eight: kembali ke Jakarta

2803 Kata
Seminggu sudah berlalu dari pertemuan yang diadakan oleh dua keluarga yang niatnya ingin mengenalkan anak mereka masing-masing yaitu Satya dan Marsha. Mereka berdua yang dikenalkan sepakat untuk membiarkan ini seperti air yang mengalir saja dan tidak ingin memaksakan apapun. Bagi Satya, pertemuan itu hanya perkenalan biasa dengan dibumbui tujuan tertentu. Selain dia merasa takjub karena melihat interaksi Marsha dengan anaknya, Satya tidak merasakan apa pun. Dan dia pun merasa Marsha masih menjaga jarak entah karena apa. Mereka berdua sudah saling bertukar nomor ponsel untuk bisa saling menghubungi, namun tidak ada tanda-tanda di antara keduanya memulai semua itu. Marsha juga sudah kembali ke Bali dan memulai rutinitasnya. Kesibukannya benar-benar menyita waktu kali ini. Waktu berlalu dari pertemuannya dan Satya. Namun dia tidak benar-benar peduli dengan hal itu, karena sampai saat ini dia masih belum bisa membagi hatinya pada siapapun. Dia masih menunggu orang yang sudah memiliki hatinya sejak lama namun menunggu memang tidak selalu mendapatkan kepastian yang jelas. Hatinya terombang-ambing. *** Di daerah Seminyak, Jane menemani fotografer yang sedang mengambil gambar pre-wedding sepasang calon pengantin. Dia yang mewakili Marsha WO untuk menemani mereka di acara ini sampai selesai. Namun sejak tadi dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Ada hal yang menyita pikirannya sejak Marsha memberinya mandat untuk mengambil alih kantor cabang Marsha WO. Dia senang mendapatkan mandat itu, tapi tidak untuk kantor cabang di kota yang memberinya mimpi buruk. Jakarta, cabang ke 4 Marsha WO akan selesai dibangun. Peresmian sudah direncanakan dalam waktu dekat ini. Marsha sebagai pemilik kemarin mengumpulkan semua karyawan dan mengumumkan kabar itu. Dan Jane sangat terkejut ketika Marsha menunjuknya menjadi salah satu orang kepercayaannya mengurus kantor cabang tersebut. "Kenapa harus saya, mbak?" tanya Jane setelah semua orang keluar dari ruang rapat dan tinggal mereka berdua disana. Marsha tersenyum," karena aku percaya kamu mampu, Jane. Apa ada masalah?" Jane meringis. Ya, dia punya masalah. Tapi dia enggan membaginya. Itu bukan cerita yang patut diceritakan pada orang lain. "Aku udah liat kinerjamu selama ini, Jane.. Devi juga menyarankan kalo Kamu aja yang mengurus kantor cabang. Kamu tahu sendiri Devi sedang hamil dan jelas dia nggak akan bisa ngurusnya. Sekarang aja aku lebih banyak minta bantuan sama kamu," jelas Marsha, mencoba membujuk Jane. "Tapi...." "Tapi apa, Jane?" "Aku ini cuma karyawan yang bisanya mengurus bagian HRD, Mbak... dan mendapat mandat seperti ini jelas bukan bidangnya," ujar Jane. Marsha tertawa karena Jane yang tidak mempercayai kompetensi yang ada pada dirinya sendiri. "Ya ampun, Jane.. Kamu bahkan selalu kasih masukan-masukan positif dan kritik kalo aku salah.. Kamu selalu tanggap, cakap dan tegas. Hal itu yang aku lihat dari kamu dan akhirnya aku percaya bahwa kamu bisa mengurus kantor cabang wedding organizer kita," tutur Marsha lalu ia mengusap lengan Jane lagi. "Ini kesempatan besar buat kamu bisa berkembang lebih baik lagi. Dan aku berharap Kamu menerimanya, Jane." Percakapannya dengan Marsha masih terngiang di benak Jane. Jakarta, jika dia menerima tawaran itu, maka dia akan kembali ke kota dengan kenangan yang kurang baik untuknya. Tomy dan Satya, dia bisa saja bertemu dua orang itu disana. Jakarta memang besar, tapi kebetulan bisa saja terjadi kapan saja. Dan dia sudah berencana menghindari kedua orang itu disepanjang sisa hidupnya. "Ada apa, Jane?" Jane tersentak dari lamunannya ketika bahunya ditepuk. Dia menoleh dan mendapati Aryo, si fotografer yang merupakan partner bisnis Marsha WO untuk pre-wedding. Jane juga melihat jika kru lain dan juga calon pengantinnya sudah tidak ada di lokasi, mereka sudah berjalan cukup jauh di depan. "Udah selesai?" tanya Jane, dia masih bingung. "Elo ngelamun aja dari tadi sih, maunya sih gue tinggal... tapi entar calon ibu dari anak-anak gue ini kenapa-napa," jawab Aryo bercanda. Satu cubitan keras membuat Aryo memegangi pinggangnya sambil merintih kesakitan. "Asem! Sadis banget sih Jane!" "Makanya jangan ngawur!" Jane pun meninggalkan Aryo yang tertawa karena membuat Jane kesal. Pria ini kemudian tersenyum melihat Jane yang berjalan di depannya. Aryo adalah salah satu pria yang jatuh hati pada Jane. Dia sudah bekerjasama bersama wanita itu 1 tahun ini, dan frekuensi pertemuan mereka karena pekerjaan membuat benih-benih rasa suka itu tumbuh. Aryo sudah mendekati Jane dan mengeluarkan semua kode bahwa pria itu menaruh hati pada Jane, namun Jane masih kukuh untuk tidak menanggapi semua itu. Dia tahu soal keberadaan Panji, anak Jane. Mereka sudah pernah bertemu, dan entah kenapa dia juga jatuh hati pada bocah balita itu. Tapi sepertinya hati Jane memang belum bisa diluluhkan. *** Hari Sabtu, beberapa hari setelah Marsha memberitahu Jane soal cabang baru Marsha WO, kini Jane sedang berada di Jakarta. Bukan, dia belum memutuskan apakah akan menerima tawaran Marsha atau tidak. Dia saat ini sedang mengikuti Marsha meninjau pembangunan kantor yang sudah mencapai tahap akhir, dan Marsha menggunakan kesempatan ini pula untuk membujuk Jane untuk mempertimbangkan matang-matang tawarannya. Dia membawa serta Panji ke Jakarta. Karena mamanya harus mengurus restaurant masakan Bali beberapa waktu ini hingga sedikit sibuk. Dan Jane memutuskan membawa putra kecilnya itu, karena kali ini dia ke luar kota bukan untuk bekerja, hanya meninjau. setelah itu Marsha bilang Jane bisa memanfaatkan waktu luangnya. "Bagaimana?" Marsha tiba-tiba saja sudah di samping Jane yang sedang melihat-lihat ruangan, tempat yang masih belum selesai ditata dan didekorasi. Digendongannya ada Panji yang sedang bermain dengan sebuah maninan berbentuk paha ayam untuk merangsang pertumbuhan giginya. "Belum tahu, Mbak.. tapi sepertinya cabang jakarta ini lebih luas dan bagus." Marsha terkekeh. Dia mengambil alih Panji dari gendongan Jane dan mendapatkan tawa dari bocah kecil itu. "Panji aja suka di sini 'kan sayang? Dari tadi nggak rewel lho dia, Jane," kata Marsha. Dia lalu menatap Jane. "Aku memang mempersiapkan cabang ini untuk bisa mengenalkan Marsha WO lebih luas, karena Jakarta itu tempat semua suku, ras, dan budaya berkumpul seperti Bali. Tapi aku gedein karena ini ibukota negara, aku harus memberi sesuatu yang spesial." Marsha lalu mengecupi pipi tembam Panji, membuat bocah itu bergerak-gerak karena geli. Jane yang melihat interaksi antara Marsha dan Panji ikut senang. Panji memang tidak mudah dekat dengan orang asing, namun bocah itu selalu tahu yang mana wanita cantik. Boys will be boys. "Tapi, Mbak.. aku masih belum bisa dilepas mengurus semua ini di tempat yang menurut mbak Marsha spesial," ujar Jane. Marsha menaikkan sebelah alisnya mendengar kalimat Jane. "Jadi kamu menerima tawaranku?" Jane meringis, dia bahkan masih sangat gamang. "Nggak tahu, Mbak.. aku juga belum bilang ini sama mama." Marsha manggut-manggut. "Oke lah... aku tunggu sampai kamu bisa menerima tawaranku, Jane.. tapi jangan lama-lama, karena kantor cabang ini akan segera diresmikan dan beroprasi." Marsha mengerling pada Jane dan kembali bermain dengan Panji. Dia membawa bocah itu keluar dari gedung kantor cabang Marsha WO Jakarta. Jane menunduk dan mengusap pelipisnya, lalu juga memijat pangkal hidungnya. Kemudian dia merasakan getaran dari saku celana jeansnya dan melihat nama Sandra, sahabatnya, terpampang di layar ponsel. "Halo, San?" "Masih lama? Gue OTW GI nih." Jane melihat jam di tangannya. Waktu menunjukkan pukul 12.15. "Ini udah selese kok. Gue OTW juga." "Oke sip! Tolong bawa ponakan tercinta gue dengan hati-hati ya...." "Ponakan lo itu anak gue ya!" Jane memang mengabari Sandra ketika dia akan ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Sandra yang masih betah menjadi perantauan di Jakarta itu bilang ingin bertemu dan sudah merencanakan cuti setengah hari demi bisa bertemu Panji. Iya, Panji! Sandra beberapa bulan sekali berlibur ke Bali. Selain juga kerena urusan perusahaan, mereka menjadi masih sesekali bertemu. Lagi pula Bali-Jakarta itu sangat dekat ditempuh dengan pesawat. Dan Sandra tentu tahu soal Panji, dia menjadi yang paling cerewet di masa kehamilan Jane waktu itu. Lalu Sandra juga ikut melihat persalinan Jane dan menjadi saksi bagaimana perjuangan Jane melahirkan Panji. Maka dari itu Sandra sangat menyayangi anaknya. Mereka janjian bertemu di Grand Indonesia untuk makan siang lalu mereka akan jalan-jalan. Jane sudah memesan taksi online setelah berpamitan pada Marsha bahwa dia akan bertemu dengan sahabatnya. Marsha mengerti itu karena dia sendiri juga memiliki sedikit urusan di Jakarta, yang Jane tebak itu adalah urusan perjodohan Marsha. Dia jadi penasaran dengan pria yang dijodohkan dengan bosnya itu. Apa duda itu tampan? kaya? Tiba di Grand Indonesia, Jane mendorong stroler dimana Panji di dalamnya dan sedang meminum susunya. Dia berjalan menuju sebuah restaurant yang menyajikan menu Jepang. Saat masuk ke dalam restaurant itu, dia langsung menemukan keberadaan Sandra yang tengah melambaikan tangan dengan heboh dan langsung menhampirinya. menghampiri Panji lebih tepatnya, karena langsung menggantikannya mendorong stroler Panji. "Uluh..uluh... ponakan ante Sandra udah besar.. udah mau punya gigi banyak!" seru Sandra Heboh, mengajak bicara Panji yang hanya tertawa-tawa sambil memainkan mainan yang bisa digigit. "Iya, ante.. gigi belakang tumbuh jadi Panji atit kemalin." Dan Jane yang menjawab pertanyaan Sandra dengan nada lucu. Dengan gemas Sandra mencubit pipi Panji yang kini sudah duduk di atas meja, dimana meja itu sudah di pesan oleh Sandra menjadi tempat makan mereka bertiga. Panji sudah menepuk-nepuk meja dengan heboh dan memainkan sumpit yang ada disana, membuat Sandra dan Jane terhidur. "Aku tuh khawatir banget tahu, Jane.. denger Panji sakit.. rasanya pen langsung ke Bali aja gitu kalo nggak ada kerjaan dari manajer semprul!" curhat Sandra. Jane terkekeh, dia memang mengabari Sandra soal Panji yang sakit. Karena Sandra memang se protektif itu pada anaknya. Dia bilang jika boleh Panji menjadi anaknya saja jadi Sandra tak perlu menikah, yang langsung mendapat toyoran di kepalanya oleh Jane. "Manajer Lo itu ganteng tahu.. meskipun galak," timpal Jane. "Mata Lo kudu diperiksa lagi kayaknya," cibir Sandra. "Dia itu udah galak, suka banget nyuruh gue lembur, suka banget nyuruh mendadak, ya kali gue robot yang spesifikasinya kek tokoh robot drama Korea yang mirip manusia gitu yang bisa langsung gercep!" Jane tertawa mendengar keluhan Sandra, manajer Sandra memang demikian. Sudah beberapa kali juga Sandra ingin resign, tapi di tolak oleh manajernya itu. Sedangkan kemudian Sandra yang memang mata duitan, terima saja ketika gajinya dinaikan dan tidak jadi resign. "Udah lah! Jangan bahas dia lagi. Enek gue!" Mereka pun mulai makan, Jane memesan Sushi dengan ikan tuna dan Sandra memesan ramen yang terkenal enak di restaurant ini. Lalu Panji menikmati ice creamnya dengan tangan yang belepotan. Di sela makan mereka tetap mengobrol sembari memperhatikan Panji yang duduk di atas meja. Walaupun sudah ada kursi tinggi untuk bayi, tapi anak itu tidak mau. Setelah selesai makan, mereka berencana menuju time zone dan berbelanja. Namun ketika mereka keluar dari restaurant, jane dikejutkan oleh tepukan di bahunya oleh seseorang. "Ah.. ini benar kamu," kata seorang pria dengan setelan jas warna navi dengan dasi merah maroon corak kuning emas. Pria itu tampan, khas CEO muda dengan tampilan bersih dan rapi yang membuat Sandra berkali-kali menyikut pinggang Jane. Dia berbisik bahwa pria di hadapan mereka ini tampan paripurna. "Emm.. anda kenal saya?" tanya Jane ketika dia selesai mengamati pria di hadapannya ini. Dan dia tidak menemukan apapun di ingatannya. "Ah.. maaf.. Kamu pasti tidak ingat saya." Pria itu kemudian mengulurkan tangannya. "Perkenalkan saya Denis Panca Adi, putra dari seorang dokter obgyn yang pernah menyatakan kalau kamu tidak bisa memiliki.. keturunan...." Di kalimat terakhir Denis tampak tidak enak menyampaikannya. Kemudian Jane langsung mengingat tentang seorang dokter perempuan bernama dokter Anaya, yang memeriksa Jane soal dirinya yang tidak bisa mengandung. Dokter itu sudah paruh baya, tapi dia tidak ingat soal Denis yang berkata bahwa pria itu adalah putra dari dokter Anaya. "Oh.. dokter Anaya, maksudnya?" tanya Jane memastikan. Pria itu mengangguk membenarkan. "Benar, dan saya ingin menyampaikan sesuatu yang sudah sejak 2 tahun lalu ingin disampaikan oleh ibu saya, tapi beliau harus kembali ke pangkuan Tuhan sebelum sempat menyampaikan hal itu padamu." "Dokter Anaya sudah berpulang?" sahut Jane terkejut. Denis, pria yang berdiri di depan Jane kembali mengangguk. " Karena sakit malaria saat beliau betugas di daerah pelosok 1 setengah tahun lalu," jelas Denis. "Maaf saya tidak tahu...." "Bukan salahmu. Tapi.. apa kamu punya waktu sebentar? ada hal penting yang ingin saya sampaikan sebagai amanat dari ibu saya sebelum beliau berpulang," tanya Denis. Jane menoleh pada Sandra, dan sahabatnya itu langsung mengerti dan mengakatan akan membawa Panji ikut serta bersamanya menuju timezone dan menyuruh Jane menikmati waktunya dan menggoda Jane untuk melakukan pendekatan dengan Denis yang langsung mendapat cubitan di lengannya oleh Jane. Kini Jane dan Denis sudah berada di restaurant yang baru saja menjadi tempat Jane makan bersama Sandra dan Panji. Mereka duduk berhadapan dengan secangkir teh di hadapan masing-masing. "Jadi.. apa yang ingin kamu sampaikan?" Jane bersuara lebih dahulu dengan merasa canggung karena Denis yang sejak tadi tidak berkedip menatapnya. "Oh.. maaf.. sebentar, aku harus mengunduh apa yang ingin aku sampaikan di google drive." Denis yang sejak tadi menatap Jane akhirnya tersadar dan segera mengambil ponselnya dan menggerakan jarinya dengan lincah di atas layar ponselnya. Tidak ada 3 menit, Denis kemudian menunjukkan ponselnya ke hadapan Jane. "Apa ini?" tanya Jane bingung. "Bacalah," kata Denis, dia tersenyum melihat Jane. Jane pun menuruti apa kata Denis, dia membaca apa yang ada di layar ponsel Denis dengan teliti. Lalu Jane begitu terkejut ketika belum membaca keseluruhan, tapi dia tahu apa isi dari sesuatu yang ditunjukkan Denis padanya. Sebuah surat yang di scan, surat keterangan hasil pemeriksaannya saat dia memeriksakan kondisi rahimnya. "Ini...." Jane menatap Denis dan kembali membaca surat tesebut. Dan dia kembali dikejutkan ketika hasil dari pemeriksaan itu berbeda dengan hasil pemeriksaan yang pernah diterimanya 5 tahun lalu. sangat berbeda. Di sana dikatakan bahwa dia sangat subur dengan kondisi rahim yang baik. Dan di bagian akhir surat tersebut, susuran huruf bercetak tebal menunjukkan hasil yang tak pernah Jane kira. "Sa-saya.. tidak mandul?" Jane menatap Denis dengan rasa tidak percaya yang masih menguasainya. Denis menerbitkan senyumnya, dia sudah menduga reaksi inilah yang akan dilihatnya begitu dia menunjukkan hasil pemeriksaan yang berbeda pada Jane. "Iya, kamu memang tidak mandul selama ini, Jane. Surat pemeriksaan yang menyatakan bahwa kamu mandul itu milik orang lain, yang dalam artian data pemeriksaan kalian tertukar," jelas Denis. Jane masih diam dengan mata yang berpindah-pindah antara menatap Denis yang sedang berbicara padanya dan layar ponsel pria itu yang masih menunjukkan bahwa selama ini dia memang tidak mandul, disa sehat dan siap dibuahi. Panji adalah hasil dari pembuahan itu. "Seorang perawat tidak sengaja menempelkan label namamu dengan nama orang lain pada hasil pemeriksaan. Dia meminta maaf karena itu dan sudah membuat kekacauan, karena perempuan yang memeriksakan diri di waktu yang sama denganmu datang ke rumah sakit kami dengan membawa surat pemeriksaan lain, yang menunjukkan bahwa dia tidak bisa memiliki keturunan. Akhirnya ibu saya melakukan pengecekan ulang dan mendapati bahwa sepertinya datamu terturkar dengan perempuan itu," sambung Denis panjang lebar. Denis pun mengamati reaksi dari penjelasannya yang panjang pada Jane. Dan dia melihat Jane masih diam dan menundukkan kepalanya. Ponselnya sudah ditaruh oleh Jane di atas meja. "Dan ibu saya meminta maaf atas kecerobohan dan keteledoran perawat yang membantunya.. karena pasti kamu kesulitan menjalani hari-harimu dengan hasil pemeriksaan yang ternyata salah. Beliau ingin sekali bertemu langsung denganmu dan menyampaikan hal itu langsung.. tapi beliau tidak pernah tahu di mana kamu tinggal karena kamu ternyata sudah tidak di Jakarta," tutur Denis. Jane mengusap air mata yang turun dari kelopak matanya. Apa yang baru saja didengar olehnya tentu membuat dia terkejut sekaligus juga lega. Lega karena akhirnya dia bisa menemukan jawaban kenapa dia bisa hamil Panji padahal dirinya dinyatakan mandul, dan selama dia berhubungan badan dengan Tomy pun dia tidak pernah hamil. Atau jangan-jangan Tomy itu— Jane segera menepis dugaan tersebut dan fokus dengan penjelasan Denis. "Jadi.. aku memang benar-benar tidak mandul?" Meskipun dia sudah membaca sendiri dan Denis pun sudah mengatakan bahwa dia tidak mandul, Jane masih belum mempercayainya. Di hatinya saat ini sudah banyak bunga-bunga bermekaran serta pesta kembang api karena lega tapi juga senang. Dan Denis terkekeh karena Jane yang sepertinya masih dalam uforia ketika percayaan dari berita baik yang dibawanya. "Kamu bisa membuktikannya jika sudah menikah dengan seseorang." Jane meringis, tanpa menikah pun Jane sudah dari 3 tahun lalu membuktikannya lebih dulu dan menghasilkan malaikat lucunya, Panji. "Hahaha.. iya benar...." Jane terdiam sejenak. "Tapi bagaimana kamu bisa mengenaliku? Ini sudah lama sekali sejak aku bertemu dengan dokter Anaya." Denis akhirnya tersenyum lebar ketika Jane membahas soal dirinya yang bisa mengenali wanita cantik di hadapannya ini. "Mungkin kamu lupa.. tapi kita pernah bertemu di depan ruangan ibuku ketika Kamu sedang menunggu antrean dan saya yang juga ingin bertemu dengan ibu saya.. kita sempat berkenalan waktu itu." Jane mengerutkan alisnya. Benarkah? Dia sepertinya sudah lupa. "Hahaha.. Kamu pasti lupa.. saat giliran saya akan menemui ibu, Kamu keluar dengan wajah yang kalut, sepertinya saat itu Kamu baru saja mengetahui hasil pemeriksaannya," jelas Denis memberi clue lagi. "Ah.. sepertinya iya.. karena saat itu saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana." "Maafkan ibu saya karena ikut memberi hasil yang salah padamu," sesal Denis. "Tidak.. itu bukan salahnya.. saya bisa memaklumi itu...," bantah Jane. "Tapi setelah sekian lama Kamu masih mengenali saya?" Sadar Jane, 5 tahun berlalu dan pria di hadapannya ini masih mengingatnya. Padahal sudah banyak hal yang berubah dari dirinya. "Karena wanita yang saat itu duduk dengan cemas, tapi masih bisa membalas sapaan saya dengan senyum manisnya.. tak disangka mampu membuatku jatuh hati pada pandangan pertama, dan tertarik ingin mengenalnya lebih jauh." . . ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN