Janji

1119 Kata
Perempuan bernama Mirna yang sempat telan00jang dha—dha itu, sudah memakai seluruh pakaiannya hingga tertutup sempurna. Mirna yang muncul dari arah toilet itu, wajahnya tampak panik seraya keringat yang ada di pelipisnya itu terus menurun. Dera menatap perempuan yang enggan menunjukan wajah cantiknya itu, dan menghampirinya. “Semuanya aman, gue akan menutup rapat-rapat soal skandal ini. Dan kalau lo diapa-apain lagi sama Robert sialan itu, ngomong aja ke gue!” bisik Dera. “I .. I … iya, Mbak Dera. Terima kasih banyak, Mbak,” balas Mirna. “Sekarang lo bisa balik ke ruangan lo, biarkan Robert gila ini jadi urusan gue!” ujar Dera menepuk pundak Mirna. Mirna yang penuh dengan ke-syok-an itu, cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. BRAK! Perempuan yang menjadi sekretaris baru dari Robert itu telah angkat kaki dari ruangan yang menjadi tempat kepergokannya. Sekarang, hanya ada Dera dan Robert yang berada di ruangan ber-AC itu, dengan suhu enam belas derajat. Suasana dingin dan heningnya di ruangan tersebut, membuat Dera terkekeh. “Kenapa lo kayak kucing kesiram air? Diam-diaman gitu mati kutu gak ngomong apa-apa,” tanya Dera yang lagi-lagi menyulut kepanikan dari Robert. Wajah Robert bukan kayak kucing kesiram air lagi, melainkan kayak kucing yang bingung cari kemana emaknya. Robert melirik tajam ke arah Dera, namun tidak mengemukakan secercah kata pun. Hal itu dimanfaatkan Dera untuk terus-terusan mengintimidasi Robert. “Rob … gue kasih tahu nih bener-bener ke lo. Kalau lo mau main belakang sama karyawan perempuan, mainnya yang halus dong. Mainnya jangan sampai ketahuan sama siapapun. Kalau sampai ketahuan kan lo sendiri yang tanggung malu. Gue yang ngepergokin lo main sama Mirna, bisa aja ngebeberin semuanya ini ke atasan dan lo bakal … you know lah,” seru Dera yang tampak puas sekali dengan apa yang dilihatnya hari ini. “Der … gue minta tolong sama lo, lo jangan beberin hal ini ke siapa saja!” balas Robert dengan matanya yang sayu. Sepertinya Robert sudah pasrah dan tidak bisa melawan Dera. “Hahahaha, makanya Rob. Kalau lo punya napsu itu dijaga baik-baik, jangan asal comot perempuan, di kantor lagi. Terus tuh yang paling penting itu ingat keluarga lo di rumah yang sedang nunggu lo pulang …” tukas Dera yang mirip banget kayak om-om satpol habis grebek pasangan me-zoom. “Iya Der, gue ngaku kalau gue salah. Tapi, yang gue harapkan dari lo, lo harus jaga rahasia gue baik-baik, ya,” rengek Robert yang udah kayak emak-emak nawar barang di pasar loak. “Hmm, gue bakal jaga rahasia lo, kok, tenang aja. Gue bukan orang yang suka beberin rahasia orang lain,” ucap Dera. Wajah Robert yang tadi tampak pilu itu, langsung berubah menjadi semringah. “Seriusan, Der? Ah, terima kasih banyak ya, Der. Lo bener-bener baik banget deh! Ngertiin aja perasaan gue!” Robert kesenengan auto meluk Dera yang ada di hadapannya itu. “Eits! Jangan bikin gue jadi pelampiasan napsu lo, ya!” pekik Dera yang langsung mendorong tubuh Robert yang mendekapnya.   “Iya, kagak kok Der. Cuma hari itu aja …” timpal Robert. “Eh! Please ya lo jangan ungkit-ungkit masalah tempo dulu. Gue udah gak mood ingat begituan. Gue merasa jadi perempuan paling kotor setelah check in semalam sama lo!” cerca Dera yang menunjuk-nunjuk Robert di depannya. Kedua mata Dera juga tak ketinggalan untuk melotot. “Iya Der, maaf,” ujar Robert. “Tapi sebenernya lo nikmatin juga, kan?” lanjut Robert dengan pertanyaan tidak penting. “Udah dibilangin gue gak mau bahas itu, malah lo lanjutin. Apa lo mau ya skandal lo sama Mirna terdengar seantero kantor ini?!” lagi-lagi Dera mengancam Robert lagi. “Enggak Der, please jangan …” ucap Robert lirih yang tampak ciut kembali. “Oke, oke. Tapi, ada satu syarat untuk lo, biar gue gak nyebarin skandal itu,” cakap Dera dengan memincingkan kedua matanya ke arah Robert. “Apa?” Dera mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya, kertas yang sudah setengah kumal itu dibuka lebar-lebar sama Dera. “Gue mau nanya sama lo, ini lo yang buat suratnya?” tanya Dera. Robert mengerutkan dahinya, “Kok suratnya bisa lo buka sih? Bukannya itu buat Alana, ya?” “Gue nanya sama lo ya Rob. Lo kan yang buat surat ini?” Dera mengulang pertanyaan yang menurutnya penting pada Robert. “Iya,” balas Robert. “Terus?” “Hahaha, pakai acara terus-terusan lagi. Kenapa lo bisa nerbitin surat gak penting ini, sih?!” tanya Dera dengan penuh kegeraman, dan membuang surat itu tepat di wajah Robert. “Maaf Der, itu surat gue terbitin karena amanah dari atasan. Dan, gue gak bakal bisa nolak, karena itu sebagian dari tugas gue,” jawab Robert sejujur-jujurnya. “Lo kok enteng banget sih setuju sama isi surat kayak gini?! Lo sudah lupa ya sama janji lo ke gue!?” emosi Dera semakin menaik-naik ­ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali … eh salah room. Robert mengerutkan dahinya untuk kedua kalinya. “Ma … ma … maksud lo gimana ya Der? Emang gue punya janji apa sebelumnya ke lo?” Robert tampak berpikir keras. “Lo inget gak sih kenapa gue nerima ajakan lo untuk check in?!” Robert terbelalak. “Oh iya! Gue inget!” “Terus, apa janji lo ke gue?” tanya Dera kembali. “Hmm …” Robert jadi diam. Ia masih mengingat janji seperti apa yang pernah ia ucapkan pada Dera. Maklum, laki-laki seperti Robert ini kan mempunyai jabatan lumayan tinggi di sebuah perusahaan berkembang, jadi ia juga bebas memilih siapapun perempuan yang akan diajaknya check in. Toh, dengan iming-iming uang receh sekalipun, para perempuan bakal klepek-klepek. “Bentar, bentar Der …” Dera tertawa melihat Robert yang masih memikirkan jawaban. “Rob, udah berapa banyak cewek sih yang lo ajak check in selain gue? Dan sudah berapa banyak perempuan pula yang lo kasih janji?!” “Hmm, banyak sih …” Robert mengaku seraya menggaruk rambutnya. “Sialan banget lo, Rob! Udah gue duga sih, gue adalah perempuan ke sekian yang lo icip!” Dera menyentil telinga Robert hingga Robert merasakan panas. “Aduh, sorry banget, Der. Tapi, gue kayaknya ingat apa janji gue ke lo,” seru Robert yang syukurnya tidak amnesia atau pura-pura amnesia lakunar. Adalah amnesia yang penderitanya mengalami lupa ingatan dengan kejadian-kejadian acak. “Nah, kalo lo ingat sama janji lo ke gue, kenapa lo setuju waktu atasan meminta lo bikin surat ini?!” lagi-lagi Dera membentak Robert. Dera sudah kayak emak-emak yang marahin anaknya yang gak pulang di waktu senja. Robert berkali-kali menelan ludahnya. Mana mungkin gue nolak, Maemunaaaah! Gue kan kerja buat atasan, gue digaji sama atasan, dan gak mungkin bisa gue nurutin permintaan lo! Yang ada gue bisa dipecat dan karir gue melayang gitu aja. Pekik Robert dalam hatinya.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN