Kuterima surat cerai

1176 Kata
Sore itu Nadia sedang memasak untuk makan malam suami beserta ibu mertuanya. Dia cukup menikmati prosesnya dengan pikiran bahwa ketika suaminya pulang nanti, mereka bisa meluangkan waktu berdua untuk membicarakan mengenai program hamil, karena selama 2 tahun pernikahan, mereka belum juga mendapatkan momongan. Makanan sudah siap untuk disajikan di meja makan. Namun saat Nadia sedang sibuk dengan aktifitasnya, Ibu Mertuanya dari arah pintu datang menghampirinya dengan tatapan sinis. “Kebetulan kamu sedang masak, jadi sekalian saja siapkan beberapa camilan ringan, karena kita sebentar lagi akan kedatangan tamu.” ucap sang ibu mertua sambil bersedekap d**a berdiri di samping Nadia. “Baik, Bu. Nanti saya akan siapkan cemilan untuk tamu ibu,” jawab Nadia sambil membawa piring tersebut ke meja makan yang letaknya bersebelahan dengan dapur dan hanya di sekat oleh papan geser yang berfungsi sebagai tempat pernak pernik. “Oh ya, Ibu lupa kalau tamu kali ini bukan tamuku, melainkan tamunya Galih. Dia sengaja membawanya kemari karena Ibu sudah lama ingin bertemu dengannya.” Lanjut ibu mertua sambil mengekori Nadia dibelakang demi melihat ekspresi menantunya. Langkah Nadia terhenti. Beberapa pikiran negatif singgah di hatinya, seakan firasat buruk yang entah apa itu, dia tidak mengerti. “Oh… Nadia akan menjamunya dengan baik agar tidak mengecewakan Mas Galih.” “Baguslah kalau kamu tahu diri kalau kamu cukup mengecewakan Galih. Hah … jika saja dulu Galih tidak memilihmu, pasti nasibnya tidak akan sesial ini.” ucap ibu mertua dengan entengnya pergi meninggalkan ruang tersebut. Setetes air mata tanpa sadar jatuh membasahi wajah Nadia. Dia mengusapnya dengan kasar sambil tersenyum dan menyakinkan diri sendiri bahwa ibu mertuanya mungkin sedang dalam mood yang buruk. Mulut Ibu Mertua dari pertama kali bertemu dengan Nadia memang tidak pernah berbicara baik, bahkan cenderung mengolok-olok dan secara terang-terangan menunjukkan bahwa dia tidak menyukai keberadaannya. Nadia pikir, dia mungkin hanya belum dekat dengan Ibu mertuanya, dan perlahan dengan dukungan Galih mampu meluluhkan hati ibu mertua yang keras padanya. Namun nyatanya salah, selama dua tahun pernikahannya dengan Galih Adi Kusuma, tidak pernah sekalipun Ibu mertua menganggapnya sebagai menantu, dan yang ada hanya permusuhan. Mungkin ini karena dia hanya wanita yang hidup dan tumbuh di desa dengan hanya mengandalkan Neneknya yang telah tiada 2 tahun yang lalu. Nadia paham jika Galih bukan pria dari keluarga biasa. Dia adalah putra semata wayang dari seorang janda yang telah kehilangan suaminya karena meninggal sejak Galih berusia 12 tahun. Maka dari itu, ibu mertua yang kerap disapa Nyonya Yunita Adi Kusuma itu selalu menuntut anaknya untuk bisa seperti ayahnya, dan itu bisa dibuktikan dengan Galih yang saat ini memiliki jabatan sebagai manajer tetap di salah satu perusahaan ternama. 1 jam telah berlalu, dan Nadia sejak menyiapkan makan malam hingga camilan tidak berhenti sedetikpun. Semua hal sudah dia lakukan demi menyambut tamu Galih. Sejauh itu Nadia melakukan segala cara agar ibu mertuanya mau sedikit saja memandang baik ke arahnya. Suara pintu bel terdengar. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Nadia baru selesai mandi dan berganti pakaian buru-buru keluar kamar dan menuruni tangga menuju ke pintu. Dia sudah siap dengan dress sederhana berwarna putih tulang dan rambut diikat dengan sedikit pemerah di bibir yang tersungging senyuman manis demi menyambut kepulangan suaminya. Namun begitu dia sampai di ruang tamu, pemandangan menyakitkan justru yang dilihatnya. Di depan matanya terlihat jelas Ibu mertuanya tampak bahagia bercengkrama dengan seorang wanita yang di gandeng oleh suaminya dengan mesra. Tangan Galih bahkan tidak lepas dari pinggang wanita asing itu. “Siapa wanita yang Mas Galih bawa? Mengapa dia dan ibu mertua berbicara dengan begitu akrab? Apakah Ibu mertua pernah bersikap sehangat itu padaku?” Tubuh Nadia gemetar, langkahnya tiba-tiba saja terasa berat dan firasat buruk itu semakin menguasai pikirannya. Hati Nadia seketika runtuh meski berkali-kali dia berusaha berpikir positif bahwa mungkin wanita itu adalah saudara jauh mereka saat melihat wanita itu mengecup mesra pipi Galih. Ketiganya masih bercengkrama dan berpindah ke sofa tanpa mengindahkan kedatangan Nadia yang terpaku dengan pemandangan di depannya. Pria yang selalu menjadi alasan Nadia bertahan selama 2 tahun pernikahan kini dengan terang-terangan membawa wanita lain kehadapannya. Pikirannya kini kacau, tidak bisa berpikir jernih dan langsung saja menghampiri Galih yang masih asyik bercanda dengan wanita di sebelahnya. Saat Nadia berdiri di depan Galih hendak ingin melayangkan pertanyaan, ibu mertuanya justru menyela. “Kebetulan kamu sudah disini, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk memanggilmu. Kemana saja kamu? Bukannya menyajikan camilan untuk tamu malah diam di dalam kamar.” Tuduh Yunita sang ibu mertua dengan sinis. “Tante, jangan gitu dong. Mungkin saja istri Mas Galih sedang tidur karena ini sudah malam. Aku kemari kan karena memang ingin bertemu dengan tante,” sela wanita asing itu dengan menepuk-nepuk punggung tangan Yunita yang duduk tidak jauh darinya. “Ya ampun Bianca, kamu baik banget sih masih membela wanita pemalas sepertinya. Beruntung Galih membawamu kesini, jadi tante bisa segera bertemu dengan menantu idaman sepertimu yang mengerti perasaan tante.” Ujar Yunita dengan senyum cerah. Perasaan Nadia semakin kacau saat mendengar pernyataan Yunita. Dia pun melihat ke arah Galih dengan tatapan menuntut, “Apa ini maksudnya, Mas? Kamu selingkuh?” tuduh Nadia langsung tanpa basa-basi, matanya yang merah basah menatap tajam Galih. Hatinya tersulut emosi, namun dia sebisa mungkin masih mengontrolnya demi menunggu jawaban pria yang dicintai. Galih bukannya menjawab, dia justru mengambil map berisi secarik kertas serta pena dan menyerahkannya pada Nadia dengan wajah tak bersalah. “Tanda tangani itu, Nadia. Aku menceraikanmu saat ini juga. Maaf, tapi aku harus kembali pada Bianca, aku mencintainya. Aku tau kamu pasti terluka mendengarnya, tapi aku tidak bisa bersamamu lagi meski kamu mencintaiku dan memohon padaku.” David berbicara dengan tampang songongnya. Dia terlalu percaya diri dengan sikapnya itu masih membuat Nadia yang selalu melakukan apapun demi dia pasti akan memohon-mohon untuk tidak meninggalkannya. Ya… begitulah Galih, pria yang memiliki kepercayaan diri tinggi dengan sikap narsisnya, dan bodohnya wanita yang mencintai pria narsis itu adalah Nadia. Apa yang Nadia dengar terdengar seperti Tuhan sedang membuat lelucon padanya. Air matanya jatuh, dan dia tertawa hambar. “Hahaha… jadi, selama ini… apakah hanya aku seorang diri yang berjuang demi pernikahan kita?” Nadia melirik ke arah ibu mertuanya sambil mengambil pena di meja. “Jadi alasanmu menceraikanku hanya karena kamu masih mencintai kekasih masa lalumu? Astaga… aku pasti sudah gila mendengarnya.” Tanpa basa-basi, Nadia menandatangani surat cerai tersebut, dan meletakkannya di meja. Dengan menguatkan hatinya, dia kembali bertanya. “Katakan! Katakan padaku, apakah perkataan konyol itu cukup untuk menjadi alasan kamu memilih wanita itu, Mas Galih? Apakah tidak sedikitpun kamu mengingat masa-masa saat kita bersama dulu? Apakah sedangkal itu kata cinta yang dulu selalu kamu ucapkan dengan penuh percaya diri padaku?” Galih tertegun. Dia kehilangan kata-kata dan memilih mengalihkan pandangan ke arah Bianca, “Yah… bukannya kau sudah mendengarnya barusan? Apa itu tidak cukup jelas?” “Jangan bohong padaku, Mas! Kamu tidak melakukan ini karena permintaan Ibu ‘kan?” Nadia sudah tidak peduli dengan yang namanya etika dan langsung menunjuk Yunita dengan sudut matanya yang tajam. Yunita geram, dia berdiri dan melayangkan tamparan di pipi Nadia hingga menimbulkan suara. “Wanita kurang ajar! Beraninya kamu menuduhku yang seorang ibu baginya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN