Bab 4. Ancaman di Balik Senyuman Embun
******
“Begini, Sayang, kamu telpon yayasan itu lagi saja! Minta satu asisten saja, bantu-bantu kamu masak dan ngurus rumah, enggak usah sampai empat, ya! Untuk gajinya, kamu aturlah dari jatah bulanan yang aku kasih ke kamu, nanti aku subsidi lima ratus ribu sebulan, ok! Aku juga kasihan sama kamu, sampai-sampai mandi aja enggak sempat setiap hari,” usulku mencoba bernegosiasi.
Lima ratus ribu subsidi dari aku, banyak kan? Aku sudah mau mengalah mengurangi jatahku. Enggak apa-apa. Mudah-mudahan dengan begitu istriku akan terlihat cantik setiap hari, pasti dia punya waktu untukku mulai sekarang. Aku untung, dia pun akan senang, kurang baik apa aku, coba?
“Enggak bisa, Mas. Aku mau melepaskan semua urusan rumah ini semuanya mulai hari ini. Aku mau nyelesaikan kuliahku yang sempat terhenti karena menikah dulu.”
“Apa! Jangan aneh-aneh, deh, Sayang! Kalau kamu kuliah, siapa yang ngurus anak-anak dan rumah ini?” pekikku makin kaget. Bisa-bisa kena serangan jantung aku karena perubahan istriku pagi ini.
“Kan ada pembantu,” sahutnya enteng.
“Yang memberikan Asi kepada Radit, juga pembantu?” cecarku mendelik tajam.
“Aku bisa mengatur waktu untuk memberi Radit ASI. Aku bisa sedot dan taruh di wadah, lalu dikirim ke rumah. Atau aku simpan di kulkas. Orang lain bisa, kenapa aku enggak bisa.”
“Tidak! Aku tidak setuju! Ini ide gila!”
“Maaf, kalau Mas enggak setuju, tapi ini sudah menjadi keputusanku.”
“Sejak kapan kau berani mengambil keputusan sendiri, Embun?”
“Mas, aku tidak berbuat yang macam-macam, kan? Aku hanya mau kuliah, nerusin pendidikan aku. Ingat janji Mas dan Papa dulu? Kalian udah janji, bahwa aku boleh lanjutin kuliah, asal aku mau nikah dengan Mas, ingat tidak?”
“Ada syaratnya, Embun, waktu itu aku bilang ada syaratnya!”
“Ya, Mas bilang syaratnya asal urusan rumah tidak terbengkalai. Makanya aku ambil empat orang pembantu, urusan rumah akan terjamin, juga anak-anak.”
“Kau mau gaji pakai apa?” teriakku geram. Ingin sekali kucekik dia sekarang. Kedua tanganku sudah mengepal.
“Sssst! Jangan teriak, Mas! Raya masih tidur! Radit juga kaget mendengar suaramu, lho,” katanya tetap dengan wajah tenang.
“Ok, sekarang aku tanya, kau mau gaji mereka pakai apa?’ kataku menurunkan volume suara.
“Kita patungan. Harusnya, sih, Mas semua yang nanggung. Tapi, enggak apa-apa deh, dua orang aku yang bayar, dua orang lagi, tanggung jawab, Mas,” jawabnya tersenyum manis.
“Patungan? Memangnya kau punya penghasilan?” geramku.
“Tenang! Yang penting, jatah belanja bulanan gak boleh Mas kurangin, tambahannya gaji dua orang pembantu, ok?”
“Enggak bisa! Aku hanya bisa subsidi lima ratus ribu! Terserah kau mau memakai seratus pembantu, aku gak peduli,” teriakku meninggalkannya.
“Aku akan telpon bagian keuangan kantor, agar langsung memotong gaji Mas, dan langsung transfer ke rekening aku setiap bulannya,” tuturnya tetap lembut.
“Embuuuuun!” Aku berbalik, menatap tajam wajah yang tiba-tiba kulihat sangat menyebalkan itu.
“Mamaaaa, emmaamaaa ….” Raya menjerit, sepertinya kaget dengan teriakanku. Radit juga mengoar di dadan perempuan yang kurasakan tiba-tiba berubah menjadi monster itu.
Dengan cekatan dia menenangkan keduanya. Raya dan Radit tergugu di dadanya.
“Papaaa … napa malah-malah cama Mama?” tanya putriku sambil mengucek mata. Aku tak peduli. Emosiku yang belum tersalur, membuatku malas melayaninya.
“Jangan pernah kau campuri urusan gajiku! Paham! Sekali saja kau berani nelpon keuangan kantor –“
Sengaja kugantung ancamanku, ingin sekali kulihat sorot ketakutan di matanya. Tapi sumpah, hari ni sepertinya dia salah makan obat. Perempaun itu malah tersenyum dengan manisnya. Apa makna senyuman itu, coba?
“Mas, justru Pak Ramlan yang tiap bulan nelpon aku? Mengirim laporan keuangan perusahaan dalam bentuk file ke hp aku, jangankan tentang gaji kamu, informasi mengenai sepertiganya yang rutin Mas suruh transfer ke rekening orang tua Mas pun aku tahu. Laporannya lengkap padaku, Mas.”
Aku lemas. Lutut tiba-tiba bergoyang, seolah sendinya ingin berlepasan. Embun mengetahui rahasia keuanganku selama ini? Dia tahu kalau jatah untuk belanja yang kuberikan padanya, sama besarnya dengan jatah untuk Papa dan Mama? Tapi dia diam saja? Bahkan dia mengatakannya padaku sekarang dengan tersenyum? Tapi, kenapa Pak Ramlan, mengatakan semua rahasia itu padanya? Kenapa si tua bangka itu mengirimkan file laporan keuangan setiap bulan pada Embun? Bukankah aku wakil bos di perusahaan itu? Kenapa si Ramlan botak itu berani membongkar rahasiaku? Awas saja, begitu sampai di kantor, aku pecat dia!
“Sekarang, berangkatlah, Mas! Ini udah siang, lho!” Embun berkata masih dengan begitu lembut.
Tidak ada amarah, tidak ada ekspresi kecewa, semua terlihat biasa. Tapi kenapa kalimat lembut itu kurasakan seperti ancaman? Senyumnya seperti belati tajam yang siap mengiris jantung. Aku ketakutan. Ada apa dengan Embun yang sebenarnya. Apakah noda lipstick di kemejaku masalahnya? Apakah dia cemburu? Ok, aku harus mengarang cerita untuk menutupinya.
“Sayang, mengenai noda lipstick di kemejaku itu--”
“Oh, nanti akan segera dibersihkan oleh asisten baru kita, Mas. Kalau cuma noda lipstick, gak susah, kok, nyucinya,” selanya tetap tersenyum.
“Maksudku, itu, semalam di lif, tiba-tiba mati lampu, pegawai perempuan terjerembb jatuh dan menubruk punggungku, makanya –“
“Mas, udah siang banget! Entar terlambat, lho!” selanya memutus kalimatku sambil membawa ke dua anakku keluar kamar. Dia sama sekali tak menghiraukan alasan yang tengah kukarang.”
Mati aku! Embun benar-benar sedang mengajak perang rupanya. Senjatanya hanya senyum, senyum, dan senyum. Ok, aku juga punya senjata untuk menghadapi serangannya. Tante Siska, mama tirinya. Adik kandung Papaku itu pasti akan membantuku. Bukankah semua ini atas rencananya? Bukankah dia yang merayu suaminya, papa mertuaku itu untuk menjodohkan aku dengan Embun?
Tante Siska malah pernah punya niat untuk menyingkirkan anak tirinya itu, karena Embun adalah pewaris tunggal kekayaan keluarga. Sebab perusahaan itu adalah milik mama kandung Embun. Tante Siska dinikahi dengan satu perjanjian, tidak akan menuntut harta warisan.
Aku yang jatuh hati pada Embun sejak pertama kali bertemu, memohon agar dia membatalkan niatnya. Tante Siska setuju, asal aku mau membantunya menguasai seluruh harta keluarga Embun. Langkah pertama adalah aku harus bisa menjadi pimpinan utama di perusahaan itu. Namun, telah tiga tahun pernikahan, papa mertua belum juga menyerahkan jabatan Direktur.
Terlalu lambat. Hari ini, putrinya malah mulai berulah. Ini tak bisa dibiarkan. Tante harus tahu hal ini.
“Tan! Tante di mana?” tanyaku melalui telpon sambil menyetir. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Emosi kepada sikap Embun yang mulai melawan dengan cara elegan itu membuatku mati kutu. Hampir-hampir aku menyerah dibuatnya. Tak ada cara lain. Tante Siska harus turun tangan.
“Di rumah, tapi sebentar lagi mau pergi arisan, ada apa, Ray? Kok, suaramu terdengar panik, gitu?” jawab Tante Siska balik bertanya. Sepertinya kepanikanku tertangkap olehnya.
“Tante datang ke kantor, ya! Aku mau bicara, masalah Embun,” ujarku.
*****