MDU 06

1622 Kata
Malam ini, Tristan mengajak Jovanka untuk keluar. Merayakan hari pertama mereka jadian. Meski dengan berat hati, Jovanka mengiyakan permintaan pemuda tersebut. Ingin mencoba membuka hatinya, siapa tau ia bisa mencintai Tristan. Walau sebenarnya begitu mustahil. "Kita nongkrong di kafe aja ya," ajak sang pemuda. "Serah lo," malas sang gadis. Tanpa menunggu lama, Jovanka langsung mendudukkan bokongnya di jok belakang motor ninja pemuda tersebut. "Jov, kamu kok makek baju minim amat. Tar ketiyup angin gimana?" Tristan memperingati, tanpa mengalihkan tatapan matanya dari paha mulus gadis di belakangnya. Jujur saja, Tristan merasa tak rela jika ada orang lain yang melihat kemulusan aset kekasihnya ini. "Terus, gue harus gimana? Ganti baju lagi?!" cercanya. "Iya kalau bisa, aku cuma nggak rela aja, jika ada orang lain yang liat paha mulusmu. Kalau mau pamer sama aku, nanti aja ya, di kamar. Pas kita berduaan." ucap Tristan, menaik turunkan kedua alisnya. "Sialan lo! Otak lo kepenuhan sampah keknya!" tanpa banyak bicara lagi, Jovanka turun dari motor Tristan dan beralih masuk ke kamar kosnya. Bergegas berganti baju. Jovanka tersenyum dalam hati, tak menyangka jika Tristan begitu perhatian padanya. "Ich!! Apaan sih Jov!" gerutunya sambil memukul kepalanya pelan, merutuki pikiran konyol yang terlintas di dalam otaknya. Tak berapa lama, Jovanka kembali menaiki motor sang pemuda. "Lama banget sih, ganti bajunya." "Elo pikir ganti baju bisa secepat kilat?! Ini juga baru sepuluh menitan!" "Sepuluh menit nungguin kamu, berasa sepuluh tahun tau nggak, lamanya. Aku tuh nggak bisa lama-lama jauh dari kamu." "Lebay!" Tristan tersenyum, menatap pantulan cermin spion motornya. Yang menampilkan sosok sang gadis di belakangnya, yang terlihat tengah menahan senyuman. "Jangan ditahan, kalau mau senyum ya ... senyum aja, tar jadi jerawat loh kalau ditahan ...," godanya. Jovanka hanya menunduk, menggigit pipi dalamnya. Kenapa gue jadi aneh begini? Gumamnya kesal. Tak berapa lama mereka berdua sampai di kafe yang mereka tuju. Jovanka terdiam sejenak. "Loh! Ini kafe apaan Tan? Kenapa remang-remang gini?" tanyanya heran. Pasalnya tempat itu terkesan seperti pondok kecil, hanya untuk dua orang dalam satu ruangan. Dan jangan lupakan, penerangan remang yang menambah tempat itu terkesan seperti sebuah gua. "Kamu belum pernah ke sini? Ini tempat para anak muda nongkrong sama pasangan, Jov," jelasnya. Jovanka hanya menggeleng kecil, karena memang dia tidak pernah pergi ke tempat semacam ini. Merekapun akhirnya memasuki satu ruangan di sana. Tristan memesan makanan, sedang Jovanka diam di tempat. Entah mengapa, otaknya memikirkan sesuatu yang begitu konyol. Bagaimana Tristan bisa tau tempat ini? Apa dia sering membawa para gadis ke tempat ini? Di tempat remang, seperti ini?! Apa yang mereka lakukan?. Aisshh!!! Jovanka kembali mengetuk kepalanya. "Jov, kenapa dengan kepalamu?" panik Tristan yang baru saja datang, dan tanpa sengaja melihat gadis tersebut memukul kepalanya sendiri. "Ah. Tidak," kekehnya canggung. Tristan hanya mengangguk dan mendudukkan tubuhnya di samping sang kekasih. Suasana mendadak sunyi, tak ada yang ingin bersuara. Mereka hanya membungkam mulut masing-masing, sesekali menelan ludahnya. "Jov," Tristan mencoba memecah keheningan. "Em," sahutnya pelan. "Aku ---" DRTT ... DRTT ... Getaran ponsel Tristan mengejutkan atensi canggung keduanya. Dengan malas pemuda itu mengambil benda pipih tersebut dari dalam sakunya. Dan melihat siapa gerangan, sosok yang mengganggu momen romantisnya dengan sang kekasih. Seketika kerutan muncul di kening pemuda itu, saat membaca isi pesan di layar ponselnya. Jovanka sedikit penasaran, tanpa seijin sang empunya, gadis itu langsung merebut ponsel pemuda