Hayato terus mengunyah buah persik itu yang tinggal setengah. "Suatu saat kau akan mengerti, kau masih terlalu kecil," ujar Shatoru. "Jangan panggil aku anak kecil, Paman," gerutu Hayato tak suka dengan panggilan anak kecil. Hideyoshi memanggilnya bocah, Shatoru menyebutnya anak kecil, Hayato merasa tak akan tumbuh dewasa. Hayato terus bertanya pada Shatoru tentang kenapa Shatoru membantu dirinya, sementara Shatoru tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan jujur, lagi-lagi karena tak ingin ada hal lain yang terbongkar di dirinya, ia tak ingin Hayato membenci dirinya jika hal itu terjadi. Meskipun Hayato begitu polos, tapi Shatoru tahu bahwa dari sorot matanya ada benar-benar denda yang ingin sekali ia tuntaskan bagaimanapun caranya, termasuk membunuh. Untuk saat ini, mungkin yang bisa ia lakukan hanya diam saja tanpa bisa mengatakan yang sejujurnya. Saat Shatoru tengah memikirkan itu, Kereta itu tiba-tiba saja berhenti. Shatoru berjalan kedepan untuk memeriksa. "Apa yang terjadi, Paman?" begitu tanya Shatoru pada si kusir. "Di depan sana sudah hutan tebu, aku tak bisa mengantar lebih jauh," jawab si kusir. Shatoru mengangguk mendengar ucapan si kusir karena ia tahu alasannya. Setelah itu Shatoru menuju belakang untuk mengajak Hayato berjalan menyusuri hutan dan kemungkinan akan sampai besok hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN