Reya bangkit dari ranjang. Tubuhnya membelakangi Daffa yang tertidur pulas malam ini. Tangis yang sedari tadi siang ditahannya pecah sudah. Reya mengigit bibir bawahnya guna menahan isakan yang keluar.
Tadi siang ia berkunjung ke rumah Bunda mertuanya, lalu menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hatinya. Astagfirullah. Reya beristigfar dalam hati. Ia sakit ketika pikirannya melayang kemana-mana saat ini. Di benaknya terdapat dugaan-dugaan yang membuat tangisnya semakin pecah.
"Sayang?"
Tanpa berniat menghapus air matanya, Reya bergeming ketika Daffa memanggilnya dan memeluknya dari belakang. "Ko nangis?" Reya diam. Tapi tangisnya semakin kencang. Membuat Daffa panik.
Laki-laki itu turun dari ranjang, lalu memutarinya untuk bersitatap dengan istrinya yang menghadap jendela kaca besar. Daffa menatap Reya yang hanya menunduk dalam tangisnya.
"Hei bunda kenapa? Sini cerita ke ayah!" Bujuk Daffa.
Reya memberanikan dirinya menatap Daffa. Tatapanya sangat tajam sampai-sampai Daffa mengerjapkan mata, takut kalau-kalau tatapan Reya menusuknya.
"Aku nggak nyangka sama kamu. Kamu selalu bilang cinta ke aku, tapi nyatanya enggak!"
Daffa melebarkan pupil matanya. Tatapannya berubah menjadi khawatir kala Reya semakin menangis setelah mengucapkan kalimat itu. "Sayang maksudnya apa?"
"Jangan panggil aku sayang!" Daffa menggenggam tangan Reya. Reya membiarkan Daffa menggenggam tangannya. "Kamu harusnya sadar! Kamu itu udah punya anak empat! Tapi kenapa kamu belum juga bisa mencintai aku?! Kurangnya aku apa sih A?"
"Bunda! Bunda! Tenang dulu, ya. Coba cerita ke aku ada apaa?" Daffa duduk mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Reya. Ia menatap Reya yang sedari tadi berbicara ngelantur.
Beberapa saat Reya diam. Ia menarik napas. Mencoba mencari pasokan oksigen di kamar itu. "Kamu masih mencintai Caca kan?"
Pertanyaan telak reya benar-benar membuat Daffa menahan tawa. Apa katanya? Cinta? Bagaimana mungkin Daffa masih mencintai Caca disaat Reya sudah memberi jiwa dan raga kepadanya?
"Nggak sayang. Kamu ngomong apa sih hm? Bisa menyimpulkan itu dari manaa?"
"Kamu nggak usah bohong! Aku liat dirumah bunda ada tempat yang kata bunda orang-orang rumah ngga tau tempat itu tempat apa! Itu pasti tempat pribadi kamu yang isinya Caca kan?!" Desak Reya. Ia menunjuk d**a Daffa sebagai pelampiasan emosinya. Sedangkan Daffa tercengang. Bagaimana mungkin reya mengetahui perihal tempat itu?
Daffa menarik napas. Sudah saatnya reya mengetahui hal ini kah?
"Re dengerin Aa du—"
"Nggak mau! Aa jahat! Apa arti aku sama anak-anak kalo selama ini Aa masih cinta sama cewek itu?!"
"Sayang please ini—"
"Aku bilang ngga mau A!"
Tangis Reya semakin pecah. Ia memukul-mukul d**a Daffa. Daffa diam. Tangannya merengkuh tubuh Reya. Ia memejamkan matanya. Malam ini ia harus memberi tahu Reya. Tidak peduli akan jadi apa dirinya nanti.
Laki-laki itu melepas pelukannya. Lantas ke arah lemari dan menggaet denim untuk dipakaikan ke tubuh Reya yang hanya memakai daster lengan pendek.
"Udah jangan nangis ya. Oke aku bakalan jujur. Aku bakalan jelasin semuanya ke kamu. Tapi aku mohon, jangan nangis," Daffa menjalankan ibu jarinya untuk mengusap air mata Reya. Reya diam, hatinya ketar-ketir takut kalau-kalau dugaannya benar.
Reya diam ketika Daffa memakaikan denim itu ke tubuhnya. Daffa mengambil dompet, handphone dan kunci mobil di atas nakas. Ia menggandeng tangan reya untuk keluar kamar setelah ia berganti pakaian dengan jeans pendek serta kaus merah.
"Kamu mau bawa aku kemana?"
Daffa menoleh menatap Reya, ia tersenyum lantas mengusap rambut Reya. "Kita kerumah bunda. Aku harus jelasin itu ke kamu."
***