tersebut. "Siapa sih?!" rebut Jovanka, dengan segera ia membaca isi pesan tersebut. Sontak kedua alisnya menukik, syok. LIA IMUT. "Babe, aku kangen ... katanya mau dateng? Kok lama?" Membaca pesan tersebut, entah mengapa hati Jovanka terasa berdesir. Dadanya terasa berdegup kencang, bukan karena jatuh cinta melainkan menahan emosi yang tiba-tiba terasa membuncah. Ia tak tau kenapa, harusnya ia tak peduli akan hal itu. Tapi mengingat jika Tristan sekarang merupakan kekasihnya, rasa tak suka saat gadis lain menghubungi pemuda miliknya itu tiba-tiba muncul begitu saja. "Apa sih kamu!" Tristan merebut paksa ponselnya dari genggaman sang kekasih, kasar. Yang mana membuat Jovanka tersentak kaget. Hatinya mendadak terasa ngilu, saat pemuda itu membentaknya seperti saat ini. Apakah ini sisi lain dari Tristan? Apa selama ini dia hanya mempermainkan Jovanka?. Pertanyaan-pertanyaan absurd mulai muncul di dalam otak gadis tersebut. Jovanka menunduk canggung, ia merasa aneh dengan semuanya. Entah menguar kemana sifat bar-barnya saat ini. Ia takut, sakit, campur aduk bergemuruh di dalam hati. "Jov, maafkan aku," titah Tristan, karena sadar akan sikap berlebihannya. "Gak apa-apa kok! Santai aja lagi!" Jovanka berusaha menetralkan ekspresinya, seolah tak merasakan kecewa. Meski kedua matanya sudah berkaca-kaca. "Gue mau ke toilet bentar," ujarnya kemudian, berlalu pergi begitu saja. Tristan memandang sendu sosok gadis yang berlari kecil menjauhinya. Merasa tak enak hati dengan apa yang telah diperbuatnya. Jovanka segera menyambar tisu yang ada di samping wastafel, mengusap kedua matanya kasar. "Ada apasih dengan gue? Kenapa gue nangis, anjir!" gerutunya memarahi dirinya sendiri. Tristan kembali mengambil ponselnya dan membalas pesan dari sosok gadis yang menghubunginya tadi. Sedikit tersenyum, saat tanpa sengaja ia merayu sosok gadis di sebrang sana. Mengabaikan sosok kekasih yang sedari tadi berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. "Ehem!" dehem Jovanka, sembari mendudukkan tubuhnya di samping Tristan. Tristan kelabakan, dengan segera memasukkan ponselnya kembali. "Kamu udah selesai?" tanyanya basa-basi. "Em," sahut Jovanka, sedikit tersenyum. "Tan, kita pulang aja, yuk!" ajak Jovanka, sejujurnya ia sudah mulai merasa tak nyaman dengan acara hari ini. "Tapi makanannya belum dateng." "Gak apa-apa, bungkus aja. Gue capek," lelah gadis tersebut. Tristan mengangguk dan beralih pergi ke tempat pemesanan, sedang Jovanka memilih keluar dari tempat tersebut. Mendial salah satu deretan nomor para cowok di layar ponselnya. VERY. "Ver, jemput gue di tempat XXX." Selesai mengetik layar ponselnya, Jovanka kembali menyimpan benda kotak itu kembali ke tempatnya. Berharap sosok yang ia hubungi segera datang. Karena tempat tinggal cowok yang bernama Very itu tak jauh dari tempat Jovanka, hanya dalam hitungan menit saja, sosok itu sudah sampai. Bertepatan dengan keluarnya Tristan dari kafe tersebut. Tristan sedikit berlari, menghampiri sosok kekasih yang kini tengah bercanda dengan sosok lelaki yang entah siapa itu. "Jov, siapa dia?" tanyanya gusar. Jovanka melunturkan senyumnya, bukan takut melainkan malas. "Oh, dia Very. Temen gue, oiya ... gue balik ama Very aja, elo pulang sendiri gak apa-apa kan? Atau mungkin masih mau keluar kemana gitu. Sorry, gue ganggu acara elo!" setelah berucap, Jovanka segera menaiki jok motor Very. Tentunya Tristan tak bisa merelakan kekasihnya pergi bersama pemuda lain. "Jov! Gak bisa gitu. Kamu pacar aku, jadi kamu harus pulang sama aku juga!" tegasnya. Very hanya diam, tak ingin ikut campur dengan pasangan ini. Namun ia juga tak memungkiri jika ingin menjadi sosok pahlawan kebajikan bagi Jovanka, dan mendapatkan hati gadis tersebut. "Cuma pacar kan? Bukan emak gue. Jadi elo gak punya hak buat ngatur idup gue! Gue bebas mau pergi sama siapa aja. Gue aja gak larang elo, kenapa elo larang gue, hah?" emosi Jovanka, entah emosi karena cemburu atau emosi karena Tristan mengekangnya. Tanpa menghiraukan omelan Tristan, Jovanka langsung menyuruh Very untuk menjalankan motornya. "Argghh!!" Tristan emosi, menendang udara kosong. Masa bodoh dengan banyaknya orang berlalu lalang, menertawakan dirinya. "Apa lo liat-liat?!" bentaknya, pada sosok yang tanpa sengaja melihat ke arahnya. Terlampau marah, ia kesal. Baru pertama berkencan dengan sang kekasih, sudah hancur berantakan. Dan semua gara-gara ... Yah! Tristan baru ingat, jika permasalahan muncul bermula dari pesan chat yang ia terima. Tristan terdiam, sedikit berpikir. Mungkinkah Jovanka marah karena melihat notif pesan di ponselnya? Seutas senyum tipis tergaris di bibir pemuda tersebut. Ingin ia berteriak dan tertawa begitu kerasnya. "Lebih baik aku menemui Lia," gumamnya, bergegas pergi. Baginya ia sudah bersikap adil, membagi cinta sama rata ke seluruh jajaran para gadis gebetannya. Jovanka masih memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya, inilah yang ia benci, jika berurusan dengan ikatan pacaran. "Jov. Tadi itu pacar kamu? Sejak kapan kamu jadian sama dia?" tanya Very memecah keheningan, kini mereka sedang nongkrong di sebuah restauran. "Baru kemaren," singkat Jovanka, malas membahas topik pembicaraan. "Aku terlambat dong," kekeh Very, ada sedikit maksud terselubung dibalik ucapannya. "Terlambat? Kek masuk sekolah aja," kekeh Jovanka bercanda. "Canda kamu, ah. Padahal aku mau nembak kamu, gak taunya udah keduluan." "Mati dong gue kalau elo tembak." "Bukan tembak yang itu, Sayang," tawa Very. Jovanka memicingkan kedua matanya, kaget dengan ucapan terakhir pemuda di hadapannya. "Ngaco lo!" Very tersenyum, Jovanka selalu bisa membuatnya tersenyum. Gadis itu beda dengan gadis lain pada umumnya yang biasanya terkesan ja'im. Namun berbeda dengan Jovanka, gadis itu lebih ke apa adanya. Perbedaan itulah yang membuat gadis itu terlihat menarik di pandangan setiap lelaki. "Gue dah kenyang, pulang yuk!" Very hanya mengangguk. "Nggak mau pesan yang lain, buat makan tengah malam?" Jovanka mengetuk dagunya, pose berpikir. Mana mungkin ia menyia-nyiakan momen gratisan seperti ini. "Emangnya boleh?" tanyanya basa-basi. "Kalau gak boleh, gak mungkin aku nawarin ke kamu, Jov," Very menggelengkan kepalanya. "Ya udah, gue mau pesan ayam crispy sama makanan penutup aja," putusnya. Very segera memenuhi keinginan gadis tersebut dan kemudian mengantarkannya kembali pulang. Beberapa menit kemudian. Jovanka sampai di depan kontraknya. "Ver, makasih ya," ucapnya malu-malu. "Maksih buat apa? Udah kewajiban seorang cowok, mengantarkan ceweknya pulang dengan selamat." Modus pemuda itu. "Bisa aje lu." Jovanka tertawa kecil dan itu terlihat sangat manis. Membuat Very mati-matian menahan gemas. "Jov." "Em?" Jovanka mendongakkan wajahnya. "Deket sini dikit," pinta Very, menyuruh Jovanka mendekatkan wajahnya di samping wajah pemuda tersebut. Tanpa curiga Jovanka mendekatkan wajahnya di samping wajah Very, ia pikir pemuda itu akan membisikan sesuatu padanya. Dan ternyata!. CUPP!! Kecupan singkat melayang di pipi Jovanka. Membuatnya tersentak dan reflek memegang pipi bekas kecupan dari pemuda tersebut. Ada rasa aneh yang terasa bergelanyar di dalam hatinya. Bukan rasa tertarik atau semacamnya. Lebih rasa tak nyaman, saat bekas rasa bibir kenyal itu menyentuh pipinya. "Gue masuk dulu!" ucap Jovanka canggung, dan langsung melesat masuk ke dalam kontraknya. Sedang Very sudah ber-oh-ria di luar sana. Menang banyak hari ini, ia berhasil mencuri kecupan di pipi sang gadis pujaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN