Stranger

1010 Kata
"Shh! Diam Verone!" Desis seseorang di telingaku, seketika aku terdiam. Padahal tadi aku memberontak, jeritanku tertahan karena tangannya menutup mulutku. Orang itu tepat di belakangku, dan aku tidak dapat melihatnya secara langsung. Namun mendengar suaranya tadi aku lalu mengernyitkan kening. "Rose!" Seruku ketika ia melepaskan cengkramannya di mulutku, aku buru-buru berbalik badan. Bingung, mengapa Rose melakukan hal itu padaku? "Rose, apa yang kau lakukan?" "Shh! Diamlah Nona Verone, sepertinya seseorang baru saja menyusup kedalam rumah ini." ujarnya seperti memberiku peringatan. Rose, wanita tua yang telah bekerja di rumah ini sejak diriku masih balita itu sangatlah baik. Meski usianya yang tak lagi muda ia masih cekatan mengurus rumah besar ini meski didampingi beberapa maid. Dan ternyata siluet seseorang tadi adalah dirinya, kupikir seorang penjahat atau perampok yang baru saja keluar dari dalam rumah ini. Mungkin Rose sedang membersihkan halaman atau memberi makan ikan dan burung di taman belakang. "Apa maksudmu Rose? Satu-satunya orang yang ada di sini adalah dirimu. Aku pikir tadi ada orang lain, ternyata hanya kau." kataku dengan nada tinggi, lalu berlalu meninggalkan wanita paruh baya itu begitu saja. Aku menggelengkan kepala, hah... ada-ada saja... "Itu benar Nona Verone, seorang penyusup memasuki rumah ini. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ia memakai topi koboi." serunya dari kejauhan yang tak kutanggapi. "Ya... ya.. ya Rose, apapun katamu." balasku acuh, mana ada penyusup masuk ke dalam rumah dengan penjagaan ekstra ketat seperti ini. Aku menaiki tangga menuju kamarku, melewati kamar Daisy yang kebetulan sekali terbuka ketika aku berada di depannya. Menampilkan dirinya yang keluar dari kamar hanya dengan terbalut jubah mandi, aku melirik sekilas ke dalam kamarnya. Penasaran dengan suara geraman pria yang terdengar sangat seksi tadi, tapi kelihatannya kamar itu tidak ada seorang pun. "Apa?!" Bentaknya tepat di wajahku, aku mencoba menetralkan wajahku sebiasa mungkin, takut dirinya murka karena Daisy tidak suka jika urusannya dicampuri. "Uh, tidak. Kau sudah makan?" Tanyaku mengalihkan suasana. "Tidak, aku sedang diet makan." ujarnya ketus lalu meninggalkanku sendiri dengan pemikiranku, rambutnya yang basah dan tubuhnya yang wangi menandakan dirinya baru saja selesai mandi. Bibirnya terlihat membengkak dan terdapat beberapa kiss mark di leher dan belahan dadanya. Aku mengernyitkan kening, siapa pria yang bersamanya tadi? Mengapa tidak ada orang? Apa Daisy bermasturbasi sendirian? Tapi jelas sekali aku mendengar suara pria di dalam sana tadi. Daisy berjalan bak model ternama menuruni tangga dengan bertelanjang kaki, postur tubuhnya terlihat begitu indah. Lihatlah kaki jenjang itu, begitu mulus tanpa ada cela sedikit pun. Payudaranya yang terlihat membusung, sangat pas dengan b****g indah dan perut ratanya. Aku kadang suka bermimpi, andai aku seperti Daisy. Tapi diriku selalu tidak percaya diri mengenakan pakaian terbuka lewat dari pintu kamarku. Aku menundukan pandanganku, berjalan pelan memasuki kamar. Daisy tidak pernah peduli sedikit pun padaku, yang hanya ia pedulikan hanya pria dan pekerjaannya. Kadang aku berpikir untuk pergi saja dari rumah besar ini, hidupku memanglah serba berkecukupan, namum tetap saja aku haus akan kasih sayang seperti yang pernah orang tuaku berikan dahulu, dan Daisy tidak bisa memberikannya untukku. Bagai hidup disangkar emas, heh... Ingin pergi sejauh mungkin, mengikuti naluri hidupku dan mencapai cita-citaku. Namun meninggalkan Daisy sendiri adalah hal yang paling utama yang terlintas dipikiranku. Daisy masih butuh diriku, aku belum tega untuk meninggalkannya seorang diri tanpa seorang pun yang mendampinginya. Daisy membutuhkan seseorang yang akan menemaninya kelak hingga hari tua, namun sepertinya Daisy tidak pernah berpikiran sepanjang itu. Hidupnya hanya selalu digunakan untuk kesenangan, tak pernah memikirkan masa depannya kelak. Entahlah, seperti aku yang menjadi kakak dan berpikiran dewasa. Aku mengunci pintu kamarku, tanpa menyalakan lampu membiarkan hanya cahaya dari luar yang menerangi sebagian dalam kamarku. Terduduk lesu di kursi belajarku, menopang dagu dengan kedua telapang tanganku. Meja belajar yang mengarah langsung keluar jendela dan tepat ke halaman depan. Malam ini begitu indah, musim panas tiba membuat hari ini begitu gerah dan panas. Rembulan bersinar terang malam ini, sesuatu yang sangat aku sukai ketika malam tiba. Hanya diterangi cahaya bulan.... Aku bahkan pernah menulis sebuah buku di mana seorang wanita tengah b******u dengan pasangannya di bawah sinar rembulan, tanpa sehelai benang pun dengan gairah yang bergejolak serta nafas yang menderu nikmat. Jeritan dan desahan, diiringi geraman dan ciuman yang seolah tak ingin terlepas. Seolah tak ingin mengakhiri momen seperti itu meski apapun yang mencoba memisahkan mereka. Oh, betapa romantisnya... Aku larut dalam khayalanku, seakan aku ingin mengambil sebuah pensil dan menuliskannya di sebuah kertas. Namun aku mengurungkan niatku setelah melihat sesuatu... Aku buru-buru beranjak dan mendekat pada jendela layaknya seorang detektif, membuka sedikit gorden transparan itu agar penglihatanku lebih jelas. Itu dia... Berjalan kaki menuju tempat peristirahatan para pekerja dengan menenteng kaos oblong yang ia taruh dibahunya, gaya biasanya yang selalu bertelanjang d**a. Tapi, kenapa malam-malam seperti ini ia membuka baju? Aku mengernyitkan kening, sore hari tadi aku tidak menemukan dirinya yang biasa bercengkrama bersama teman-temannya seraya membakar api unggun. Tapi tadi aku tidak melihatnya. Ia berjalan dan sudah terlihat menjauh, hingga aku tidak dapat melihatnya lagi. Sepertinya ia masih mengenakan baju tadi, baju yang ia kenakan ketika bekerja. Apa dia belum mandi? Oh, aku tidak dapat membayangkan bagaimana peluh membasahi tubuh kecoklatannya itu. Apa pria itu sedang keluar tadi? Apa ia menemui seorang wanita? Ah, mengapa kau sangat ingin tahu, Verone? Kau bahkan bukan kekasihnya. Lucu sekali! Aku tertawa renyah, andai saja aku memiliki kekasih seperti itu. Memamerkannya kepada semua teman-teman di kampus, mereka pasti akan tercengang. Di luar dari profesi dan kalangan pria itu, pria seperti itu dapat membuat wanita manapun menjerit histeris dan rela membuka pakaian mereka demi tubuh berotot itu. Bisakah aku melakukannya? Aku tipe gadis yang pemalu, jika hanya dengan membaca dan menonton adegan intim saja keberanianku muncul. Namun jika berdekatan dengan seorang pria, apalagi pria yang seperti itu. Aku sendiri tidak yakin? Orang-orang berkata tubuhku terbilang indah, meski tidak seseksi Daisy tubuhku dapat dibandingkan dengan seorang supermodel papan atas. Well, aku tidak pernah menyangkal akan hal itu. Tapi dibandingkan dengan Daisy jelas aku kalah saing, dia begitu sempurna dalam segala hal, seperti kata Rose. Eh, tunggu dulu... Apa yang dikatakan Rose tadi? Seseorang yang mengenakan topi koboy telah menyusup masuk kedalam rumah ini? "Kau pasti bercanda!" kataku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN