MDU 01

1720 Kata
Nama gue Jovanka Lovata, umur-20 tahun. Biasa para sahabat gue memanggil gue dengan sebutan Jovanka. Asal kalian tau gue tuh, merupakan sosok gadis yang bisa gue bilang sendiri sangatlah manis, cantik tidak terlalu. Hanya saja kemanisan yang gue miliki menjadi titik pesona tersendiri untuk para cowok yang memandang kemolekan gue. Ah, percaya diri sekali, gue. Tapi tak apa, selagi percaya diri itu gratis alias free. Iya gag sih, cuy?. Kalian tau, gue tuh, bisa mendapatkan siapapun cowok yang gue inginkan. Pantang menyerah bagi gue, sebelum mendapatkan apa yang gue inginkan dalam hidup gue tercapai. Sekalipun itu seorang cowok yang awalnya tak melirik gue sedikitpun, gue bisa dengan mudah menarik perhatiannya. Kalian tidak percaya? Ini cerita hidup gue ... *** Berawal saat itu gue lulus dari bangku sekolah. Kalian harus tau, gue bukanlah gadis dari kalangan keluarga yang berada. Gue hanya bisa bersekolah hingga tingkat SMK, itupun berkat bantuan sekolah. Setelahnya, gue memutuskan untuk mencari pekerjaan, setidaknya bisa menambah pemasukan untuk biaya sekolah adik gue entar. Satu tahun gue bekerja di sebuah rumah makan. Hah! Sebenarnya gue tuh, tipe gadis yang mudah bosan. Jadi, gue memutuskan untuk pindah kerja, berkat rekomendasi dari sahabat gue yang bernama Bela, akhirnya gue dan tuh sohib gue bekerja di sebuah pabrik industri makanan ringan. Gajinya memang tak seberapa, tapi lumayan untuk biaya kehidupan gue sehari-hari. Dan sedikit menyisihkan untuk keluarga gue yang ada di desa. Awalnya semua berjalan lancar, namun kalian tau sendiri. Bagaimana jika bekerja dengan banyak orang. Pastinya ada yang suka dan ada juga yang benci. Sebel bangat gue tuh kalau si hadapin masalah ginian, serius. Banyak sekali para gadis seumuran gue bekerja di pabrik tersebut. Gara-gara semua cowok yang kerja di sana memperhatikan gue, karena kecantikan gue mungkin. Ups! Hingga membuat para tuh cabe-cabean disana menjadi iri terhadap diri gue. Mereka berusaha menjatuhkan gue, tapi gue tetap bersikap santai. Selagi mereka tak berulah, gue masih bisa diam. Biarlah mereka mencibir gue sesuka hati mereka, gue hanya menganggap itu sebuah suara gonggongan anjing. Menghadapi para manusia toxic seperti mereka, cukup dengan berdiam. Terkadang berpura-pura bodoh itu lebih baik. Iya gag?. Satu bulan berlalu, para gadis yang awalnya membenci gue, berlahan mulai bisa menerima keberadaan gue, karena apa? Karena gue tak merespon para cowok di sana. Mengapa? Karena gue tidak suka mencari kekasih yang setara dengan diri gue. Gue harus mencari kekasih yang punya uang banyak dan bisa menuruti semua keinginan gue. Biarlah semua orang mengatakan jika gue cewek matre. Bodoh amat, nyatanya skincare harganya mahal say! Keluar kencan, dandan cantik, perlu modal nggak gratis. Jadi punya cowok harus tajir, yang bisa beliin skincare setiap bulan. Tapi ada seseorang yang begitu menyebalkan di dalam hidup gue. Seorang cowok yang bekerja di perusahaan onderdil mobil, tepat di sebrang tempat gue bekerja. Cowok itu bernama Tristan Ivander. Cowok yang selalu menggoda gue dengan tak tahu malu, saat gue berangkat dan pulang kerja. Gue pulang jalan kaki menuju ke kontrakan, karena memang jarak antar kontrakan gue ke tempat kerja tidaklah jauh. Dan lagi-lagi tuh cowok selalu menunggu gue di depan pintu tempat kerjanya, gue tuh kadang heran ama tuh orang. Apa dia tidak ada kerjaan. Nyuci mobil kek, apa gitu. Asal jangan ngegoda gue, rasanya hilang sudah cuaca cerah gue saat bertemu dengan tuh cowok. Seperti pagi ini! Gue sedang berjalan santai, sengaja berangkat pagi agar tak bertemu elien itu lagi, alias Tristan. "Hai ... cantik," Astaga! Sudah berapa kali gue dengar kata-kata laknat itu. Telinga gue rasanya ingin mendadak tuli. "Berisik!" Gue tetap melanjutkan jalan gue, sial! Kenapa kaki gue mendadak terasa berat sekali untuk melangkah. Sepertinya langkah kaki gue udah gue percepat, tapi kenapa tetap terasa jalan di tempat. "Hei, Beb ... awas ada orang gila di sebelahmu!!" teriak Tristan, saat gue sedikit menjauh dari tuh cowok, namun gue tetep tak menggubris. Pasti tuh elien hanya ingin gue menengok ke arahnya. Gumam gue percaya diri. Dan benar saja, ada orang aneh yang tiba-tiba menghadang jalan gue, anjir. Dengan berbicara entah dia pakai bahasa planet mana. Terpaksa gue memutar arah, dan kembali mendekati Tristan. Doble apes, gue tidak ingin bertemu dengan manusia ini. Tapi mau bagaimana lagi, dari pada harus di peluk orang gila sungguhan. Ih, enggak banget. "Tolongin gue ... " Pinta gue, sedikit gengsi. "Minta tolong yang manis Beb ...," goda cowok itu. Gue hanya merolling bola mata gue males, gue bener-bener muak kawan. "Tolongin gue, nggag?!" gue menatap nyalang ke arah cowok di depa gue. "Iya, iya Beb, galak amat. Makin cinta loh aku nya," Uh, ingin rasanya gue geplak kepala nih bocah, makek ujung tungkai sepatu wedges yang gue pakek. Tristan mengusir orang gila itu, dan Jovanka melanjutkan perjalanannya. Tanpa berucap sepatah kata pun. "Beb, tidak ada ucapan untuk mas ganteng ini?!!" teriak Tristan, astaga kenapa cowok itu percaya diri sekali. Meski dia memang ganteng sih, ups!! Keceplosan gue. Sesampainya di tempat kerja. Ini bulan kedua gue bekerja, masih terhitung satu bulan utuh gue bekerja di tempat itu. Gue masih berusaha menyesuaikan diri, karena sejujurnya gue tuh, tipe gadis yang susah bersosialisasi. Ini cerita awal gue masuk kerja. Baru gue datang sudah di sambut oleh nyinyiran dua biang lampir. Yang biasa di panggil Indah dan Dinda. Mereka duo nyinyir yang sudah terkenal di tempat kerja gue itu. "Ck, anak baru! Memuakan," decihnya. Gue hanya menghedikan bahu gue acuh. Berjalan santai bersama sahabat gue, Bela. Ngomong-ngomong gue kesini berkat kakak dari Bela, yang biasa di panggil Usy. Gue sudah menganggap gadis itu sebagai kakak gue sendiri. Dia sangat baik Ama gue, seperti sosok kakak yang selalu melindungi adik-adik nya. Ini penilaian gue untuk saat ini, gue juga tidak tau untuk besok. Karena gue baru mengenal dirinya, maaf sebelumnya. Gue memang bukan tipe gadis yang mudah mempercayai orang lain. Gue datang ke ruang pribadi atasan gue pada saat itu, sekedar memperkenalkan diri dan mencatat nama gue, bahwa gue mulai mengikuti kerja hari ini. "Siapa namamu?" Tanya seorang wanita paruh baya itu. "Jovanka," jawabku singkat. Wanita itu mengangguk. "Aku Honglan, panggil saja sama seperti yang lain, Mama." Pintanya. Gue hanya mengangguk paham. "Iya Ma," dan kemudian gue langsung menuju ke tempat kerja yang menurut gue sangat asing. Ku langkahkan kakiku masuk kedalam, bangunan yang penuh dengan bau rempah-rempah khas bumbu untuk makanan ringan. Ternyata pabrik ini masih terbilang sangat manual. Gue pikir semua sudah canggih menggunakan mesin. Ternyata jauh dari ekspektasi gue. Weh.... nyatanya semua masih murni menggunakan tangan. Dari mencampur bumbu, menggoreng, mengemas yang terlihat masih menggunakan alat yang di sebut soldier. Dan juga pengepackkan yang juga sedikit butuh keahlian skill kecepatan. Gue berlahan mendudukkan b****g semok gue di samping Bela, dia sudah terlihat akrab terlebih dahulu dengan yang lainnya. Atau karena memang dia di dampingi kakaknya. Gue juga tidak tau. Baiklah, lagi-lagi gue merasa kesepian. Tiada yang mengajari gue mengawali pekerjaan. Hah! Gue merasa bagai orang hilang di sini. Hingga tiba-tiba terdengar riuh suara para pemuda yang memasuki tempat tersebut. Mungkin mereka pegawai disini, dan benar saja. "Hai ... ada pegawai baru, bening lagi," serunya salah satu pemuda berkulit putih yang entah siapa namanya. Dia mendekatiku. "Siapa namamu, hm?" Tanyanya genit. "Jovanka," sahutku biasa saja. "Waow, cantik seperti orangnya. Kenalkan, aku Yoshi," "Em," gue hanya tersenyum. Dapat gue lihat dua gadis di sana yang saling berbisik menyindir gue mungkin. "Kenalin aku Mico," salah satu dari pemuda itu mengenalkan dirinya. "Dan aku Dino," seru salah satu nya lagi, gue sedikit merasa risih pada pemuda yang satu ini. Pasalnya dia selalu tersenyum aneh padaku. Semakin hari gue semakin di acuhkan. Tak ada yang mau berteman dengan gue, mereka bilang selalu selalu mencari muka di hadapan para lelaki. Padahal para lelaki itu sendiri yang selalu mendekatiku. Bahkan gue tuh, juga tak pernah meresponnya. Hah, gue mulai bosan. Gue semakin merasa tidak nyaman. Setiap hari mereka berdebat, antara para pemuda itu yang selalu saja membela gue dan para pekerja gadis yang selalu mencibir gue secara terang-terangan. Seperti saat ini, sungguh rasanya gue tuh ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Ingin pulang, tapi malu. Tak pulang gue tersiksa, ingin pulang rasanya malu. Gue selalu menghubungi nyokap dan bokap gue yang ada di kampung. d**a gue terasa sesak, setiap mendengar suara mereka. Gue terpaksa selalu berbohong pada mereka berdua. "Bagaimana dengan pekerjaan mu, Nak? Apa kau betah di sana? Apa kau baik-baik saja?" "Iya, Yah, Bu, aku baik-baik saja. Aku krasan bekerja disini. Temanku semuanya baik," bohongku, jujur gue ingin menjerit. Jika saja gue tak ingat, jika gue ingin merubah nasip. Menjadi yang lebih baik. Gue cuma tidak ingin merepotkan kedua orang tua gue. Hari berganti hari, gue semakin terbiasa dengan cacian mereka semua. Gue terbiasa menulikan pendengaran gue. Masa bodoh, yang penting mereka tidak menyentuhku, udah gitu aja. Hingga suatu hari, gadis yang bernama Indah itu sedang mengalami demam tinggi. Tidak ada yang perduli padanya, gue sedikit merasa iba. Setidaknya gue masih punya perasaan, untuk peduli sesama makhluk Tuhan. "Kakak sudah minum obat?" Tanya gue, berusaha sesopan mungkin. Gadis itu hanya memandang sayu ke arah gue. Dan kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Aku masih punya obat, apa Kakak mau?" Tanya gue lagi, menawarkan. Jika saja dia mau, jika tidak ya, sudahlah. Gadis itu mengangguk, gue pun memberikan obat itu padanya. Dan dari situlah gue mulai dekat dengan gadis itu. Gadis yang awalnya, membenci diriku kini beralih berbaik hati padaku. Apakah kalian pernah mendengar istilah, jika musuh bisa berubah menjadi sahabat?. *** Jam kerja pun sudah usai. Gue kembali pulang ke kontrakan kecil gue. "Hah, lelahnya ... gini amat yak, nih nasip," aku berjalan malas, menyusuri pinggiran jalan raya nan begitu ramai, tapi berbeda dengan hatiku yang terasa sepi. Hingga sosok pemuda menyebalkan itu muncul lagi di hadapanku. "Baru pulang, Neng?" Tanyanya. "Enggak, baru dugem, Mas," cercaku malas. "Nanti keluar ya, jalan-jalan bentar aja, entar aku traktir deh," tawar pemuda yang tak lain adalah Tristan itu. Aku berpikir sejenak, menimang-nimang ajakan pemuda itu. Em, boleh juga. Kapan lagi bisa makan gratis, siapa tau nanti dapat bonus baju cantik. "Boleh, tapi ada syaratnya," ucapku, ah dasar, udah di traktir ngasih syarat lagi. "Em, apa syarat nya? Asal jangan minta di buatkan seribu candi, semalam jadi aja." Sergahnya. "Ya, enggak lah, loe pikir gue Roro Jonggrang apa?!" Ketusku. "Iya, kecantikanmu melebihi nya malah," gombalnya. "Ck, gue tunggu jam 7, telat satu detik batal," acuhku dan segera pergi meninggalkan pemuda menyebalkan tersebut. Tristan tersenyum dari kejauhan. Memandang kepergianku. "Aku tidak akan telat, Sayang. Bahkan aku akan datang sebelum waktu yang kamu tentukan," gumam Tristan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN