"Tristan?!" beo Jovanka tak percaya. Bagaimana bisa pemuda ini sudah ada di rumahnya? Perasaan ia tak pernah memberi alamat pada pemuda ini? Gumam Jovanka, bingung.
"Elo tau alamat rumah gue?" tanya Jovanka lagi, dengan raut cengonya. Sudah jelas pemuda itu ada di rumahnya. Tanpa dijelaskan pun sudah pasti pemuda ini tau alamat rumahnya.
"Jov. Tanya yang lebih sulit deh! Pertanyaan kamu mudah banget buat aku jawab. Alamat rumah kamu di planet lain pun akan aku temuin, jangankan cuma satu kecamatan."
Jovanka meneguk ludahnya, ia mencoba menetralkan ekspresinya dalam mode cuek.
"Ngapain elo ke sini?!" ketusnya.
"Jov. Udah aku bilangin kan. Tanya yang lebih sulit lagi. Aku ke sini ya jelas-jelas nyariin kamu lah. Masa iya aku nyariin ibuk kamu."
"Tan. Nggak usah basa-basi deh. Langsung aja! Elo mau ngomong apa?!" jengah Jovanka.
"Mau minta maaf sama kamu, sekalian mau ngajak balikan kalau mau."
Jovanka sedikit membuka mulutnya hingga membentuk huruf O.
"Enggak! Gue enggak mau balikan sama elo."
"Ya udah kalau nggak mau. Aku boleh ketemu sama ibuk-bapak kamu nggak?"
"Buat apa???"
"Udah pokoknya aku mau ketemu. Sekalian minta ijin."
Jovanka semakin tak mengerti dengan apa yang pemuda itu ucapkan.
"Ijin apaan?"
"Urusan antara aku sama kedua orang tua kamu. Kamu nggak perlu tau, masih kecil."
"Anjir lo! Pergi pulang sono! Buang-buang waktu gue aja!" usirnya.
Namun tiba-tiba sosok wanita paruh baya keluar dari dalam kediamannya. Sosok wanita yang tak lain dan tak bukan adalah ibu dari Jovanka.
"Loh, ada temannya kok nggak disuruh masuk?" tanyanya ramah.
"Bukan temen kok Buk. Cuma orang nyari sumbangan doang!" ketusnya.
Ibu gadis itu mendekatkan dirinya kearah pemuda tersebut.
"Bener Nak? Kamu nggak kenal sama Jovanka?" tanyanya lagi.
Tristan tersenyum tipis dan meraih telapak tangan wanita tersebut. Mencium punggung telapak tangannya. Dan berkata.
"Saya mantan pacar Jovanka dan calon suaminya kelak."
Jovanka memelototkan kedua bola matanya. Sialan nih orang. Batinnya.
"Bukan Buk! Jangan percaya sama dia!" elak Jovanka.
Tristan tersenyum ramah ke arah sang ibu. Tanpa menghiraukan ucapan gadis di sampingnya.
Ibu Jovanka hanya tersenyum dan meminta Tristan untuk masuk ke dalam rumahnya. Sedang Jovanka memilih berdiam diri di luar rumah.
Hampir tiga puluh menit lamanya, Tristan berbincang dengan ayah dan ibu Jovanka. Entah apa yang mereka bicarakan, Jovanka tak mau tau.
Tak berapa lama Tristan keluar dari kediaman Jovanka. Dan menghampiri gadis itu.
"Jov. Aku pulang ya ...," pamitnya.
"Ya udah. Dari tadi kek!" sinisnya, mengibaskan tangannya, pose mengusir.
Tristan mengangguk tanpa berucap sepatah katapun. Membuat Jovanka mengernyitkan keningnya. Sebenarnya ada apa dengan Tristan? Kenapa dia terlihat sangat sedih? Gumamnya.
Jovanka menatap kepergian Tristan. Kenapa ia merasa kesepian? Ia benci jika pemuda itu ada di dekatnya. Tapi ia juga tak ingin pemuda itu menjauhi dirinya. Sungguh sulit pemikiran Jovanka untuk ditebak.
Ibu Jovanka menghampiri putrinya.
"Tadi Ibuk ngomongin apa sama tuh anak?" tanyanya penasaran.
"Nggak ada, Nak Tristan cuma mau pamitan." sahut sang ibu.
Jovanka menolehkan kepalanya cepat.
"Pamitan? Kek mau mati aja."
"Nggak boleh gitu ih. Dia baik loh, kamu nya aja yang nggak bisa nilai."
"Apaan sih Ibuk? Kenapa jadi belain Tristan?"
"Kasian dia, gara-gara kamu putusin jadi milih pergi merantau."
"Apa Ibuk bilang? Merantau? Ibuk nggak usah becanda deh!" tak percaya Jovanka.
"Buat apa Ibuk bohong? Nak Tristan tadi yang pamit sama Ibuk."
Jovanka terdiam beribu bahasa. Ia masih belum bisa mengerti dengan apa yang diucapkan sang ibu. Kenapa begitu mendadak? Kenapa Tristan tidak mengabari dirinya? Sebenarnya apa maksud pemuda itu pergi dari negara ini? Masa hanya karena dirinya, Tristan pergi? Begitu bencikah pemuda itu padanya? Hingga memilih pergi menjauh sejauh-jauhnya?.
"Kenapa Ibu tidak memberitahuku?"
Sang ibu hanya bingung, memandang heran ke arah sang putri.
"Memangnya Nak Tristan tidak bilang jika mau pergi?" tanyanya.
Jovanka hanya menggeleng pelan. Kenapa ia merasa gelisah? Seakan telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Tapi Jovanka kembali berpikir, lagipula dia juga tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Tristan. Jadi, ya sudahlah ... biarkan dia pergi. Bukankah sebuah keuntungan besar untuk Jovanka, jika lelaki itu menghilang dari pandangannya? Tak ada lagi yang mengganggu kehidupannya.
***
Hari semakin hari silih berganti. Tak terasa sudah beberapa bulan ini Jovanka tak lagi berhubungan dengan Tristan. Entah mengapa Jovanka tiba-tiba ingin mengetahui kabar pemuda yang sudah berstatus sebagai mantannya itu.
Gadis itu berinisiatif ingin mengintip beranda f*******: pemuda tersebut, ingin mengetahui apa saja yang dilakukannya di luar negri. Apakah dia sudah punya pacar? Ah, pemikiran aneh itu terngiang di dalam benak gadis tersebut. Rasanya ia tak rela, jika ada gadis lain yang menggantikan posisinya.
Namun sayang, Jovanka tidak mengetahui nama akun Tristan. Hah! Andai saja ia seorang hacker handal. Tidak akan sulit pasti, hanya sekedar mencari akun seseorang.
Jovanka menggeletakkan ponselnya lagi. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Akhir-akhir ini ia sering memimpikan Tristan.
Hingga getaran ponsel mengalihkan lamunan gadis tersebut.
DRTTT ... DRETTT ...
Dengan malas Jovanka mengambil kembali ponselnya. Melihat siapa yang baru saja menghubunginya. Ada nomor baru yang mengirim pesan chat padanya.
+XXXXX ....
"Jovanka."
Anda
"Siapa?"
+XXXXX ....
"Gue Rofiq."
Anda
"Oh, elo. Ada apa?"
+XXXXX ....
"Cuma pen tau kabar elo."
Jovanka mematikan layar ponselnya. Malas meladeni perbincangan chat itu.
Pikiran otaknya melambung tinggi, membayangkan bagaimana keadaan Tristan sekarang.
Hari-hari yang Jovanka jalani hanyalah ada kata kesepian. Ia ingin mencari pengganti sang mantan. Namun hatinya seolah menolak.
Jovanka melangkahkan kakinya, menyusuri jalan, menuju ke tempat kerjanya. Hingga tanpa sengaja ia menabrak seseorang di hadapannya.
BRUGG!!
Tubuh Jovanka terhuyung ke belakang. Seketika ia menegakkan kepalanya, menatap siapa sosok yang baru saja ia tabrak.
"Rofiq?"
Sosok yang bernama Rofiq itu tersenyum simpul ke arahnya.
"Ngelamun aja. Mikirin apa sih?" tanyanya, seraya mengusak pucuk poni gadis di hadapannya.
Jovanka memundurkan kepalanya, ia sedikit risih dengan sentuhan pemuda itu. Tidak biasanya Rofiq bersikap berlebihan terhadapnya. Semenjak Tristan tidak ada, dia semakin berani mendekati dirinya.
"Nggak kok. Gue nggak mikirin apa-apa." sahut Jovanka, sedikit mengambil jarak.
"Mau berangkat kerja?" tanya pemuda itu, sejak Tristan tidak bekerja di pabrik makanan itu, Rofiq memutuskan untuk ikut keluar.
"Em," gumam Jovanka sebagai jawaban.
"Gue anterin ya!" pintanya.
Jovanka hanya nyengir tak berdosa.
"Nggak usah. Gue bisa berangkat sendiri. Lagian deket juga." tolaknya.
Namun Rofiq tetap bersikeras ingin mengantarkan Jovanka. Terpaksa gadis itu mengiyakan permintaan pemuda tersebut. Malas berdebat.
Di tengah perjalanan menuju ke tempat kerja Jovanka.
"Jov. Kamu udah putus sama Tristan kan?" tanyanya, lebih tepatnya memastikan.
"Iya. Emangnya kenapa?" bingung Jovanka.
"Em ... gue boleh gantiin posisi dia nggak, di hati kamu?"
Jovanka mendelik tajam. Ia tak percaya jika Rofiq akan mengucapkan hal ini padanya. Mengingat dia merupakan teman baik Tristan.
"Maksud elo?" tanya Jovanka, meminta penjelasan.
"Gue suka sama elo. Elo mau nggak jadi cewek gue? Gue janji bakal buat elo lupa sama si Tristan b******n itu." tuturnya.
Jovanka menarik ujung bibirnya, ia benar-benar benci dengan tipe lelaki seperti Rofiq. Yang menurutnya begitu pengecut. Berani menikung temannya sendiri.
"Sorry! Gue masih belom pengen pacaran!" ketus Jovanka, meninggalkan Rofiq.
Rofiq menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Ia benci mendapat penolakan dari Jovanka.
"Sialan!!" umpatnya, memukul udara kosong.
Jovanka langsung menuju ke ruang para wanita. Menaruh tasnya dalam loker dan kemudian melanjutkan pekerjaannya seperti biasa.
Jovanka menjadi sosok yang lebih pendiam saat ini. Dia tak lagi banyak tertawa seperti Jovanka yang terdahulu.
Tepat hari ini, pabrik yang Jovanka tempati kedatangan sesosok pemuda. Dia melamar sebagai pegawai di sana. Pemuda itu berempat di bagian akuntansi.
Ares, nama sosok pemuda tersebut. Memiliki wajah tampan, berkulit putih dan juga menggunakan tindik di bagian lidahnya. Terlihat begitu menggoda, namun tidak untuk Jovanka. Jovanka seakan mati rasa dengan yang namanya cinta.
Semua gadis di sana berlomba-lomba mencari perhatian sosok pemuda tersebut. Kecuali Jovanka yang terkesan cuek dan tidak peduli.
Ares beristirahat di ruang istirahat biasanya para pekerja berkumpul. Sosok itu terus saja memperhatikan Jovanka. Entah mengapa, ia tertarik pada gadis itu. Dia terlihat berbeda dari gadis yang lainnya. Membuat Ares semakin penasaran.
"Boleh kenalan?" tanya pemuda itu, memberanikan diri. Mendekati sosok Jovanka.
"Jovanka." jawab gadis itu tanpa ekspresi. Ia justru sibuk meminum minuman rasa jeruk di botol yang ia pegang.
Ares sedikit mati kutu karena tak ada respon dari sang gadis. Jovanka beralih meninggalkan sosok pemuda tersebut.
Pemandangan itu tak luput dari pandangan para gadis di sana. Semua berdecak kesal, bagaimana bisa Jovanka bersikap acuh pada pemuda setampan Ares. Namun mereka juga bahagia, setidaknya Jovanka tidak menjadi penghalang mereka.
Ares tidak akan putus asa, justru dengan sikap Jovanka yang seperti ini. Yang mana semakin menguji nyalinya, untuk menaklukkan sosok gadis tersebut.
Bahkan saat ini Ares ikut masuk ke ruang tempat Jovanka bekerja. Padahal mereka beda ruangan seharusnya.
Semua gadis menatap nyalang ke arah Jovanka. Awas saja kalau gadis itu berani menerima perhatian Ares, mereka tak akan tinggal diam. Monolog hati mereka.
"Jov. Ajarin aku ya ... gimana cara bungkus ini snack." modusnya.
Jovanka hanya diam, ia tetap fokus bekerja.
"Jov ...," panggil pemuda itu kalem.
Jovanka memejamkan kedua matanya, sungguh, ia sangat malas.
"Elo tinggal masukin nih makanan ke dalam bungkus. Abis tuh, tinggal di soldier. Gampang kan? Bayi aja bisa lakuin. Masa elo nggak ngerti." ucap Jovanka panjang lebar.
Ini kali pertama Jovanka berucap panjang pada Ares. Meski terkesan kasar, namun Ares menyukainya. Ia berharap bisa semakin dekat dengan gadis ini.
"Gini ya?" basa-basinya. Menyodorkan sebungkus makanan ringan di kedua tangannya ke hadapan Jovanka.
"Ya!" malas gadis itu, merolling bola matanya.