Jason tersenyum saat memasuki kamarnya. Di asrama ini hanya memiliki lima lantai. Di lantai dua dan tiga terdapat ruang kamar untuk yang lebih muda, sedangkan di lantai empat dan lima diperuntukkan untuk para siswa yang lebih tua.
Sementara kamar guru dan para staf ada di lantai pertama. Di lantai pertama tadi juga ada ruang makan dan dapur. Sementara di lantai dua ada ruang perpustakaan untuk membaca. Keadaan dalam asrama itu sangat hangat. Jason berharap selama ia di sana ia akan mendapatkan teman-teman yang baik tak seperti saat di panti asuhan sebelumnya.
"Ini kamarmu," ucap Nyonya Harvey saat mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu mahoni itu.
Ukiran di permukaan pintu itu sempat membuat Jason meraba seraya takjub pada pahatan kayunya. Gambar ukiran kepala kambing lagi-lagi terlihat di pahatan pintu tersebut.
"Halo, Tony! Di mana Elthan?" tanya Nyonya Harvey.
"Halo, Nyonya Harvey. Elthon sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepak bola tadi," sahut anak lelaki dengan rambut warna kecoklatan itu dengan wajah penuh jerawat memerah.
"Oh, baiklah aku membawakan teman sekamar kamu yang baru, dia adik kelasmu namanya Jason."
Nyonya Harvey mempersilakan Jason untuk masuk ke kamar.
"Bukankah di kamar ini hanya ada dua kasur, lalu dia akan tidur di mana?" tanya Tony.
"Nyonya Martha akan membawa ranjang untuknya ke sini," ujarnya.
"Baiklah Nyonya Harvey, aku pikir dia tidur satu ranjang denganku hahaha... Hai, aku Tony, siapa namamu?" Tony yang terlihat ramah itu mengulurkan tangannya pada Jason.
"Hai, namaku Jason," sahut Jason menjabat tangan Tony.
"Oke, kalau begitu kutinggalkan kalian berdua ya, silahkan berbincang-bincang. Dan Andy aku harap kau bisa mengenalkan sekolah asrama ini dengan baik pada Jason," ucap Nyonya Harvey lalu pergi setelah menutup pintu kamar itu.
"Baik, Nyonya. Jangan khawatir," jawab Tony lalu menoleh pada Jason.
"Kau murid kelas satu, ya?" tanya Tony.
Jason menganggukkan kepala mengisyaratkan jawaban iya.
"Aku kelas lima di sekolah ini, kau yatim piatu ya, sama seperti Elthon?" tanya Tony.
"Iya, ibuku baru saja meninggal."
"Oh maafkan aku. Ibuku juga sudah meninggal dan ayahku menikah lagi. Lalu, daripada aku harus tinggal dengan ibu tiriku yang kejam lebih baik aku tinggal di sini," ucap Tony.
"Ibu tiri yang kejam?" tanya Jason seraya mendaratkan bokongnya di atas ranjang di belakangnya.
"Jangan duduk di sana, itu ranjang Elthon nanti dia marah jika kau duduk di sana," cegah Tony.
Jason langsung bangkit dan berpindah ke tepi jendela. Ia memilih duduk di tepi jendela itu dari pada harus duduk di atas ranjang yang dilarang.
"Tadi kau tanya apa, Ibu tiriku kejam apa tidak, bukan begitu?" Tony menegaskan pertanyaan Jason tadi.
Anak laki-laki yang duduk di tepi jendela itu mengangguk, mengiyakan.
"Ibu tiriku kejam, setiap ayahku pergi dia menyiksaku, dia sering memukulku, tidak memberikan makan, bahkan ia juga pernah menyiram air panas pada kakiku, tapi dia berbohong pada ayahku dia bilang aku yang melakukannya sendiri karena tak berhati-hati," ucap Tony.
"Malangnya nasibmu," sahut Jason.
"Kau tahu aku mulai muak dan membalas dendam padanya. Dia membawa seekor anjing chihuahua ke rumah. Wanita Itu bilang harga anjing yang bernama Minnie itu mahal, kau tau apa yang kulakukan pada anjing itu?"
"Apa yang kau lakukan? Aku tak tahu?" Jason menyahut dengan menggelengkan kepalanya.
"Aku membunuh anjing peliharaan ibu tiriku, ku gantung ia di kamar ibuku lalu ku robek bagian perutnya sampai isinya keluar hahahaha... lucu ya, semua terasa menyenangkan," ucap Tony dengan nada tanpa ada rasa bersalah.
Jason sampai mengernyitkan dahinya, ia bergidik ngeri. Ia tak menyangka gadis cilik yang terlihat biasa saja itu, bahkan wajahnya terlihat tak seperti anak pintar itu membuatnya menelan air liur yang terasa berat kala mendengar penuturan anak itu.
"Hei, Tony, apa kau tahu..." ucapan seorang anak lelaki kecil yang sebaya dengan Tony terputus kala ia masuk ke dalam kamar dan melihat ke arah Jason.
"Siapa dia?" tanya anak berkulit n***o dengan rambut ikal dan senyum yang manis itu.
"Hai, Elthon! Perkenalkan ini, Jason. Kini dia jadi teman sekamar kita," jawab Tony.
Jason turun dari tepi jendela lalu mengulurkan tangannya pada anak laki-laki n***o itu. Namun, Elthon menepis tangan mungil itu.
"Siapa yang suruh dia satu kamar dengan kita? Seharusnya dia berada di lantai tiga yang kamarnya lebih luas," ucap Elthon.
"Nyonya Harvey yang memerintahkan dia tidur di sini," sahut Tony.
"Apa dia anak orang kaya?" tanya Elthon.
"Dia yatim piatu, sama sepertimu," ucap Tony.
"Oh... tak ada yang spesial darinya kalau begitu, oh iya aku tadi mau bilang kalau Pelatih Jorge bilang permainan sepak bola aku sangat bagus," ucap Elthon dengan mata berbinar dan penuh kesombongan.
"Wah selamat ya, kau pasti senang sekali bisa masuk tim sepak bola di sini," ucap Tony.
Keduanya larut dalam perbincangan yang seru sampai mereka lupa ada kehadiran Jason di sana. Tau dirinya tak diacuhkan, dia ke luar dari kamar dan berkeliling.
Anak laki-laki itu mengunjungi perpustakaan kecil yang menyimpan banyak buku bagus untuk dibaca. Jason duduk di sana. Tak lama kemudian dua orang gadis melintas dan berhenti di hadapan anak itu.
"Sepertinya kita belum pernah bertemu dengan anak ini," ucap seorang murid perempuan kelas enam yang bernama Wayne.
"Ayolah, Wayne... kau bilang ingin pergi ke sini karena mencari buku referensi tugas kita, ayolah kita bergegas," pinta kawan gadis itu yang menarik lengan Wayne.
"Tunggu, kita harus ramah kan pada anak baru," ucap Wayne.
Jason mengangkat wajahnya. Ia mengamati Wayne seraya tersenyum padanya.
"Cih, senyummu itu membuatku ingin muntah tau."
Wayne lantas menyapu bersih buku-buku di atas meja yang sedang dibaca Jason jatuh berserakan ke lantai.
"Apa yang Kakak lakukan?" Jason segera meraih buku di lantai itu dan merapikannya.
Namun, kaki kanan milik Wayne sengaja menginjak tangan Jason sampai membuatnya kesakitan.
"Wayne, lepaskan dia!" pinta kawan anak itu seraya menarik lengannya.
"Kau tahu aku, kan? Aku tak suka bila ada yang mencoba menantangku," ucap Wayne.
"Maaf, tapi awww... Aku tak pernah berniat menantang Kakak."
Jason meringis kesakitan, ia mencoba menarik lengannya yang terinjak itu.
"Wayne, lepas! Lihat ada Nyonya Martha datang!"
Anak laki-laki di samping Wayne itu langsung menarik lengan gadis itu dan membawanya pergi menjauh lalu naik ke lantai tiga.
"Halo, Jason. Apa yang kau lakukan di sini? Ya ampun, kenapa buku-buku ini berantakan, Nak?" tanya Nyonya Martha dengan rentetan pertanyaan pada anak yang masih meringis kesakitan itu.
"Tadi aku tak sengaja menjatuhkannya, ini akan segera aku rapikan kembali, Nyonya," ucap Jason berbohong.
"Oh iya, ranjang untukmu sudah siap, ya meski kamar itu jadi makin sempit, tapi ku harap kalian bertiga bisa akur. Jangan lupa tepat pukul enam lebih tiga puluh menit, kita akan makan malam bersama," ucap Nyonya Martha.
"Baik, Nyonya Martha."
Wanita itu lalu melangkahkan kakinya naik ke lantai tiga.
Anak laki-laki itu memandang ke arah kaca jendela dan melihat sosok bayangan hitam seolah melintas dan menghilang.
"Bayangan apa itu?" lirihnya.
Saat makan malam berlangsung, semuanya tampak tenang mengikuti aturan Nyonya Harvey.
"Setelah ini, aku ingin kalian berkumpul di aula sekolah, ingat minggu depan ada pertunjukkan pameran edukasi mengenai sekolah dan juga ada pameran kuliner dan bazar, kalian harus tampil dengan baik," ucap Nyonya Harvey.
"Anak-anak tingkat menengah pertama sudah sampai di aula, Nyonya Harvey."
Nyonya Martha memberitahu seraya menuangkan air ke dalam gelas Nyonya Harvey.
"Oke, bagus kalau begitu, mereka akan melatih anak-anak sekolah dasar ini. Baiklah Sherad, karena kau anak tertua di sini, ku harap kau mau mengawasi adik-adikmu ini," ucap Nyonya Harvey menoleh pada gadis berambut merah dengan bintik hitam yang penuh di ujung hidung lancipnya.
"Baik, Nyonya Harvey," sahutnya.
Makan malam itu pun usai, semua murid bersiap menuju aula.
"Ed tunggu! Aku terlupa meninggalkan ponselku di kamar," ucap Wayne.
"Ah, aku lelah sekali jika harus kembali ke sana," keluhnya.
"Oke, kau duluan saja, aku akan segera menyusul ke aula," ucap Wayne lalu melangkah mundur menuju kamarnya di lantai lima di asrama.
Ia sampai menabrak rombongan Elthon dan Tony dengan sengaja seraya tersenyum sinis yang mengejek. Jason sempat menoleh ke arah mereka.
"Betapa menyebalkannya anak itu, ingin rasanya ku congkel mata tajamnya yang jahat itu," ucap Elthon.
"Tenanglah, anak orang kaya memang seperti itu, apalagi ayah dan ibunya selalu pergi ke luar negeri tak pernah memberinya perhatian," ucap Tony.
"Sama ya sepertimu," sahut Elthon.
"Hahaha... kau lucu sekali."
Tony menggandeng tangan Elthon agar melangkah lebih cepat mendahului Jason.
Kedatangan Nyonya Harvey langsung membuat semua murid yang ada di sana fokus pada kepala sekolah yang sedang memberikan pengarahan itu.
Nyonya Martha yang berdiri di samping Jason menegur Tuan Blast.
"Kau sudah mengunci asrama?" tanya Nyonya Martha.
"Tentu saja sudah, semua murid asrama berkumpul di sini, kan?"
Nyonya Martha mengangguk menjawab pertanyaan tuan berwajah sangar itu.
***
Sementara itu di dalam asrama milik Nyonya Harvey.
Srak srak srak.
Suara pisau itu terdengar saat dibenturkan perlahan melintasi pegangan tangga yang terbuat dari besi itu di dalam asrama menuju lantai lima. Asrama itu tampak sepi karena semuanya sedang berada di aula, kecuali Wayne.
"Wayne..."
Suara misterius itu terdengar berbisik memanggil anak lelaki itu sampai membuatnya menoleh.
"Ayolah Jhon, itu tidak lucu," ucap Wayne mencoba memasang indera pendengarannya agar lebih peka seraya kedua bola matanya berkeliling merotasikan melihat sekeliling kamarnya.
Suara sosok misterius itu kembali memanggil nama Wayen yang masih sibuk mencari ponselnya. Karena ia terlalu terburu-buru ponselnya terjatuh dari atas ranjangnya menuju ke kolong ranjang tersebut.
Anak lelaki itu membungkukkan tubuhnya untuk mencari ponsel tersebut ke bawah ranjang tidur yang terbuat dari besi itu.
Bug.
Wayne yang terkejut sampai mengantukkan kepalanya ke besi ranjangnya. Ia melihat sosok bola mata berwarna merah yang berada di seberang ranjangnya.
Namun, saat ia mengangkat kepalanya dan mengamati sisi ranjang satunya, ia tak menemukan apapun di sana.
"Apa itu tadi, ya?" gumamnya.
Sosok bayangan hitam seperti seorang pria yang mengenakan jubah hitam itu membekap mulut Wayne secara tiba-tiba. Sosok itu memeluknya dari belakang.
Tubuh anak lelaki itu tak bisa digerakkan, ia mematung. Buliran bening di matanya mengalir deras seiring wajah ketakutan nan mengerikan itu makin mendekat dan menarik lidahnya ke luar dari rongga mulut.
Sosok itu menebas lidah Wayne yang hanya bisa menangis tapi tak bisa berteriak dan berkata apapun lagi. Tubuh anak lelaki itu di hempas membentur dinding samping pintu kamar. Bocah itu mencoba bangkit lalu ia langsung berlari dengan paniknya menghindari sosok misterius itu. Darah bercucuran dari mulut anak itu.
Wayne memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari pakaian besar yang berisi mantel-mantel tebal untuk semua orang di dalamnya. Lemari itu terletak di sudut dekat tangga yang terletak tak jauh dari kamar Nyonya Martha. Anak itu merasa harus bersembunyi di dalam lemari itu untuk menghindari sosok misterius yang ingin membunuhnya malam itu.
Wayne mencoba menahan napas yang terus menderu ketakutan saat sosok itu terdengar melangkah lebih dekat. Pikiran kalut penuh pertanyaan mengenai siapa sosok misterius itu dan apa yang ia inginkan.
"Wayne si pemberani, ke mana kau jagoan? Ayo, sini main denganku..."
*
To be continue.