NAVIA POV
"Maaf, kami tidak bisa menerima karyawan tanpa identitas. Mohon bawa berkas-berkas anda, Nona. Agar kami dapat memproses pengajuan lamaran kerja Anda." Lagi-lagi aku di tolak. Ini sudah kelima kalinya aku di tolak masuk ke perusahaan. Bahkan, jadi OG (Office Girl) pun aku tidak pantas.
Aku keluar dengan lesu. Perutku mulai lapar karena hari mulai siang. Aku juga tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Sisa uangku, mungkin hanya cukup untuk membayar angkot pulang.
Kuputuskan untuk duduk terlebih dahulu di sebuah bangku yang terletak di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Aku merenungi nasibku yang sedikit kurang beruntung. Aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa mengambil berkas dari rumah tanpa ketahuan papa, kakak, dan para anak buahnya.
"Minum ini, kamu pasti haus." Suara lelaki asing terdengar di telingaku. Pria itu menyodorkan sebuah minuman kaleng padaku. Aku menatap wajahnya, siapa tahu aku mengenalinya, ternyata tidak.
Seorang pemuda seusiaku, dengan pakaian yang tidak terlalu mewah tapi rapi, duduk di bangku yang sama denganku tanpa seizinku. Aku menerima minuman pemberiannya dan mengucapkan terima kasih. Aku harap dia pria baik.
"Kamu sedang mencari pekerjaan?" tanyanya seolah sudah kenal lama denganku. Aku menatap ke depan sambil menghembuskan nafas dengan kasar. Aku sangat kecewa.
"Iya, aku sedang mencari pekerjaan. Tapi, tidak satu pun yang mau menerimaku. Mungkin karena aku tidak membawa berkas apapun." Aku tertunduk lesu. Kalau begini, aku tidak akan bisa menyewa Miko dan bisa pulang ke rumah menemui mama. Padahal.aku sangat merindukannya.
"Siapa namamu? Kenalkan, namaku Rendi." Cowok itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.
"Namaku Navia. Senang berkenalan denganmu, Ren." Aku membalas jabat tangannya perlahan.
"Kalau kamu sangat butuh pekerjaan, aku mau kasih kamu lowongan kerja. Di resto ujung sana, sedang membutuhkan seorang cleaning service, tapi gajinya kecil, hanya satu juta per bulan. Apa kamu bersedia?" Lelaki itu tampak serius.
Satu juta per bulan? Jatah uang jajanku saja dalam sebulan bisa mencapai hampir sepuluh juta. Sayangnya, seluruh fasilitas di tarik karena aku menolak menikah dengan om-om itu. Tapi kalau di pikir-pikir, lebih baik satu juta per bulan daripada tidak sama sekali.
"Baiklah, aku mau. Nanti aku akan kesana untuk melamar pekerjaan. Terima kasih infonya, Rendi. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini." Aku bahagia sekali, meskipun gaji yang akan aku dapatkan cukup kecil tapi itu lebih baik datipada aku menganggur.
Mengikuti arahan dari Rendi, aku datang ke resto itu dan saat aku melamar, aku langsung di terima begitu saja tanpa wawancara. Tentu saja aku sangat senang. Aku akan menceritakan kebahagiaanku ini pada Miko nanti. Meskipun aku yakin, ini bukan informasi yang penting untuknya.
Saat aku keluar dari resto itu, aku kembali bertemu dengan Rendi, aku sangat senang karena bertemu dengan dia hari ini. Karena hal ini, aku akhirnya punga pekerjaan sekarang.
"Sekali lagi terima kasih, Ren. Aku senang sekali, akhirnya aku punya pekerjaan sekarang." Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku sekarang.
"Jangan sungkan padaku Navia. Aku senang bisa membantumu. Lain kali kalau ada apa-apa, hibungi aku segera. Ini kartu namaku." Rendi menyodorkan sebuah kartu kecil berwarna putih padaku. Aku menerimanya tanpa ragu lalu menyimpannya dalam tas kecilku.
"Terima kasih, Ren. Kalau begitu, aku tidak akan sungkan lagi padamu. Maaf, aku harus pulang dulu." Aku berpamitan pada Rendi. Pria tampan dengan kacamata yang menambah keimutannya itu mengangguk dan tersenyum padaku.
Aku segera mencari angkutan umum untuk pulang ke rumah Miko. Sebelum pergi, aku sudah mencatat alamat rumahnya agar tidak kesasar. Maklum, aku baru tinggal satu malam di rumahnya.
Saat melintasi beberapa tempat, aku sempat melihat Miko menggandeng seorang wanita yang cukup modis. Sepertinya gadis itu anak orang kaya yang tentu saja adalah pelanggan Miko. Ada-ada saja pekerjaan orang di dunia ini, bagaimana nasib pacar Miko ya, kalau tahu kekasihnya bekerja dalam bidang seperti ini? Kalau pacarnya adalah aku, tentu saja aku akan memintanya untuk berhenti. Aku tidak mau berbagi, meskipun itu hanya pura-pura.
Aku tersenyum geli. Bagaimana bisa aku berpikir Miko akan menjadi kekasihku, sementara, kami baru saja bertemu.Pria itu juga tampak bukan tipe lelaki yang menyenangkan.
Sesampainya di rumah, suasana tentu saja sepi karena Miko masih ada di luar sana melaksanakan tugasnya sebagai pacar bohongan.
Aku menghampiri meja makan, rasa lapar masih menguasaiku. Segera aku putuskan untuk makan, apalagi masakanku masih sangat banyak. Miko nampaknya sangat buru-buru sampai tidak sempat sarapan.
Bagaimana rasanya jadi Miko, ya? Setiap hari harus selalu bermanis-manis dengan pelanggannya yang kemungkinan baru ia kenal saat kontrak. Aduh, kenapa aku jadi ingin tahu? Itu kan urusannya. Lagipula, dia memang harus begitu, kalau tidak, dia tidak akan dapat gaji, dong?
Acara makanku sudah selesai. Aku naik ke atas, ke kamarku. Rasanya hari ini sangat melelahkan, untung saja aku bertemu Rendi, beban hidupku seperti terangkat. Kalau di pikir-pikir, Rendi ganteng juga, Miko juga. Tapi saat bertemu Rendi aku langsung merasa nyaman, entah kenapa.
Suasana sepi di lantai atas ini membuatku sedikit merinding. Bagaimana bisa Miko biasa saja tinggal di sini bertahun-tahun? Aku tidak mengerti.
Perlahan aku menarik gagang pintu kamar yang aku tempati. Aku segera menyalakan lampu agar tidak terlalu horor. Aku phobia gelap, jadi aku sering parno saat berada di tempat-tempat gelap.
Aku beru memperhatikan, ternyata ada foto Miko di meja. Hanya saja foto itu di telungkupkan. Foto Miko bersama seorang wanita dan seorang bayi. Apakah sebenarnya Miko punya istri? Kalau begitu, aku bisa saja di anggap sebagai pelakor karena aku ada di rumah Miko saat ini.
Aku harus menanyakan ini pada Miko nanti. Sungguh, aku tidak ingin terjadi salah paham dengan siapapun. Tetapi, seandainya ini istri Miko, kenapa fotonya ada di kamar yang terpisah darinya dan di telungkupkan? Jiwa ingin tahu ku meronta.
Tok.. tok...
"Via, kamu ada di dalam? Aku membeli banyak kue, ayo kita makan bersama ...," aku mendengar suara Miko di luar sana. Aku buru-buru menutup foto itu dan bergegas membuka pintu untuknya.
Cklek...
"Miko, baru pulang? Baiklah... ayo kita ke bawah." Aku keluar dari kamar dan menutupnya kembali. Miko senyum padaku, tidak jutek seperti di awal kami bertemu.
"Aku baru pulang. Untung saja, acaranya tidak sampai malam, aku jadi bisa pulang cepat. Aku khawatir meninggalkanmu di rumah sendirian, pasti membosankan, ya?" Katanya sambil berjalan beriringan. Ini kesempatan bagiku untuk menanyakan apa yang ku lihat padanya.