Setelah ke perpustakaan kampus karena di hukum hari itu, Navia merasa ingin mengunjungi tempat itu lagi. Meskipun ia bukan seorang mahasiswa yang suka membaca, tetapi akhir-akhir ini dia tertarik untuk membaca buku.
Kedatangannya ke perpustakaan di sambut dengan senyuman manis dari Gilang, seniornya yang juga petugas di perpustakaan itu.
"Hei Navia, tumben ke perpustakaan, di hukum lagi sama Pak Jordi?" Lirik pria itu sekilas, kemudian ia melanjutkan tugasnya untuk memberikan stempel buku-buku yang baru datang.
"Memangnya, kalau ke perpustakaan harus di hukum dulu? Aku sedang ada buku yang mau di baca aja, makanya aku datang kemari." Gadis itu melenggangkan kakinya ke arah rak-rak dimana buku tertata rapi di sana.
"Pasti lagi cari buku tentang cinta, ya?" ujar Gilang sok tahu, Navia hanya tersenyum mendengarnya.
"Memang kelihatannya aku seperti orang yang sedang jatuh cinta, ya?" Navia asyik memilih judul buku yang ingin di bacanya.
"Setidaknya kamu harus belajar jatuh cinta, Navia. Aku mendengar kabar kalau kamu belum pernah pacaran, apa itu benar?" tanya Gilang penuh selidik, Navia menghentikan kegiatannya sejenak, ia tidak menyangka pria itu memiliki minat mengintrogasi kehidupan pribadinya.
"Itu benar, tetapi bukan berarti aku belum pernah jatuh cinta. Aku sudah pernah merasakannya." sahut Navia kemudian.
"Semacam sebuah cinta bertepuk sebelah tangan?" tiba-tiba saja Gilang ada di dekatnya, membuat Navia terkejut.
"Kak Gilang kenapa mendadak..." Navia melihat ada gelagat yang tidak beres dari sosok Gilang.
"Jangan pura-pura tidak tahu, aku sudah mendengar kalau kamu sebenarnya menyukaiku, kan?" Gilang mengunci Navia dengan kedua tangannya.
"Kak, kakak mau apa? Jangan macam-macam." Navia panik, dia takut Gilang melakukan sesuatu yang tidak di sukainya.
"Bukankah ini yang kamu impikan selama ini?" Gilang menyentuh dagu Navia, gadis itu memberontak, mendorong tubuh gilang dan berlari menjauh dari pria itu lalu...
Bugh!
Navia menabrak seseorang. Tanpa melihat siapa orang itu, dia bersembunyi di belakangnya. Ia Berharap seseorang itu mau melindunginya dari ketidakberesan sikap Gilang.
"Minggir!" Gilang berusaha menyingkirkan seseorang yang menjadi tempat Navia berlindung.
"Aku tidak akan membiarkan kamu menyentuhnya lagi." Seseorang itu berbalik dan menarik tangan Navia, namun Gilang ternyata tidak melepaskan mereka begitu saja dan menarik baju bagian belakangnya.
"Maumu apa?!" seseorang itu hendak melayangkan tinju pada Gilang, tetapi Navia memegang tangannya dan berkata, "Jangan, Kak. Nanti Kakak akan terkena masalah. Ayo kita pergi saja." Kini giliran Navia yang menarik lelaki itu.
Gilang mendengus kesal dan tidak berniat mengejar Navia lagi. Ia kesal karena ada yang menggagalkan rencananya. Pria itu berusaha kembali fokus pada tugas yang sedang dia kerjakan.
***
"Kamu tidak apa-apa, kan?" pria berkacamata itu mengkhawatirkan keadaan Navia.
"Tidak, Kak. Terima kasih sudah membantuku tadi. Kalau tidak ada kakak, mungkin nasibku akan buruk."
"Santai saja. Aku hanya sedang tidak sengaja berada di sana. Aku tidak menyangka kalau dia bisa bertindak seperti itu. Oh ya, kenalkan, aku Rama." pria itu menjulurkan tangannya dan di sambut oleh Navia.
"Navia." sahut gadis itu singkat. Dia masih tampak panik. Tidak menyangka kejadian ini akan menimpanya. Dia pikir Gilang anak baik-baik, mengingat beberapa hari yang lalu mereka juga sempat berada dalam satu ruangan yang sama.
"Untuk masalah tadi, jangan di pikirkan lagi. Itu hanya akan membuat konsentrasi belajarmu. Lain kali ajak teman jika mau ke perpustakaan." Rama memberikan saran pada Navia, gadis itu mendengarkan dengan baik.
"Iya. Aku tidak akan seceroboh itu lagi. Aku tidak menyangka akan seperti ini karena sebelumnya kami sudah pernah berada di perpustakaan itu" Navia memberikan pembelaan terhadap dirinya. Dia memang telah tertipu dengan penampilan Gilang yang tampak kalem.
"Bisa jadi dia tidak sengaja melakukannya. Kamu sudah baik-baik saja, aku harus kembali ke kelas. Jaga dirimu baik-baik." pesan Rama sebelum akhirnya beranjak meninggalkan Navia sendiri.
"Sampai jumpa, Senior."
***
Brak!
"Gila sekali Dia! Beraninya melecehkan sahabatku!" Delia mendadak memukul meja kesal mendengar pengaduan Navia.
"Ssst, tenanglah sedikit sahabatku yang bar-bar. Dia tidak berhasil melakukan itu padaku, ada sosok pahlawan yang menolongku." Navia tersenyum ceria saat mengatakan ada pahlawan yang menolongnya.
"Oh ya? Apakah dia setampan Edward si vampir? Siapa namanya?" Seperti biasa, Delia sangat tertarik saat mereka membahas seorang pria.
"Kamu selalu begitu, mendadak bersemangat saat aku membahas seorang lelaki. Dasar!" Navia mendorong jidat sahabatnya dengan jari telunjuknya.
"Apa salahnya kalau aku ingin tahu? Kamu tidak kasihan padaku yang jomblo akut ini? Kamu sebentar lagi akan menikah, tolong kenalkan aku pada pria baik agar bisa mendampingiku ke pernikahanmu, Navia." Delia mulai berdrama. Menurut Navia, sahabatnya itu bahkan pantas mendapatkan piala oscar untuk kemampuan ektingnya yang luar biasa.
"Tidak usah membual, kamu pikir aku sejak kapan jadi sahabatmu, hah? Bahkan pacar simpananmu yang ada di balik buku pun aku dapat melihatnya."sindir Navia yang sukses membuat Delia terkekeh.
"Gimana perkembanganmu dengan Mas Duda?" Delia mendekatkan wajahnya ke Navia dan mengedip-ngedipkan mata seolah ia sedang menggoda.
"Aku dan dia biasa saja. Tidak ada yang spesial. Kami hari minggu kemarin hanya belanja bulanan dan makan siang bersama, setelah itu pulang." cerita gadis itu dengan malas.
"Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama dia?" Delia menatap sahabatnya serius.
"Apa-apaan pertanyaanmu itu? Aku kan sudah bilang sejak awal, aku tidak suka dengan Hiro. Semuanya aku terima hanya karena aku menuruti keinginan ayahku." Navia mendengus pelan, ia coba mengoreksi perasaannya dan masih sama, dirinya tidak tertarik dengan duda tampan itu.
"Baiklah-baiklah. Tapi kamu sudah tahu belum, pepatah yang mengatakan cinta tumbuh karena terbiasa? Seperti kamu gini, terbiasa tinggal bersama, makan bersama dan mungkin nanti tidur bersama. Kamu perlahan akan mencintainya." Delia tanpa sengaja membuat gambar bulatan bulatan di buku milik Bella untuk mengekspresikan penjelasannya.
"Memangnya yang begitu beneran ada? Kami sudah sepakat untuk tetap menjadi asing setelah menikah. Aku pikir semua yang kamu katakan itu tidak akan pernah terjadi antara aku dan Hiro." Navia tampak begitu yakin dengan ucapannya, sebaliknya, Delia tidak percaya Navia tidak akan jatuh cinta pada Hiro.
"Kalian berencana akan melewatkan malam pertama kalian begitu saja? Katanya, malam pertama itu seru sekali, kamu tidak ingin mencobanya nanti dengan Hiro?" goda Delia, tiba-tiba Navia menyumpal mulut sahabatnya itu dengan sebuah kertas yang digulung.
"Mau aku sumpal lagi dengan yang lain?" tanya Navia kesal. Ia menatap wajah Delia dengan tatapan murka. Gadis itu hanya menggeleng sebagai jawaban lalu mengambil gulungan kertas itu dari mulutnya.
"Ternyata Navia bisa mengamuk juga." kikiknya, membuat Navia semakin sebal.
"Maaf, aku hanya menggodamu. Ayo kita makan. Aku traktir deh..." Delia segera mencari trik jitu untuk membuat sahabatnya luluh dan memaafkannya.
"Oke, traktir aku sepuasnya. Itu hukuman buat sahabat yang suka membuatku kesal." Navia bangkit dari duduknya dan melangkah terlebih dahulu keluar kelas, dengan segera Delia mengikuti sahabatnya itu dari belakang dengan ekspresi gembira.
"Yes, trik berhasil." gumamnya pelan, agar tidak terdengar oleh Navia.
Navia bersyukur setidaknya dia masih memiliki Sahabat seperti Delia yang mau mendengarkan semua keluhannya. Mulai dari masalah pelajaran sampai keluarga. Dia sayang sekali pada sahabat bawelnya itu.