Chapter 4 : Adventures

1279 Kata
"Ryz! Mau ikut nggak?" teriak Amara di ambang pintu. Dia memanggil lelaki itu yang pagi ini entah di mana. Gadis itu kesal, ketika tak ada sahutan dari Ryzen. Dia berjalan menghampiri kamar Ryzen—ralat, kamarnya yang sekarang Ryzen klaim miliknya. Baru saja, tangan Amara terangkat untuk mengetuk pintu. Tiba-tiba saja kepala Ryzen menyembul dari pintu itu. Amara terlonjak, sambil mengusap dadanya. "Astagfirullah ..." "Eh, lo mau ke mana?" tanya Ryzen sambil bersandar di pintu. Dia menguap, sambil mengucek sebelah matanya. Amara yang melihat wajah bantal Ryzen merasa lucu, entah kenapa. Tapi, dia urung, ketika mengingat sikap menyebalkan Ryzen. "Ke pasar, " jawab Amara santai sambil memeriksa dompetnya. "Aku mau beli bahan masakan. Mau ikut?" "Ya ikut lah. Lo lupa, gue itu lagi mau beradaptasi di zaman purba ini," jawab Ryzen dengan senyum lebar, penuh percaya diri. Amara yang kembali melihat kepedean lelaki itu hanya mencebik. Ayolah, gadis itu sudah tahu, Ryzen terlalu percaya diri, padahal tingkahnya selalu membuat ulah dan emosi. "Ryzen," Amara menghela napas, "yakin mah ikut? Soalnya pasar itu bukan tempat yang nyaman. Ramai, sempit, bau—" "Bagus dong, berarti gue bisa belajar lebih banyak," potong Ryzen cepat. "Tunggu, gue mau siap-siap. Gak lama kok!" Terdengar bunyi brakk, ketika lelaki itu menitipkan pintu secara kasar. Amara yang melihat tingkah Ryzen itu, hanya bisa mengusap dadanya sabar. Dia harus lebih banyak menyetok kesabaran menghadapi Ryzen. Si pemuda yang tersesat di masa 2024. *** Perjalanan ke pasar dimulai dengan naik angkot. Amara duduk dengan tenang di pojok, sementara Ryzen ... ya, dia jadi pusat perhatian. Pemuda itu seperti orang yang baru melihat dunia luar. Dia memegang segala benda yang menurutnya bentuknya sangat aneh. "Gue duduk di sini aja, ya," katanya keras-keras sambil menempati kursi dekat pintu. "Wah, ini mobilnya kok sempit banget, ya? Lo yakin ini aman?" Amara mencubit lengan lelaki itu pelan. "Diam, Ryzen. Ini angkot, bukan mobil pribadi. Jangan berisik." Ryzen melirik ke sekeliling, menatap orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Hal itu membuat Ryzen merasa aneh. Di masa nya, tidak ada mobil yang isinya orang-orang harus berdesakan tempat duduk. "Eh, tapi kok nggak ada sabuk pengaman? Kalau ada tabrakan, gimana?" tanyanya, lagi-lagi terdengar agak keras. Amara yang di sampingnya mendesah pelan. "Ryzen, tolong, jangan bikin orang mikir kamu alien," bisik Amara, setengah mati menahan malu. Ryzen mengerutkan kening, melirik Amara dn shan tampang menyebalkan nya. "Eh, gue justru lagi blending in. Liat nih, gue bayar pake uang kertas!" Dia mengeluarkan uang receh dengan bangga, lalu menyerahkannya ke sopir sambil berkata, "Pak, ini uangnya. Tapi serius, nggak ada sistem p********n digital?" Sopir angkot hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Wah kalo untuk p********n digital mah belum ada, Dek. InsyaAllah nanti saya coba. Nanti kalau makin banyak yang pakai, siapa tahu bisa ya. Sekarang, kita tetep setia sama uang receh dulu."jawab sopir angkot dengan ramah. Sementara Amara yangmendengarnya, rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya ke dalam tas belanja. "Lo tau nggak, Amara," lanjut Ryzen tanpa henti, "di masa depan, transportasi kayak gini udah diganti sama pod otomatis. Nggak ada macet, nggak ada bau bensin. Semua orang happy! Gak ada yang namanya harus duduk berdesakan di kendaraan!" Amara menutup wajahnya dengan tangan. Sudah, ketua sudah malu dengan tingkah Ryzen ini. "Ryzen ... please, jangan ngomongin masa depan di angkot." Ryzen tertawa kecil. Wajah tampannya itu tak pernah merasa bersalah ketika berbuat sesuatu. Dan hal itu, semakin saja Amara yang melihatnya sebal. "Santai aja lah, Ra. Lagian, mereka nggak bakal percaya kok." jawab nya santai. Kini, Amara tak menggubris nya. Bisa-bisa dia kehabisan energi menghadapi si Ryzen-Ryzen ini. *** Satu kata untuk hari ini. Amara menyesal mengajak Ryzen pergi ke pasar. Sudah tahu, pemuda itu akan berbicara banyak tentang hal aneh yang ia akan lihat nanti. Begitu sampai di pasar, kekacauan Ryzen berlanjut. Dia berjalan di belakang Amara, matanya berbinar-binar melihat berbagai lapak yang penuh warna. "Ini rame banget, ya! Kayak festival. Tapi ... Kok bau banget sih! Lo yakin ini normal?" tanya Ryzen, sembari menutup hidungnya rapat-rapat. Amara menarik napas panjang. Sudah ia duga, ucapan itu akan terlontar dari bibir sangat Ryzen. "Pasar memang begini, Ryzen. Kamu harus terbiasa." Ryzen menunjuk lapak ikan dengan ekspresi jijik. "Itu ikan beneran? Kok nggak ada hologramnya? Di masa depan, kita cetak ikan buat dekorasi rumah, nggak ada yang amis-amis gini." Pedagang ikan yang mendengar itu melotot. Wajahnya sudah terlihat galak, setelah mendengar. Ia menatap Ryzen tajam. "Eh, bocah, zaman sekarang teknologi udah canggih, ya. Tapi masih aja ngeluh soal ikan beneran. Mau beli nggak? Kalau nggak, jangan banyak ngomong. Lagian, sekarang kan udah bisa buat ikan pake mesin, loh! Gimana, mau coba?" "Ryzen, jalan," Amara menyeretnya sebelum pedagang ikan melemparnya dengan sepotong cumi. Ketika mereka sampai di lapak sayur. Ryzen melihat Amara yang memilih beberapa wortel, tomat, dan bahan lainnya. Mulutnya seakan gatal ingin berkomentar lagi. Apalagi melihat tanaman aneh berbentuk mulai belajar transaksi. "Jadi, lo kasih uang, terus dapet daun-daun ini?" tanya Ryzen dengan heran sambil menunjuk bayam. "Iya, ini namanya belanja," jawab Amara sabar. Ryzen mendekat ke si penjual sayur, mencoba tampak serius. "Bu, bayam ini mengandung zat apa? Apa nutrisinya setara sama kapsul protein di masa depan?" Penjual sayur tertawa kecil. "Yang penting sehat, Dek." Ryzen mengangguk puas. "Oke, gue ambil dua ikat. Bayar pake QR code bisa, Bu?" Amara langsung menariknya menjauh. "Ryzen, jangan bikin malu!" --- Perjalanan pulang menjadi momen menenangkan bagi Amara, tapi bagi Ryzen, itu adalah pengalaman penuh keseruan. "Pasar itu keren, Ma! Gue nggak nyangka manusia zaman ini bisa bertahan tanpa teknologi canggih." Amara menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Kamu itu kayak bayi besar, Ryzen. Tapi terima kasih sudah ikut. Aku jadi nggak sendirian." "Yah, itu tugas gue, kan? Menemani lo sambil belajar gimana hidup di sini." Ryzen menyeringai. "Tapi ngomong-ngomong, kapan kita balik lagi ke pasar? Gue harus coba makanan pasar yang lo bilang enak itu." Oh iya, tadi aku bikin part langsung masuk ke pasar! Yuk, revisi dikit biar ada scene naik angkotnya dulu. --- Amara menarik lengan Ryzen, memaksanya ikut. "Kita naik angkot, ayo!" "Naik apaan?" Ryzen memandang kendaraan kuning oranye itu dengan ngeri. "Itu gerobak besi beroda?" "Itu angkot. Kendaraan umum," jawab Amara sambil menahan tawa melihat ekspresi jijik Ryzen. Saat mereka naik, Ryzen langsung bingung harus duduk di mana. "Kenapa nggak ada sabuk pengaman, Ra? Ini aman nggak sih? Kalo nanti goyang-goyang terus gue mental gimana?" Amara menepuk dahinya. "Duduk aja! Pegangan kalau takut mental." Ryzen akhirnya duduk dengan kaku di samping ibu-ibu yang membawa tas belanjaan besar. "Permisi, Bu. Ini angkutan aman, kan? Nggak bakal... meledak, kan?" tanyanya polos. Ibu-ibu itu melirik Ryzen dengan bingung. "Nggak, Nak... Meledak apaan? Ini angkot, bukan bom." Amara menahan tawa, sementara Ryzen malah makin panik saat angkot mulai bergerak. Dia mendadak berpegangan erat pada besi di atas kepala. "Ra, kok ini goyang-goyang? Mesin ini kayak mau bubar jalan!" "Ryzen, santai! Ini cuma jalanan yang berlubang." Ryzen menatap lantai angkot. "Kenapa nggak terbang aja sih kayak kendaraan di masa gue? Ini nggak efisien banget!" Ibu-ibu yang mendengar langsung tertawa. "Anak muda ini lucu banget ya, Nak. Tinggal di mana kamu?" "Ah, gue dari masa depan, Bu," jawabnya, serius. Amara langsung mencubit lengan Ryzen. "Ryzen, diam!" "Aduh, kenapa sih? Gue cuma jujur!" balasnya kesal. "Eh, Ra, itu apa?" Ia menunjuk ke arah sopir yang sedang memutar lagu dangdut keras-keras. "Itu musik," jawab Amara. "Tapi ini... Ini bukan musik. Ini suara yang bikin telinga gue... gimana ya, mau copot gitu," katanya sambil menutup kuping. Amara hanya bisa menggeleng. "Ryzen, kalau kamu terus komentar kayak gini, mending nggak usah ikut!" "Yaelah, gue cuma heran, Ra. Ini pertama kali gue naik kendaraan tanpa gravitasi stabil." Amara hanya bisa pasrah sambil berharap perjalanan cepat selesai. Di belakangnya, ibu-ibu tadi masih tertawa kecil sambil menatap Ryzen seolah ia spesies alien.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN