Suspicion

1068 Kata
"Verone!!!!" Terdengar seruan dari luar sana yang lebih mengejutkanku dari suara ketukan itu, walaupun setidaknya aku bernafas lega bahwa itu bukanlah pria yang tadi menatapku. Aku tertawa sumbang, serasa besar kepala berpikir bahwa pria itu akan menghampiriku. Yang benar saja, dia mungkin saja tidak sengaja menatapmu Verone. Namun sejujurnya, aku turut kecewa... Kubuka pintu dengan malas lalu wanita itu berkacak pinggang tepat di depan pintu, gaya Daisy sehari-hari. Rok minim di atas paha serta kemeja yang terlihat sangat sempit di tubuhnya itu, rambut pirang dan bergelombangnya sengaja ia biarkan terurai menambah kesan seksi padanya. Sepatu berheels tinggi makin memperindah kaki jenjangnya, belum lagi wajah mulus yang selalu terawat itu dipoles dengan make-up hingga secantik mungkin. Daisy adalah sosok wanita yang cantik dan cerdas, wajah dan bentuk tubuhnya bak melambangkan Dewi Yunani dan terlihat sangat sempurna. Garis rahang yang sempurna dengan wajah mulus tanpa cela sedikit pun. Kadang aku merasa iri terhadapnya, namun Daisy dan aku memiliki kepribadian yang berbeda. Dan aku sangat berbeda dari dirinya yang sangat feminim dan lebih menomor satukan penampilan serta popularitas. Tak heran mengapa ia selalu dikejar-kejar oleh pria di luar sana, namun anehnya ia tidak pernah serius dengan satu pria pun hingga umurnya yang hampir kepala tiga. "Apa?!" Ujarnya ketus. Aku memutar malas kedua bola mataku dan berbalik badan meninggalkannya begitu saja setelah membukakan pintu untuknya. "Kenapa kau mengunci pintu Verone? Apa kau tidak lihat aku di belakangmu tadi?" Omelnya, dan dia mulai lagi dengan nada ketus dan bibirnya yang tak berhenti bicara. "Aku tidak tahu." jawabku acuh seraya melangkah menaiki tangga, sesungguhnya aku memang tidak tahu dia ada di belakangku. Mungkin karena terlalu fokus pada pria berdada bidang itu, aku tertawa pelan menuju kamarku. Tak menghiraukan seruannya yang menggema ke seluruh penjuru rumah ini, bahkan setelah di dalam kamar pun aku masih dapat mendengar ocehan Daisy, wanita itu benar-benar berbeda dari mendiang ibu kami. "Hah..." aku merebahkan diri di atas ranjang. Masih terlintas di pikiranku ketika menatap mata sebiru langit itu dari kejauhan, mengapa ia begitu tampan? Apakah ia seorang malaikat yang dikirim tuhan dari surga? Oh, aku pasti terlalu banyak berkhayal. Terlalu banyak membaca majalah dewasa dan korban fairy tale lebih tepatnya. Aku mendengar suara tertawa dari luar, buru-buru aku menuju balkon dan bersembunyi di balik pilar. Para pekerja itu menuju rumah belakang, tempat di mana mereka menginap selama mengerjakan pembangunan ini. Senja mulai terlihat, pertanda mereka telah selesai bekerja dan melanjutkannya esok hari lagi. Aku sering melihat mereka berkumpul di sana pada malam hari. Sekedar bercengkrama dan makan bersama ketika malam tiba, well aku bisa tahu semua itu karena aku selalu mengintip mereka. Terutama si pria dengan d**a bidang itu, hampir semua pekerja di sini memiliki postur tubuh yang sempurna. Itu mungkin karena pekerjaan mereka yang terbilang berat, tapi hanya satu yang dapat membuat jantungku terasa berdegub dengan cepat. Aku tidak mengetahui namanya, aku hanya selalu menyebutnya dengan si pria berdada bidang. Aku yakin tubuhnya tiga kali lebih besar dari tubuhku, andai saja aku dapat menyentuh otot kerasnya. Aarggghhh... Aku mulai lagi... Sepertinya aku harus menyibukan diri dengan kegiatan lain selain mengagumi dirinya. Tapi tunggu dulu, Dimana dia? Aku menyipitkan kedua mataku, mencari dirinya yang kupikir akan menghampiriku tadi. Tidak ada dimana pun. Aku mengerucutkan kening, padahal baru saja aku melihatnya. Mengapa cepat sekali menghilang? Aku menaikan bahuku acuh, menutup pintu balkon dan menuju kamar mandi. Sepertinya mandi dengan air hangat akan sedikit menjernihkan isi kepalaku, dan mungkin aku harus sedikit mengurangi membaca majalah dewasa sebelum aku kehilangan keperawananku seperti teman-teman dikampus. ... Aku keluar dari kamar setelah selesai dengan acara mandi yang cukup lama, dengan hanya mengenakan piyama tidur menuju dapur guna mengisi perutku yang lapar. Makan malam telah tersedia, mungkin Rose asisten rumah tangga kami lupa untuk memanggilku dan Daisy. Biasanya ia akan mengetuk pintu kamarku hanya untuk mengingatkanku makan malam. Aku melirik ke arah kamar Daisy, wanita itu pasti belum makan karena terlihat hidangannya masih belum tersentuh sedikitpun. "Sebaiknya aku memanggilnya untuk makan malam bersama." gumamku, aku menghampiri kamarnya, jemariku telah terangkat ingin mengetuk pintu kamarnya. Ia akan marah jika aku langsung menerobos masuk begitu saja, namun ketika aku ingin mengetuknya. Entah mengapa aku mendengar sesuatu dari dalam sana... Aku menempelkan sebelah telingaku ke pintu, dan seketika membuat nafasku memburu. "s**t Anthonio, F*ck me harder!" Sontak saja bulu kudukku merinding, selalu saja seperti itu. Dan hal seperti itu sering terjadi ketika malam telah tiba, aku tidak terkejut, hanya saja aku belum terbiasa mendengar desahan serta jeritan vulgar seperti itu. Daisy selalu membawa pria keluar masuk rumah ini, dirinya begitu bebas tidak sepertiku. Dan yang lebih membuatku menggelengkan kepala adalah Daisy selalu membawa pria yang berbeda. Yang bisa aku hitung, hubungan Daisy dengan seseorang hanya mampu bertahan selama sebulan. Dan kutebak itupun hanya untuk seks bebas dan demi kepuasan semata, maklum saja, Daisy adalah wanita sosialita kalangan atas. Berganti-ganti pria tampan untuk menjadi koleksi sudah menjadi kebiasannya sedari dulu. "Whatever, i don't care..." ucapku pada diriku sendiri lalu kembali menuju dapur karena perutku sudah berteriak meminta untuk segera diisi. Aku duduk di meja makan panjang itu seorang diri, seperti tidak memiliki keluarga dan tidak memiliki kehidupan. Daisy seolah tidak perduli denganku, sebenarnya aku tidak iri dengan hidupnya yang begitu bebas, hanya saja aku adiknya, aku juga ingin diperhatikan bukan hanya diperintah seenaknya olehnya. Aku juga mencintainya, seperti aku mencintai ibu dan ayahku. Namun Daisy seperti memiliki dunianya sendiri dan lupa jika ia memiliki seorang adik yang juga ingin diberi kasih sayang. Daisy lupa bahwa aku masih ingin memiliki teman untuk berbagi canda tawa dan kesedihan. Well, aku melihat dari ujung ke ujung meja makan besar ini. Rindu akan kehangatan yang dulu terjalin ketika ayah dan ibu masih ada, dan Daisy adalah seorang wanita yang baik dulunya. Aku tersenyum kecut, lampu terlihat redup membuat suasana di sini begitu suram. Aku duduk sendiri menatap malas ke arah makan malamku, spageti buatan Rose selalu menjadi yang terenak yang pernah aku makan. Namun menjadi terasa hambar ketika mengingat disini hanya ada diriku. Tapi tiba-tiba saja, aku merasakan sesuatu. Siluet seseorang diiringi semilir angin di pintu belakang yang mengarah langsung ke taman belakang. Aku mengernyitkan kening, menaruh kembali garpuku dan beranjak menuju pintu. Sepertinya seseorang baru saja keluar dari dalam rumah. Tapi, siapa? "Rose!" Seruku seraya berkeliling di teras belakang rumah. Namun seseorang begitu cepat membekap mulutku, menarikku lalu menghimpit tubuhku kedinding. Aku terkejut, ingin berteriak namun mulutku tertutup oleh tangannya dan aku hanya bisa melototkan kedua mataku dengan wajahku yang mulai memucat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN