MDU 22

1996 Kata
Semenjak terakhir kali Tristan menghubungi Jovanka. Sampai hari ini tak ada lagi kabar dari pemuda itu. Jovanka pun juga enggan untuk menghubunginya, ia takut jatuh terlalu dalam ke dalam zona cinta Tristan. Cukup sudah selama ini ia berjuang, tak ingin lagi mengemis cinta pada pemuda yang sudah menjadi milik orang lain. Jovanka memutuskan berhenti bekerja. Terlalu banyak kenangan kelam di tempatnya bekerja saat ini. Ia hanya ingin ketenangan dalam jiwanya. Jauh dari segala beban asmara. Bahkan ia juga berencana buat menjadi TKW saja ke luar negeri. "Bel, elo nggak pengen kerja ke luar negeri?" tanyanya pada sang sahabat, yang sudah menemani dirinya hingga saat ini. "Pengen juga sih ... tapi gimana dengan pacar gue?" "Nyari lagi aja, cowok banyak." "Anjir lo! Gue nggak blangsakan kek elo!" Jovanka terkekeh ia hanya ingin bercanda, siapa tahu Bela mau menemani dirinya yang berniat kerja ke luar negeri begitu. Jika tidak ada teman, Jovanka akan tetap berjuang sendirian. Hanya tinggal meminta ijin pada sang ibu. "Gue pulang dulu ye! Jaga diri Lo baik-baik!" pesan Jovanka, melambaikan tangan kanannya, untuk pertemuan terakhirnya. Mungkin selepas ini tak akan lagi bisa berjumpa. Tristan tak diduga ternyata sehabis mengalami insiden kecelakaan kecil. Hingga membuatnya harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa hari. Hal itu yang membuat dirinya tak bisa menghubungi Jovanka. Namun bersyukur karena keadaannya sekarang sudah mulai membaik. Beberapa hari yang lalu saat ia tengah mandi, tanpa di duga tiba-tiba saja kaca tempat air buat mengguyur kloset pecah. Beruntung hanya mengenai tangannya saja. Meski begitu ia juga mengalami luka yang cukup parah. Harus menerima beberapa jahitan di sana sini. Alhasil ia tak bisa memegang apapun. Kini keadaan tangan Tristan mulai membaik, berkat dirawat seorang gadis yang kemungkinan teman kerjanya. Dan juga gadis yang selama ini pernah dekat dengannya. "Gimana keadaan kamu?" tanya gadis itu, dengan senyuman manisnya. Seraya mengupas buah apel. "Baik, bisa ambilin ponsel gue?" "Tangan kamu masih sakit, jangan pegang benda berat dulu." ujar gadis itu. Namun Tristan seakan abai, gadis itu tak ingin membantu. Ia pun mengambilnya sendiri. Ada hal penting yang harus ia pastikan saat ini. Tristan berhasil mengambil ponselnya. Memeriksa ruang chat yang tertera ribuan chat dari berbagai nomor sahabat beserta para cewek terdekatnya. Namun bukan mereka yang ia harapkan. Tapi, nama satu gadis yang beberapa hari yang lalu menghubungi dirinya, Jovanka. Heh ... kenapa gadis itu tak menghubungi Tristan?. Hampir satu Minggu setelah hubungan telpon terakhirnya. Biasanya meski Tristan tak menghubunginya, Jovanka selalu mengirimkan pesan singkat. Tapi ini ... tak ada pesan sama sekali. Yang mana membuat Tristan begitu khawatir. Ia memutuskan untuk menghubungi sosok gadis tersebut. Setelah beberapa menit sambungan telponnya terhubung dengan nomor ponsel gadis tersebut. Namun tak kunjung gadis itu angkat. Tristan tak menyerah, justru hal itu semakin membuatnya penasaran.  Apa mungkin Jovanka sakit? Gumamnya. Ia mencoba mendial nomor Jovanka lagi, untuk kesekian kalinya. Dan berhasil, namun bukan Jovanka yang mengangkat panggilan telphonenya. Melainkan seorang wanita paruh baya yang kemungkinan ibu dari gadis tersebut. "Assalamualaikum ... Ibu." sapa Tristan, itung-itung cari perhatian sama calon ibu mertua. Eh, tapi sekarang yang terpenting bukan itu. Melainkan keberadaan Jovanka. Wanita itu tersenyum, melihat layar phonesel yang menampakkan wajah seorang pemuda. Pemuda yang selama ini ia dambakan untuk menjadi imam bagi putrinya. "Walaikumsalam ... Nak. Gimana kabarnya?" "Baik Buk, Alhamdulillah ..." "Syukurlah, kamu pasti nyariin Jovanka." tebak sang ibu. "Iya Buk, kemana ya, Buk. Jovanka udah nggak lagi kerja emang?" Sang ibu melunturkan senyumnya, menggeleng kecil sebagai jawaban. "Sudah satu Minggu ini Jovanka berhenti bekerja." lemahnya. Tristan menautkan kedua alisnya. Dalam satu Minggu ini dia melewatkan semua kejadian yang menimpa Jovanka. "Lalu sekarang dia ada di mana Buk?" Sang ibu mulai berkaca-kaca, tak sanggup bercerita rasanya. "Memangnya dia tidak pernah bercerita sama kamu, Nak Tristan?" tanyanya balik. "Tidak Buk." Sang ibu tersenyum getir. "Mungkin karena kalian tidak saling berhubungan lagi. Jadi Jovanka lebih menutup diri dari Nak Tristan." Sungguh, Tristan sangat malu dibuatnya. Tak disangka ternyata Jovanka menceritakan perkara hubungannya dengan sang ibu. Tristan tersenyum kecut. "Tapi kita masih berhubungan baik kok, Buk." imbuhnya. Sang ibu mengangguk paham. "Selamat ya, Nak. Dengar-dengar kata Jovanka, Nak Tristan akan segera menikah." Terasa dongkol rasa sesak yang menggumpal di dalam d**a wanita itu. Gara-gara masalah ia inilah yang membuat putrinya nekat pergi. Ingin rasanya memaki pemuda itu, namun ia tak sanggup. Tristan membolakan kedua bola matanya, apa Jovanka juga menceritakan hal itu?. "Ah, Ibuk. Saya belum mau nikah." kekehnya tak enak hati. Sang ibu hanya tersenyum, walau sejujurnya dalam hati berteriak. Gara-gara pemuda ini ia akan kehilangan putrinya dalam waktu yang lama. "Buk, di mana Jovanka?" ingatnya lagi. "Dia sedang belajar sekarang, makanya ponselnya Ibuk yang pegang." "Belajar di mana? Dan belajar apa? Apa Jovanka melanjutkan kuliah?" Sang ibu menggeleng, tanda jika jawaban pemuda itu tidak ada yang benar. "Lalu belajar apa, Buk?" Tristan semakin dilanda gelisah. "Jovanka belajar di LPK." "LPK? Apa Jovanka mau ke luar negeri, Buk?!" syok pemuda tersebut. "Iya, dia memutuskan buat kerja ke Jepang. Ibuk nggak bisa cegah dia. Sudah berbagi cara Ibuk lakuin buat cegah Jovanka. Tapi anak itu tak ingin mendengarkan ucapan Ibuk. Dia bilang hidupnya sudah tersiksa, Ibuk sama sekali tak mengerti apa yang sedang melanda Jovanka. Semenjak pulang dari tempatnya terakhir bekerja, tubuhnya terlihat kurus. Mungkin dia tidak makan dengan baik." isak sang ibu. Tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada putrinya. Tristan melemas, ia tak menyangka jika Jovanka bakal bener-bener pergi ninggalin dia. Kenapa Jovanka bisa lakuin hal sebesar itu? Kenapa juga dia nggak kasih tau dirinya? Apa karena Tristan tak pernah memiliki komitmen. Dan lebih memilih Lea dibandingkan dengan Jovanka. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Tristan harus menemui Jovanka dan mencegah kepergian gadis tersebut. Apapun caranya, Tristan tak ingin kehilangan Jovanka. Bersyukur Tristan menghubungi ibu Jovanka, jika tidak, ia tak tau apa yang akan terjadi. Satu bulan telah berlalu. Selama itu pula Jovanka berada di LPK, mengadu kecerdasan demi bisa berangkat mengadu nasib ke luar negeri. Selama satu Minggu ia sengaja hanya meminjam ponsel temannya, untuk menghubungi sang ibu. Selebihnya, tak ingin berhubungan dengan siapapun. Gadis itu termenung berdiri di pinggir jendela. Sembari memeluk buku bertuliskan bahasa Jepang. Ia tersenyum, karena sebentar lagi udah nggak bakal ada di negara ini lagi. Ia akan meninggalkan segala kenangan bersama semua orang. Memulai hidup baru, hah! Jovanka sudah tidak sabar menanti hal itu. Dengan semangat ia kembali belajar supaya cepat menguasai bahasa dan lolos ujian. Apa Jovanka tak lagi memikirkan Tristan? Justru karena alasan pemuda itulah yang mampu menarik Jovanka untuk pergi jauh, dia tak ingin mengingat pemuda itu lagi. Dia sudah menyerah, lelah dengan tingkahnya yang seakan tak punya malu. Kini Jovanka sudah dewasa, tak mau lagi bermain dengan cinta. Ia butuh menemukan jati dirinya sendiri. Mungkin ini yang dulu Tristan rasakan, hingga membuat pemuda itu memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Kini Jovanka yang akan mencoba melakukan hal itu. Niatnya sekarang hanya untuk membahagiakan orang tuanya. Tak lagi ingin membuang masa muda nya dengan hal-hal tak penting. Berbeda dengan Jovanka yang memutuskan untuk menyerah, justru kini giliran Tristan yang kalang kabut. Pemuda itu harus memutuskan sesuatu yang besar dalam kehidupannya. Agar tak menyesal di kemudian hari. "Gue harus pilih antara Lea atau Jovanka. Ya, Tuhan!!!" Tristan meraup wajahnya kasar. Kedua iris coklatnya menajam, baiklah dia akan menghubungi Lea dan memutuskan mengakhiri hubungannya. Hati kecilnya berkata jika ia harus memilih cinta sejatinya, dan ia sadar jika cinta sejati yang ada dalam hatinya jatuh pada Jovanka. Persetan, masa bodoh, jika nanti keluarga Lea marah-marah kepadanya. Ia tak ingin memutuskan pilihan yang salah. Jangan sampai suatu hari nanti ia menikah dan kemudian terbayang wajah Jovanka setiap waktu. Tristan menemui kakaknya, bermaksud untuk meminta bantuan. "Bang!" panggilnya. Dino menoleh heran, tak biasanya bocah tengil itu menemui dirinya. Pasti ada hal penting yang akan dia katakan. "Ada apa lagi?" "Gue pen pulang Bang!" Sang kakak merasa tak percaya, kenapa bisa mendadak seperti ini? Apa yang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan mulai berputar di dalam otak Dino. "Jangan bercanda Tan. Bos bisa marah nanti, lagipula kontrak elo masih jauh banget." "Gue nggak peduli Bang. Yang gue inginkan hanya pulang, gue lebih baik kehilangan pekerjaan dibandingkan harus kehilangan cinta sejati gue." "Elo pulang gegara cinta? Jangan bilang kalau elo pulang karena alasan mau nikah sama Lea. Gue nggak setuju." Tolak sang kakak. "Bukan Bang, tapi karena Jovanka." Dino terkesiap, ada apa dengan Jovanka,?. "Kenapa dengan Jovanka? Apa dia sakit?" Reflek Dino memperlihatkan raut kekhawatiran, mengguncang kedua bahu sang adik. Tristan semakin meyakinkan keputusannya saat melihat sang kakak yang terlihat begitu peduli pada Jovanka. Lengah sedikit, maka Jovanka akan jatuh kedalam pelukan cowok lain. Enggak, ini nggak boleh dibiarin. "Enggak Bang, Jovanka mau pergi ke luar negeri. Gue harus cegah dia," Jujur pemuda tersebut. Dino seakan mati rasa, kenapa Jovanka harus pergi?. "Baik, gue bakal ijin sama bos. Tapi elo harus janji sama gue. Bawa Jovanka kembali. Jangan sampai elo lepasin dia pergi. Jika elo gagal, gue yang bakal maju dapetin Jovanka." Tristan tersenyum, dan mengangguk. "Gua janji bakal bawa dia kembali Bang. Karena gue nggak bakal lepasin dia, gue nggak bakal kasih cinta gue ke elo Bang!" ucapnya lantang. Dino tersenyum dan menepuk pundak sang adik. "Gue bangga karena elo udah bisa berpikir dewasa. Udah bukan bocah labil lagi." Tristan mengangguk. "Gue pengen pulang secepatnya Bang. Gue udah nggak punya banyak waktu lagi." Dino mengerti dengan apa yang dirasakan adiknya. Karena dia juga memiliki perasaan yang sama dengan gadis yang kini diperjuangkan sang adik. Biarlah ia yang mengalah. Sakit karena tak dapat memiliki sudah biasa dalam percintaan. Beberapa Minggu telah berlalu. Tristan akhirnya kembali ke tanah airnya. Demi apa? Demi satu alasan yang membuatnya pergi dan satu alasan yang membuat dirinya kembali. Yah! Jovanka, gadis yang mampu menarik ulur hati Tristan. Sesampainya di bandara. Tristan hanya memaketkan barang-barangnya pulang. Namun tidak dengan dirinya. Ia memilih langsung pergi menemui cinta sejatinya. Beberapa jam telah berlalu, akhirnya Tristan sampai di tempat sang gadis berada. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya sang penjaga di lapak itu. "Saya mau menemui Jovanka," ucapnya. "Baik, akan saya sampaikan. Kebetulan hari ini jadwal belajar Jovanka juga sudah selesai." Tristan mengangguk, ia gelisah. Sesekali melihat pintu masuk wanita tadi. Berharap jika Jovanka akan keluar dari sana. Tak berapa lama, cinta lama yang sudah lama pergi kini bertemu di depan mata. Tanpa penghalang, tanpa jarak virtual. Kedua netra mereka bersatu, mengarungi ketidak percayaan diri masing-masing. Masih bagaikan mimpi. Bagaimana dan mengapa mereka kembali bertemu di sini?. "Tristan?" bibir Jovanka bergetar, kedua kakinya mendadak lemas. Ia tak sanggup rasanya, kenapa Tristan harus datang di saat dirinya akan menyerah? Kenapa takdir begitu lihai memainkan hatinya. Tristan segera berlari dan memeluk tubuh bergetar sang gadis. "Jov, maafin gue." sesalnya, memeluk erat tubuh sang gadis dengan eratnya. Jovanka sudah menangis sejadinya. "Kenapa elo datang? Di saat gue udah netapin hati gue buat ninggalin perasaan gue ke elo." "Karena gue nggak bakal ijinin elo pergi dari hidup gue Jov." "Gue tersiksa Tan. Gue lelah." "Jika elo udah lelah, berhentilah. Karena kalau elo tetep paksain lari, yang ada elo akan semakin sakit." "Mau elo apa Tan? Jangan buat gue tersiksa." "Gue mau kita balikan, kita nikah, gue nggak bakal ijinin elo pergi." Jovanka sudah berkaca-kaca, ia semakin mengeratkan pelukannya. Ternyata benar, apa kata orang. Di saat dirimu sudah merasa lelah dengan beban hidupmu, di situ Tuhan akan memberikan jawaban dari segala masalahmu. "Elo serius? Nggak lagi bercanda, kan?" "Kapan gue pernah bercanda, hm?" "Gue cinta sama elo Tan." "Gue juga," Tristan melepaskan pelukannya. Menatap tubuh pucat Jovanka dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kenapa elo kurus banget Jov? Apa elo nggak makan dengan teratur?" "Di sini nggak mudah Tan. Masalah makan nggak terlalu penting, gue makan ala kadarnya. Sehari dua kali, itupun kalau gue masih kebagian. Di sini banyak saingan. Nggak jauh beda ama di kerjaan." keluhnya. Tristan meraup wajahnya kasar, tak menyangka jika gadis yang terlihat bar-bar itu ternyata tengah melawan kesengsaraan separah ini. "Kenapa elo tetap bertahan Jov? Elo harusnya pulang dan nggak usah berjuang." "Elo nggak ngerti apa yang gue rasain Tan." Tristan terbawa emosi, dengan segera ia kembali memeluk tubuh sang gadis. "Sekali lagi maafin gue. Gara-gara gue, elo jadi begini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN