Bab 1. Pernikahan Adnan

1002 Kata
Safira menatap mempelai yang tengah berbahagia di pelaminan. Pandangannya masih menatap sendu. Melihat Adnan yang terlihat begitu bahagia, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang penuh luka. "Fir?" Melia menepuk bahu putrinya yang sejak tadi terus menatap ke arah pelaminan di mana pengantin berada. "Ya, Bu?" Safira pun menoleh ketika lamunannya buyar oleh suara perempuan itu. "Souvenirnya hampir habis. Bisa kamu pergi untuk mengambilnya di toko?" pinta sang ibu padanya. "Memangnya tidak bisa minta diantar saja, Bu? Aku tuh lagi ma–" "Orang toko sedang sibuk. Jadi, mereka minta ada yang mengambil ke sana. Dari tadi ibu lihat kamu hanya diam saja di sini. Jadi, tolong ambilkan, ya! Hanya sebentar." Safira masih terdiam, tetap menatap ke pelaminan di mana Adnan berada. "Fir, ayo jalan sekarang! Souvenirnya udah tinggal sedikit, sebaiknya kamu cepat pergi sebelum semuanya benar-benar habis! Nanti kalau sampai kehabisan tante Hana bisa malu," ujar Melia lagi saat mendapati Safira tidak merespon ucapannya. Safira mendengus keras, tetapi tak ada yang bisa dia lakukan selain menuruti perkataan sang ibu. "Ya udah Fira jalan dulu, ya, Bu." Gadis itu pun merogoh kunci motornya di dalam tas, kemudian bergegas keluar dari area di mana pesta pernikahan berlangsung. Setibanya di parkiran, Safira bergegas menaiki sepeda motornya dan langsung memacu kecepatannya dalam keadaan gusar. Perasaannya tentu saja porak-poranda, bukan hanya sejak dimulai acara tersebut, tetapi beberapa bulan sebelumnya saat dia mengetahui jika pernikahan itu akan terjadi. Bagaimana tidak, dia dan Adnan telah menjalin kasih sejak dua tahun lalu dan keduanya telah berjanji untuk tetap bersama, tetapi pada kenyataannya, Adnan malah meninggalkannya. Tiga bulan yang lalu Adnan bercerita jika kedua orang tuanya mengutarakan niat untuk menjodohkannya dengan seorang gadis – putri sahabat mereka. Yakni, Khalisa seorang perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. "Bagaimana dengan hubungan kita? Apa Abang tidak bisa menolak perjodohan itu?" Adnan masih terdiam. Raut wajahnya memperlihatkan kesedihan dan itu jelas terlihat di mata Safira. "Terus apa Abang mau kita putus aja?" Air mata yang sejak tadi ditahan Safira pun akhirnya luruh. Rasanya begitu sakit. Membayangkan jika hubungan mereka pada akhirnya harus kalah oleh keadaan. "Percayalah, Fir. Perasaan cinta Abang tidak sesederhana yang kamu kira, tapi permintaan orang tua tidak bisa diabaikan. Mereka melakukan segala hal untuk Abang hingga ada di titik ini. Jadi, tidak mungkin Abang menolak permintaan mereka." Pria 24 tahun itu mengusap pucuk kepala Safira dengan lembut sebelum melanjutkan ucapannya, "Jadilah anak yang baik. Selesaikan kuliahmu dan banggakan orang tuamu. Abang yakin kamu pasti bisa." Safira tak mengucapkan apa pun selain terisak. Namun, tangisannya menjadi lebih kencang ketika pria itu menariknya dalam pelukan. "Maafkan Abang, Fir. Abang sudah berusaha, tapi Abang nggak bisa berbuat lebih untuk hubungan kita. Semoga kamu mengerti." Adnan menyentuh punggungnya yang bergetar. Safira mengusap sudut matanya yang basah. Dia memacu kendaraan roda duanya hingga dalam waktu sepuluh menit saja, gadis itu sudah tiba di sebuah toko khusus bertema pernikahan yang menjadi langganan ibunya setiap kali ada pesanan. "Ini sudah semua?" Safira memastikan isi dari tiga box yang diterimanya dari pelayan toko. "Sudah, Mbak. 1500 suvenir dan ini bonusnya." Pelayan toko menyerahkan box kecil yang Safira letakkan di bagian depan motor. "Terima kasih." Gadis itu pun menarik kain batik yang dikenakannya setelah naik ke atas motor. Lalu dia menggunakan helm untuk memastikan dirinya aman berkendara dan berniat kembali ke tempat pesta. Namun, di tengah perjalanan, Safira terkesiap saat ada sebuah minibus berhenti mendadak di depannya. Ya, lagi-lagi gadis itu melamun. Memikirkan Adnan yang hingga hari ini masih bertahta dalam hatinya. "Awas!" Safira berusaha menekan rem pada motornya, tapi terlambat karena benturan terlanjur terjadi. Tak ayal, gadis itu terpelanting cukup jauh dari motor dengan posisi tertelungkup di aspal. *** Safira membuka mata dan yang pertama dilihatnya adalah langit-langit kamar berwarna putih dengan suasana hening yang segera disadarinya sebagai ruangan di rumah sakit. Semua itu semakin dipertegas saat dia melihat infusan yang menggantung di sisinya juga brankar tempat dia terbaring. Sebelah tangannya pun tampak di perban dan sebuah plester menempel tepat di bawah matanya. Gadis itu menjerit, lalu dengan tubuhnya yang terasa lemah dia bangkit untuk mencari tahu sesuatu. "Safira!" Suara sang ibu mengalihkan perhatiannya sehingga Safira pun segera menoleh ke arah pintu. Tampak perempuan itu berjalan tergesa ke arahnya dengan masih mengenakan kebaya yang dipakainya di resepsi tadi. "Jangan dulu bangun, mungkin kamu tidak akan kuat–" Melia segera menahannya yang hampir turun dari tempat tidur. "Tapi … gimana souvenirnya, Bu?" Bukannya memikirkan dirinya sendiri, Safira malah mencemaskan apa yang dibawanya sebelum kecelakaan terjadi. "Tidak apa, sudah ditangani." "Tapi … Bu." Safira menghela napas kasar. "Maaf, Bu, tadi aku tidak melihat … tahu-tahu mobil itu ada di depan dan aku tidak punya waktu menghindar, tapi sumpah aku tidak seng–" Gadis itu meracau karena merasa bersalah, tetapi dengan cepat Melia mengusap pundaknya untuk membuat sang anak tenang. "Tidak apa, semuanya aman." "Bagaimana pestanya? Tamu-tamunya … dan souvenirnya? Terus bang Adnan, aku minta ma–" "Tidak apa, Nak. Tidak apa-apa. Semuanya berjalan lancar." Melia terus berusaha menenangkan. Safira pun sempat terdiam untuk beberapa saat. Namun, tangisnya pecah juga sehingga Melia menariknya ke pelukan untuk meredam suaranya yang semakin lama terdengar semakin kencang saja. "Sudah, Fir. Tidak apa-apa. Pestanya tidak berhenti hanya karena souvenirnya terlambat datang. Mereka tetap bahagia karena acaranya tetap berjalan lancar." Melia mendekap tubuh Safira, lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan perlahan. Sesekali dia mencium kepala sang putri untuk meredakan tangisnya meski itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Mendengar hal itu, Safira menahan air matanya agar tak lagi menetes di depan sang ibu. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba tegar. Kembali mengulas senyum, walau dalam hati, gadis itu harus rela melepas pria yang sejak kecil dicintainya untuk hidup bersama wanita lain. Wanita yang tentu saja bukan dia. Wanita asing yang hadir di saat hubungan mereka semakin kuat tetapi kini terpaksa kandas karena rencana perjodohan oleh kedua orang tuanya. Ya, kini kisah antara Safira dan Adnan hanya akan menjadi sebuah kenangan semata. "Aku harus bisa merelakannya. Merelakan bang Adnan bahagia, walau itu sangat menyakitkan," batin Safira masih dalam pelukan sang ibu yang sangat mencemaskan kondisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN