Pemuda jangkung itu terlihat memantulkan bola basketnya sembari masih melirik pintu kelasnya yang terbuka. Bibirnya bergumam lirih merasa kesal menunggu sedari tadi.
Matanya memicing saat melihat seorang gadis melangkah keluar dengan menyempatkan mengikat tinggi rambut panjangnya.
"Ngapain sih di dalam sampe lama begini?" Ngomelnya dengan mengekori gadis berkulit putih bersih itu. "Siapa yang suruh lo nungguin gue." Balasnya jutek lalu kembali melangkah cepat membuat pemuda di belakangnya menghela panjang lalu berlari kecil mengejarnya. "Ya elo janji mau temanin gue latihan basket kan?"
"Latihan mulu tapi masih b**o mainnya. Mending gak usah, buang-buang waktu."
"Tega bener dah mulut lo, gak pake filter ngomongnya."
"Ck. Gak usah bawel," potong gadis itu lalu berbelok dan sontak tersenyum melihat sebuah kafe di depannya kini. Remaja yang masih memakai seragam putih abu-abunya itu membuka pintu masuk lalu mendekati meja kasir.
"Kenapa harus ke kafe ini sih. Katanya lo mau nemanin gue latihan tadi." Rengek pemuda dengan menghela panjang.
"Elo itu latihan mulu tapi gak pintar-pintar mainnya. Jadi mendingan gak usah,"
"Ck. Elomah selalu gitu,"
"Diem gak." Kesal gadis itu lalu tersenyum ke arah kasir yang menunggu keduanya. "Mas disini masih terima karyawan gak?"
"Kurang tahu, mbak. Manager saya gak masuk hari ini."
"Yaaa, gimana kalau saya titip nomor hape saya mas. Nanti kalau managernya udah masuk tolong tanyain ya masih ada lowongan apa enggak." Cerocosnya membuat pemuda di hadapannya mengangguk saja. "Minta kertasnya mas." Tambahnya lalu menuliskan nomornya dengan tersenyum lebar.
Kasirnya sekilas merunduk membaca deretan angka-angka itu. "Nama mbaknya siapa?"
"Erisa, Erisa Vailyn."
Setelah tersenyum ramah dan berpamitan pada penjaga kasir. Gadis bernama Erisa itu akhirnya berbalik pergi membuat temannya kembali mengekor.
"Erisa."
"Apasih Angga? Masih mau ngajak main basket. Udah mau sore." Katanya dengan mencebikan bibirnya pelan. "Kenapa lo harus kerja. Apalagi di kafe ini?"
"Erlangga, gue ini gak sekaya lo. Orang tua gue juga gak punya warisan turun temurun seperti keluarga lo. Gue sekarang tuh sebatangkara, harus bisa nafkahin diri gue sendiri. Jadi gue harus dan butuh kerjaan ini. Paham kan?"
"Ya gue udah bilang kan kalau lo butuh uang tinggal minta ke gue. Apa susahnya,"
Erisa mendengkus kasar lalu mendekat dan menabok pelan kepala Angga membuat pemuda itu mengaduh kecil. "Gue bukan pengemis ya, yang harus minta-minta. Gue masih muda, gue bisa kerja kenapa harus ngandalin orang lain." Balas Erisa masih kekeuh dengan pendiriannya. "Yaudah gue nafkahin lo mau gak?"
"Apaan?"
"Ya nanti habis lulus kita nikah."
Erisa memutar mata jengah lalu mengancam Angga dengan tinjunya. "Elo bukan tipe gue." Katanya lalu melangkah lebih dulu membuat temannya itu melemaskan bahu kecewa. Selalu saja ditolak begini.
Erlangga masih memandangi Erisa yang perlahan menjauh. Pemuda berbulu mata lentik itu menghela pelan lalu merogoh ponselnya sembari menelepon seseorang.
"Besok langsung terima teman gue buat kerja. Namanya Erisa Vailyn."
*************
Erisa mengembungkan pipinya dengan menghela panjang. Entah kenapa merasa gugup. Gadis cantik berambut panjang yang ia kuncir itu terlihat sesekali memperbaiki kemeja putihnya. Kepalanya tertoleh kanan-kiri menunggu seseorang untuk menginterviewnya.
Bibirnya tertarik lembut merasa lega akhirnya bisa dipanggil kerja. Padahal sebelumnya Erisa tidak terlalu berharap banyak. Tapi pihak kafe kemarin meneleponnya dan mengatakan padanya untuk datang. Katanya mau ada interview pegawai baru.
"Erisa ya?"
Erisa sontak berdiri dan menyambut ramah pria berbadan gempal di hadapannya kini yang sudah tersenyum ke arahnya. "Hari ini kamu bisa langsung kerja gak?"
"Eh? Bisa, pak. Bisa banget," balasnya dengan tersenyum berbinar memandangi managernya itu.
"Oke. Kalau begitu kamu tunggu di sini ya, sebentar lagi partner kerja kamu datang. Dia senior kamu." Jelas manager, "baik, pak."
Erisa kembali menarik nafas panjang merasa gugup. Firasatnya seperti mengatakan kalau ia akan membuat banyak kesalahan nantinya. Gadis itu menggigit bibir lalu tersentak saat bayangan seseorang menghampirinya membuat ia mengangkat wajah memandang sosok familiar di depannya kini.
Erisa mematung dengan masih memandang pemuda di hadapannya kini yang masih menatap lurus meja di hadapannya. Seperti tidak ingin melihat wajah Erisa. Padahal keduanya baru bisa bertatap muka sekarang.
"Kamu yang anak baru itu kan?"
Erisa tidak menanggapi malah gadis itu beranjak berdiri dan mendongak menatap seniornya itu kesal. "Kamu namanya siapa ya? Kita belum kenalan soalnya." Tutur pemuda itu dengan tersenyum samar membuat Erisa menggigit ujung bibirnya kasar. "Kenapa? Sekarang lo pura-pura gak kenal sama gue. Pura-pura hilang ingatan setelah apa yang lo lakuin dulu?!" Sentak gadis itu kesal membuat pemuda di depannya mengerjap kaget. "Walaupun lo pengen ngejauh dari gue. Tapi gak dengan cara gak ngenalin gue dong. Elo tahu gak sih, elo sekarang jahat banget?!"
"Maaf. Tapi gue beneran gak tahu siapa lo. Dan gue gak bisa ngenalin lo," Tutur pemuda itu sudah berbicara non-formal. "b******k. Sekarang lo mau ngeles apalagi? Kenapa gak sekalian aja lo bilang kalau lo buta hah?!" Geramnya membuat pemuda di depannya menelan salivanya kasar dengan bibir yang tersenyum miris.
"Iya, gue buta."
"Omong kosong apa yang lo bi--" Erisa menggantungkan omongannya dengan menganga kecil. Gadis itu menipiskan bibir dengan memandang cowok yang tidak lain adalah Syahir itu.
Pemuda itu sedari tadi hanya menatap meja lurus. Seakan titik fokusnya ada disana. Matanya juga seperti tidak mengerjap. Hanya bergerak kiri dan kanan berusaha mengandalkan pendengarannya. Erisa mengatupkan bibirnya rapat. Baru menyadari kalau pemuda di depanya ini sebenarnya kehilangan penglihatannya.
"Ah g-gue gak mak-sud begitu. Tapi kenapa? Bukan maksud gue sejak kapan?"
"Kita sekarang lagi kerja. Bisa kan jangan ngebahas tentang gue, lagian kita gak sedekat itu buat berbagi duka." Erisa tertohok mendengar ucapan pedas itu. Dadanya naik-turun menahan emosinya. Matanya sudah mengembun sedari tadi. Entah kenapa merasa kesal dan juga bersalah pada pemuda di depannya ini.
"Oh iya. Nama kamu siap tadi?" Ulang Syahir dengan tersenyum samar membuat Erisa makin terenyuh. Senyan bodohnya itu terlihat sekali memendam luka. "Gu-gue Erin. Gue izin ke toilet bentar ya," pamit Erisa berbohong lalu melangkah pergi meninggalkan Syahir yang kini merunduk dalam.
Pemuda itu mengusap tengkuknya dengan perasaan aneh. Harus pura-pura tidak mengenali gadis tadi. Padahal Syahir kenal betul suara gadis yang bersamanya barusan. Suara yang selama ini menemani kesendirian Syahir selama masa-masa terberatnya. Tapi, Syahir harus memilih jalan itu. Berpura-pura saja, agar tidak membuat gadis itu terluka lagi.
Syahir membasahi bibirnya lalu bergumam lirih dengan tesenyum miris.
"Erisa......... gue kangen lo."