Bab 19

1391 Kata
Malam pertama di Negeri Voresham. Rumah Trienta terdiri dari tiga kamar. Dia tinggal seorang diri di sana. Anak-anak disuruh untuk tidur di kamar depan, para perempuan di kamar dua, Bu Bertha akan tidur di kamar Trienta. Sedang Gunawan dan Henri akan tidur di ruang tamu. Bu Bertha tidak bisa tidur. Trienta mengetahui itu—bahwa sahabatnya sedang memikirkan cara agar bisa mengalahkan Penyihir Harguri dan menyelamatkan negeri ini. Trienta mengajak Bu Bertha untuk berjalan malam. Bu Bertha menyetujuinya. “Bisakah kamu ceritakan padaku, kenapa bisa tinggal di sini?” Bu Bertha memulai percakapan setelah mereka berjalan tanpa tujuan di halaman belakang rumah jamur Trienta, di bawah gelapnya langit malam. Tidak ada rumah jamur lain di sekitar rumah Trienta. Hanya ada rumahnya saja, tidak ada rumah lain. Sejauh mata memandang, hanya halaman yang ditanami rumput hias hijau nan memanjakan mata kala dilihat di siang hari. “Panjang ceritanya, Bertha. Apakah kamu mau mendengarkannya?” Bu Bertha tersenyum mengangguk. “Kita sudah tiga puluh tahun tidak saling bertukar cerita, Trienta. Bahkan aku masih ingat cerita terakhirmu. Tentang anak kepala desa.” Trienta terkekeh. Dia jelas ingat siapa yang Bu Bertha maksud. Bu Bertha dan Trienta memutuskan untuk merebahkan tubuh di rumput, menikmati indahnya langit di malam hari. Trienta mulai bercerita. “Kamu tahu bukan apa pekerjaan ayahku waktu itu. Dia ditugaskan untuk menjaga negeri ini. Awalnya aku tidak ingin ikut. Aku mau tetap tinggal denganmu. Kamu tahu, aku sulit untuk mendapat teman. Tapi apa boleh buat. Keputusan ayahku tidak bisa diganggu gugat. Pilihannya hanya dua; ikut atau aku tidak dianggap anak. Cukup kejam bukan? “Hari demi hari kulewati dan aku pindah sekolah. Tidak ada yang mau menjadi temanku karena takut akan kuhajar. Dan itu berlaku hingga sekarang. Tiga puluh tahun berlalu, aku tidak punya teman kecuali Tinda.” “Tinda?” “Iya.” “Apa itu?” “Sebentar.” Trienta mencoba mengingat sesuatu. “Ah, macan kumbang.” Bu Bertha beranjak duduk. “Bagaimana kamu bisa menemukannya? Apakah hewan-hewan di sini sama seperti yang ada di bumi?” “Ada beberapa. Tapi untuk macam kumbang, aku membawanya. Kamu tahu, aku pernah ke bumi.” “Kamu tidak bercanda, kan?” Trienta menggeleng. “Sungguh. Aku pernah ke bumi.” “Lalu kenapa kamu tidak mencariku?” Trienta ikut duduk. “Mana aku tahu kalau kamu tinggal di bumi.” Benar juga. Setelah Trienta pergi, beberapa tahun setelahnya, barulah Bu Bertha dan para orang tua lainnya diusir dari tempat asal mereka karena sebuah kesalahan. *** Arjuna tengah berdiri di depan jendela. Dia melihat sekitar dan sesekali menghela napas sambil memandang langit. Kinara sudah tertidur beberapa menit setelah dia masuk ke dalam kamar. Kamar yang mereka tempati sekarang cukup luas. Ukurannya enam kali enam meter persegi. Tidak ada yang menarik. Bahkan bisa dibilang kamar ini nyaris kosong. Hanya ada kotak yang terbuat dari kayu untuk menyimpan baju. Untuk tidur, satu-satunya alas yang ada hanyalah pakaian yang mereka kenakan agar tidak langsung menempel dengan lantai kayu. Tapi, mau separah apa pun, itu bukan sebuah bencana bagi Kinara. Lihat bagaimana pulasnya dia tidur sekarang ditambah dengkuran. Kinara sangat pandai menyusaikan diri. Anggara tengah bersandar di dinding sambil melihat beberapa foto yang sengaja dibawanya sebelum berangkat. Itu adalah foto gadis-gadisnya. Ya, kalian bisa lihat sendiri. Si Playboy itu tampaknya sedang merindukan gadis-gadisnya. Adelina sendiri tengah merepet tidak jelas. Tangannya sibuk mengoleskan krim-krim perawatan wajahnya sebelum tidur. Adelina tidak habis pikir, bagaimana bisa di rumah ini tidak ada cermin. Padahal tuan rumahnya adalah perempuan. Apa dia tidak pernah berdandan atau bagaimana? Usai memakai serangkai produk kecantikan di wajahnya, Adelina siap untuk tidur. Arjuna menutup jendela. Dia merebahkan tubuh di samping Anggara, menyuruhnya tidur. Mereka harus tidur sekarang karena besok akan ada yang menunggu mereka. Entah itu kabar yang mengenakkan atau justru sebaliknya. Keesokan paginya, Sarah masuk ke kamar tempat mereka tidur, membangunkan. Sarah menyerah saat membangunkan Kinara. Dia menyerahkan hal tersebut pada mereka berempat. Adelina menyiramkan segelas air di wajah Kinara, barulah gadis itu terbangun gelagapan. “Semoga jodoh lo nanti cowok penyabar, Ra,” tutur Adelina penuh harap. Kalau jodoh Kinara nanti bukan pria penyabar, bisa-bisa sehari setelah mereka menikah nanti, suaminya akan langsung pergi menceraikannya karena susah sekali dibangunkan. Terdengar aneh dan cenderung bodoh sebenarnya. Akan tetapi, hal itu bisa saja terjadi, mengingat ada berapa banyak pernikahan yang berhenti di tengah jalan karena hal-hal sepele. Mereka semua berjalan ke kamar mandi, mengantri. Kinara yang pertama. Jangan harap ada pompa air di sini. Negeri ini masih sangat tertinggal. Mereka menggunakan timba untuk mengambil air dari sumur. Tidak ada sikat gigi dan odol yang disediakan oleh Trienta untuk para tamunya. Bukan karena tidak ingin, melainkan memang tidak ada benda semacam itu di negeri ini. Penduduk Negeri Voresham menyikat gigi mereka menggunakan daun jambu biji. Kinara merasa bersyukur karena sebelum pergi, Adelina mengusulkan pada mereka semua untuk membawa odol, sikat gigi, dan juga sabun mandi. Kalau bisa dalam jumlah banyak. Adelina berbangga diri akan idenya itu. Jelas, karena dia tidak perlu menyikat giginya seperti cara penduduk negeri ini. Itu sangat-sangat dan sangat kuno sekali. Setelah selesai dengan urusan kamar mandi, mereka semua bergabung di ruang tengah untuk sarapan bersama. Adelina menghela napas lemas. Perutnya lapar, akan tetapi melihat menu sarapan mereka pagi ini membuat Adelina terkena tekanan batin. Hanya ubi rebus dan air putih. Itu saja. Anggara menyenggol bahu Kinara, menyuruhnya untuk tersenyum, jangan menampilkan wajah mengeluh. Masih syukur mereka bisa makan dan mengisi tenaga. Kinara tidak merasa itu adalah sebuah masalah. Apa pun yang dihidangkan, dia akan makan dengan lahap. Lupakan soal makanan enak, Kinara bisa menyesuaikan diri dengan baik. Terlebih, mereka masih makan bersama. Sensasi kebersamaan membuat makanan biasa terasa jauh lebih nikmat. Arjuna juga sependapat dengan Kinara. Baginya, asalkan bukan racun, maka itu bukan masalah sama sekali. “Maaf, aku hanya bisa menyediakan ini untuk kalian semua,” kata Trienta membuka sesi sarapan pagi ini. “Tidak, tidak. Kamu tidak perlu meminta maaf, Trienta. Kami sudah sangat bersyukur sekali atas kebaikanmu. Kalau bukan karenamu, mungkin kami sudah kehabisan darah karena digigir nyamun,” sela Sarah mengalihkan pembicaraan agar Trienta tidak perlu merasa bersalah atas ubi rebus hidangannya. Winda dan Sinta membagi masing-masing satu potong ubi ke masing-masing orang. Para orang tua menikmati ubi rebus tersebut dengan santai sambil sesekali membahas hal-hal ringan seputar negeri ini. Lima belas menit, sarapan selesai. Sinta, Sarah, dan Winda membantu Trienta mengangkat bekas kulit ubi dan tempat air ke dapur. Henri dan Gunawan pergi keluar ingin menghirup udara segar katanya. Tersisa Bi Ijah dan Bu Bertha di ruang tamu bersama mereka berempat. Arjuna langsung bisa membaca situasi. Dia tahu sebenarnya bahwa Bi Ijah dan Bu Bertha ingin menyampaikan sesuatu kepada mereka. Adelina merasa bahwa situasi menjadi tegang sekarang. Apalagi Bu Bertha ada bersama mereka. “Bagaimana perasaan Aden sekarang?” tanya Bi Ijah pada “anak majikannya”. Sejak Anggara lahir, Bi Ijah memanggilnya dengan sebutan Aden. “Baik, Bi.” Bu Bertha memulai pembicaraan. “Kita akan berpisah sebentar lagi. Kalian akan dijemput oleh orang yang akan menjadi guru kalian. Sebentar lagi dia akan datang. Kalian fokus saja berlatih, jangan pikirkan kami. Kami bisa menjaga diri.” Bu Bertha memberi wejangan. “Yang Bertha katakan benar. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan kami. Kalian harus fokus menguasi kekuatan kalian, agar kalian bisa membantu kami mengalahkan Penyihir Harguri yang jahat itu.” Arjuna mengangguk mantap. Dia sudah siap dengan itu. Tapi tidak dengan tiga orang lainnya. Anggara, Kinara dan Adelina belum siap seratus persen. Bagaimana bisa mereka tidak mengkhawatirkan para orang tua? “Sekarang bersiaplah. Sebentar lagi pelatih kalian sampai,” tutup Bi Ijah. Bu Bertha dan Bi Ijah berdiri, pergi masuk ke kamar tengah. Arjuna berdiri, mengajak yang lainnya masuk ke kamar mereka, menyiapkan barang-barang mereka, memastikan tidak ada yang tertinggal. Tanpa sadar, Adelina meneteskan air matanya saat memasukkan produk-produk kecantikannya yang tadi malam sempat dikeluarkan dari dalam tas. Dia merasa sedih karena harus berpisah dengan mama dan papanya. Kinara dan Anggara juga merasakan hal serupa. Kalian tahu, sebenarnya Arjuna juga demikian. Akan tetapi, dia sudah siap seratus persen dengan hal ini. Dia tahu bahwa konsekuensi menjadi anak pemilik kekuatan jelas lebih dari menjadi manusia biasa. “Gak usah nangis, Del. Kita berempat harus berlatih sungguh-sungguh. Kita akan bergabung bersama para orang tua untuk memenangkan negeri ini. Kita akan bersatu kembali.” Adelina mengusap air matanya. Kalimat Anggara sedikit banyak menguatkan hatinya. Baiklah. Beres-beres selesai. Mereka siap untuk berlatih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN