Heartbeat

1019 Kata
"Veronica Yeager!" Ujar pria berkacamata itu membuyarkan lamunanku, seraya mendengus kesal aku beranjak dari duduk dan menghampirinya. Profesor Rudolf lagi-lagi menyerahkan lembaran kertas itu kepadaku, yang berarti keluhan yang berulang-ulang yang harus kuserahkan kepada Daisy. Ia menatapku aneh, Profesor Rudolf memang tidak pernah menyukaiku. Karena jujur saja aku sendiri tidak menyukai bidang ini, ia selalu mengadu kepada Daisy tentangku, tentang perkembangan diriku di bidang ini dan sudah pasti dia memberiku nilai minus kepada Daisy, entah Daisy membayar pria itu berapa. Karena Daisy adalah wanita yang sangat berpengaruh di kota ini karena karir dan perusahaan mendiang ayahku yang sangat berkembang pesat. Well, dia bosnya. Wajahku berubah suram, aku tidak pernah menyukai jurusan manajemen bisnis seperti Daisy dulu. Jika saja Daisy mengijinkanku untuk memilih, aku lebih menyukai melukis dan menulis sebuah buku. Jam kuliah telah usai, aku buru-buru membereskan peralatanku ingin cepat-cepat pergi dari tempat membosankan ini. Daisy ingin aku melanjutkan usaha keluarga, perusahaan yang dirintis oleh mendiang ayahku, itu yang selalu menjadi kebanggan oleh Daisy. Menjadi contoh dan seorang panutan, anak paling penurut dan cerdas. Yah, semua itu ada di dalam diri Daisy. Tapi tidak denganku, mendiang ibuku pernah berkata meski Daisy adalah wanita paling sempurna, aku tetap gadis yang baik. Aku tersenyum seraya berjalan kaki menggenggam buku-buku di depan dadaku, Ibuku selalu memberi semangat terhadapku. Andai saja ia masih ada di sisiku, pasti dia akan membelaku memilih jurusanku sendiri, dan tidak selalu diatur oleh Daisy. Aku duduk sendiri menyeruput segelas jus jeruk yang aku beli barusan, melihat gadis-gadis lain yang berlalu-lalang. Aku tidak mempunyai seorang teman... Itu semua karena kakakku yang super protektif dan takut akan diriku yang akan tercemar dunia luar, padahal aku selalu menyimpan sesuatu di dalam otakku. Sesuatu yang setiap malam aku bayangkan, sesuatu yang membuatku penasaran dan begitu ingin mengetahuinya, seperti para gadis di seberang sana. Yang sedang bercanda tawa dengan beberapa pria di sampingnya, dengan pakaian terbuka dan sangat minim. Aku menggelengkan kepala, Daisy akan membunuhku jika aku berada dalam posisi gadis tersebut, lihat saja! Di depan pintu gerbang, seorang bodyguard telah menungguku sedari tadi dengan tampang sangarnya, membuatku harus menahan malu setiap hari. Aku sengaja duduk di sini berlama-lama, seolah-olah meresapi minumanku dalam-dalam. Menunggu semua orang pergi dan sepi barulah aku akan menuju keluar gerbang, Gerald selalu memakai pakaian formal jika menjemputku, itulah yang membuatku malu. Pernah sesekali aku menyuruhnya untuk berpakaian kasual saja, namun ia bilang itu semua adalah permintaan Daisy. Aargghhh... Kapan wanita itu tidak mengatur hidupku untuk sekali saja? Rutukku dalam hati. Beberapa menit mulai sepi, seperti biasa aku mengendap keluar seraya menenteng buku dan tas selempangku. Rambutku ku biarkan tergerai guna menutupi sebagian wajahku, hal terbodoh yang selalu aku lakukan setiap hari dan aku tahu bahwa Gerald mengetahuinya, hanya saja pria itu tak pernah berkomentar. "Miss yeager" sapanya ramah lalu membukakan pintu mobil bagian belakang, aku segera mendudukan diri dan bernafas lega. Gerald menutup pintu kembali dan menuju kursi kemudi. Gerald adalah pegawai baru yang dipekerjakan Daisy, supir lama kami yang dulu telah pensiun dan pulang kekampung halamannya. Setahuku, Gerald yang bertubuh kekar dengan rambut cepak itu adalah mantan seorang tentara. Entah mengapa pria yang umurnya berkisar 30 tahunan itu banting setir menjadi seorang supir, aku hanya pernah mendengar percakapannya dengan Daisy. Aku melihat ke arah kaca spion, ia menatapku dari sana. Membuatku mengernyitkan kening, apa selama ini ia mengawasiku terus? Pikirku dalam hati. Pria berkulit hitam itu mengalihkan perhatiannya setelah aku menatap ke arah spion dengan tajam. Jujur saja, aku tidak suka diperhatikan begitu intens oleh siapapun, kecuali seseorang yang aku sukai... Mobil berbelok menuju rumahku, bukan, itu bukanlah rumah. Namun sebuah mansion yang sangat besar dengan penjagaan ekstra ketat, siapa lagi kalau bukan atas permintaan Daisy. Mansion bergaya arsitektur lama itu adalah peninggalan orang tua kami, dengan pekarangan luas dan ada beberapa belas kamar dan ruangan yang ada di dalam mansion tersebut. Semuanya masih sama, Daisy tidak pernah sedikit pun mengubah peninggalan orang tua kami itu. Termasuk kumpulan bunga mawar yang ada dipelataran dan tamannya. Gerald membukakan pintu bagian belakang, aku turun dari mobil tak lupa berterimakasih pada pria yang katanya adalah bodyguardku itu. Aku berjalan malas ke dalam rumah, menendang kerikil yang meghalangi jalanku dengan sepatu ketsku. Hari yang bosan satu lagi telah terlewati, entah sampai kapan ini akan terus terulang. Aku memasukan kedua tanganku di dalam kantung hoodie, tapi aku memelankan langkah setelah degub jantungku terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia disana.... Baiklah, itu tidak membuatku heran karena setiap hari dia pasti akan berada di sana. Namun hari ini tidak seperti biasanya, ia berdiri mematung menatap ke arahku. Aku melirik ke kanan dan kiri tidak ada seorang pun selain diriku, sementara Gerald sedang memakirkan mobilnya di sana. Apa itu artinya ia benar-benar menatapku? Pandangannya begitu tajam, pandangannya seakan menelanjangiku saat ini juga dan membuatku salah tingkah. Lututku terasa lemas dan rasanya aku ingin cepat masuk ke dalam rumah. Oh, mengapa halaman rumah ini luas sekali? Aku ingin cepat-cepat sampai. Aku terus mengomel dalam hati, dan bodohnya Gerald menurunkanku begitu jauh tadi. Aku mencoba memalingkan wajah, namun pesona pria itu seakan membuatku tidak ingin melewatkan sedikit saja wajah tampan itu. Netra biru indah yang memabukan dipadukan dengan alis setajam elang itu terus menatapku tajam. Seolah-olah ingin menerkamku saat ini juga dan jujur saja aku terlihat seperti gadis bodoh saat ini. Ia menyipitkan kedua matanya, pandangan laparnya ketika bibir seksi itu sedikit terbuka. Shit! Mengapa hari ini jadi semakin gerah? Awalnya ia hanya berdiri di sana layaknya patung Dewa Yunani, namun aku melihatnya melangkahkan kakinya. Satu langkah.. Dua langkah... Dengan langkah besarnya, tanpa melepaskan pandangannya ke arahku. Sontak saja aku langsung berlari dan untung saja pintu rumah sudah dekat dan aku segera membukanya buru-buru. Brak! Aku menutup pintu dengan keras dan menguncinya rapat-rapat, bersandar di pintu seraya mengelus dadaku. "Hah..." aku menghela nafas, hampir saja diriku meleleh dibuatnya. Dari kejauhan seperti itu saja sudah membuatku terkena serangan jantung, dan aku belum siap untuk terlalu dekat dengannya. Pesonanya begitu kuat dan gadis sepertiku tidak akan mungkin mampu mengimbanginya. Lagipula, Daisy pasti akan mengamuk jika aku berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dari kalangan seperti itu. Tok... tok... tok... Seketika bunyi ketukan pintu dari depan membuatku terkejut setengah mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN