Di siang hari ini, Pak Niko memutuskan untuk pulang ke rumah untuk menyantap makanan siang. Pak Niko yang tahu kalau Bu Vivian suka memasak oseng-oseng terong di siang hari, menggugah selera makan Pak Niko. Dengan senyuman yang sama seperti saat pertama berjumpa *ceileh. Pak Niko memencet tombol bel rumah yang letaknya di sisi pintu utama rumahnya.
“Assalamualaikum, Istri tercinta …” seru Pak Niko dan sesekali mengetukan jemarinya ke daun pintu.
“Waalaikumsalam, Suami tercinta …” terdengar balasan seruan dari Bu Vivian.
KLEK! Dua daun pintu yang ukurannya dua meter itu terbuka lebar di depan Pak Niko. Tampak Bu Vivian berdiri di hadapannya sembari meliukan senyum manis di bibirnya. “Loh, sudah pulang istirahat? Pasti gara-gara oseng-oseng terong buatan Mami ini tercium sampai kantor ya?!” seru Bu Vivian dengan menggerlingkan kedua matanya ke Pak Niko.
Pak Niko terkekeh dan segera merangkul Bu Vivian masuk ke dalam rumahnya, “Bukan karena masakan oseng-oseng terong saja yang aromanya tercium sampai kantor. Tapi … aroma tubuh Mami yang harum ini ikut menggoda Papi dan menyuruhnya cepat pulang siang ini! Hehehe!” ujar Pak Niko yang menggoda istri tercintanya itu.
“Ah, Papi ini bisa aja loh! Inget Pap, sudah umur kok masih main goda-godaan aja sih …” Bu Vivian mencubit kecil d**a Pak Niko.
“Mami, justru diumur kita berdua yang sudah tidak muda lagi dan umur pernikahan kita yang memasuki umur dua digit ini, harus ada rayuan-rayuan manis guna mempererat hubungan kita. Ibarat tanaman selalu disirami oleh yang punya agar bisa tumbuh begitu subur. Begitu juga Papi ke Mami, yang selalu menyirami rumah tangga kita dengan keromantisan, kehangatan, dan kelembutan kasih sayang …” beber Pak Niko yang membuat Bu Vivian geleng-geleng kepala malu.
“Papi bisa aja ah! Kebanyakan gombal nanti lupa malah gak makan siang, loh! Hehe. Yuk,” Bu Vivian pun segera mengajak Pak Niko ke ruang makan.
Kini Pak Niko dan Bu Vivian sudah berada di depan meja makan yang di atasnya sudah dipenuhi piring-piring dengan lauk pauk sayur. Pak Niko langsung melengkungkan senyumannya, “Istriku ini biarpun umurnya sudah tidak seperti anak SMA, tapi semangatnya untuk tetap memasak masih membara ya,” seru Pak Niko mengelus rambut Bu Vivian.
“Iya lah Papi, umur tidak boleh dijadiin alasan buat berkarya, apalagi buat nyenengin suami, harus semangat terus itu mah!” kata Bu Vivian tak lupa dengan senyumannya. “Yuk sekarang makan siang bareng, Pap!” lanjut Bu Vivian yang menarik dua kursi makan di depan Pak Niko.
“Silakan duduk, Pap,” sambut Bu Vivian. Dan Bu Vivian juga ikut duduk di samping Pak Niko.
“Gimana kerjanya hari ini, Pap?” tanya Bu Vivian sembari mengambilkan piring, nasi, lauk pauk, dan sayur untuk Pak Niko.
“Ya seperti biasa sih, Mami. Menguras tenaga, pikiran, dan emosi sama klien-klien yang banyak maunya. Tapi, semua itu sudah biasa Papi hadapi, jadi hanya butuh ditambah rasa sabarnya aja, hehe,” jawab Pak Niko.
“Papi kan orangnya terkenal sabar dan selow, kayaknya kerjaan kayak gitu bisa lah Papi atasi dengan aman,” seru Bu Vivian.
Pak Niko terkekeh. “Iya, Papi selalu bisa mengatasi hal itu, tapi kalau sudah gagal, kepikirannya bisa seminggu berturut-turut!”
Hal itu bikin Bu Vivian geli. “Yang sabar ya, Papi … orang sukses itu pasti kendalanya banyak. Pasti banyak banget yang bikin hati marah, down, dan sebagainya. Tapi, kalau sudah dihadapi sama orang hebat seperti Papi, semuanya bakal bisa teratasi!” Bu Vivian menyuguhkan motivasi untuk suaminya tercinta itu.
Pak Niko melengkungkan senyum. “Terima kasih ya istri tercinta, selalu saja bisa membuat Papi senyum-senyum sendiri karena kata-kata yang keluar dari mulut Mami!”
“Ah Papi bisa aja … yuk kita makan sama-sama,” timpal Bu Vivian yang menyerahkan piring dengan makanan lengkap di depan Pak Niko.
“Yuk!” seru Pak Niko dan Pak Niko baru menyadari kalau ada kesamaan dari menu mereka berdua. “Loh, Mami juga makan menu yang sama kayak Papi? Wah makin lama selera kita makin sama ya, Mi, itu artinya kita berdua ini masih diberikan kesehatian oleh Tuhan untuk membina rumah tangga …” kata Pak Niko yang lagi-lagi melemparkan gombalan receh ke Bu Vivian.
“Iya, gimana gak sama, Pa. Orang kita berdua memang selalu makan menu yang mudah dikunyah, alias gigi kita berdua sudah gak sanggup lagi makan yang keras-keras! Hihihi.
celetuk Bu Vivian.
“Oh iya, Papi hampir lupa ……. Menu kita sama karena itu!” Pak Niko terkikik.
Mereka berdua pun mulai menyuapkan sesendok makanan mereka ke mulut mereka masing-masing. Tak lama kemudian, Pak Niko membuka obrolan.
“Mami, tadi Richard ada ke rumah, gak?” tanya Pak Niko.
Bu Vivian menggeleng dan menghabiskan kunyahan di dalam mulutnya. “Gak ada tuh Pap, tumbenan juga siang-siang begini dia gak pulang ke rumah.”
“Jadi dari tadi pagi waktu Papi telepon Mami infoin kalau Richard kabur dari kantor itu, sampai sekarang dia gak ada ke rumah?!” tanya Pak Niko.
“Iya, gak ada, Pap,” jawab Bu Vivian.
“Astaga … terus anak itu ke mana ya?! Kok bisa-bisanya dia kabur dan gak pulang. Berarti, Richard ini kepala batunya sudah keterlaluan, Mam!” seru Pak Niko.
“Tenang, Pap .. kan sudah Mami bilangin sendiri, kalau anak Papi si Richard itu memang akhir-akhir ini keras kepala. Papi harus tenangin diri ya, jangan sampai ngomel-ngomel, ya …” seru Bu Vivian sambil mengelus punggung dari Pak Niko.
Pak Niko yang masih mengunyahkan makanan di dalam mulutnya, tiba-tiba terngiang lagi kejadian di kantor beberapa jam yang lalu. Pak Niko yang sedang sibuk mempersiapkan meeting dengan klien penting, tapi Richard dengan seenak jidatnya baru datang menenteng tas. Apa yang saat itu dirasakan oleh Pak Niko pada anaknya sendiri?! Marah, kesal, dan bercampur jadi satu yang negatif-negatif.
Tampak wajah memerah dari Pak Niko, bukan karena rayuan gombal. Melainkan, ada secercah ketidaknyamanan yang hadir di dalam hati Pak Niko. Bu Vivian pun dapat melihat kalau suaminya sedang berada dalam bayang-bayang emosi.
“Papi Sayang, tenangin diri baik-baik ya … jangan terlalu marah, nanti kita berdua bisa ngomong baik-baik sama Richard,” seru Bu Vivian.
“Papi juga gak nyangka sih akhir-akhir ini Richard malah menganggap enteng kerjaan kantor. Buktinya, dia dengan seenaknya datang dan pergi tanpa melihat jam operasional,” kata Pak Niko yang mengingat tingkah laku anaknya di kantor.
“Sabar Papi … sabar …” hanya itulah ucapan yang mampu keluar dari mulut Bu Vivian. Karena pada dasarnya pun, Richard juga berlaku kurang baik di mata Bu Vivian akhir-akhir ini,
Ada apa gerangan di dalam hati Richard itu? Hingga dirinya malah membuat kedua orang tuanya saat ini berkalut gelisah?! Hayoloh Richard kenapa malah bikin Pak Niko dan Bu Vivian jadi kesel begini?!
***
“Yuk! Silakan keluar, Tuan Puteri …” Richard membukakan pintu mobil di mana Marsha berada.
Marsha yang menyambut Richard begitu hangat, turun dari mobilnya. “Terima kasih banyak ya, Sayang.” Marsha celingukan melihat sekelilingnya. “Dan untungnya mobil hitam yang tadi ingikutin kita udah gak ada lagi. Dan kayaknya itu beneran halusinasi gue saja deh, Yang,” ucap Marsha.
“Iya, bisa jadi, Yang, Gak perlu dipikir ya, sekarang kita berdua jalan-jalan ke dalam aja siapa tahu ada barang cantik yang menarik perhatian kita untuk membeli,” tukas Richard yang langsung merangkul Marsha.
Marsha dan Richard memasuki mall yang bernama “Royal Palace Mall”. Mall yang ada di ibukota dan diresmikan sekitar enam bulan yang lalu itu, menarik perhatian para penghambur duit alias crazy rich kota. Pasalnya, di dalam mall itu hanya terjual barang-barang import yang memiliki kualitas tinggi no kaleng-kaleng. Jadi, siapapun yang menyentuh atau bahkan membeli barang itu, sudah bisa dipastikan bahwa orang itu memiliki duit di atas rata-rata orang kebanyakan.
“Sayang, kita mau ke arah mana, nih?! Mau ke bagian berlian atau jam tangan?” tanya Richard pada kekasihnya.
“Ke bagian jam tangan aja dulu Sayang, kan lo nya yang lagi badmood, mungkin beli jam adalah jalan ninja buat hilangin ke badmood-an lo itu!” seru Marsha.
Richard pun menganggukan kepalanya dan berjalan menuju toko jam tangan yang dimaksud oleh Marsha. Ya begini nih ciri-ciri pejabat yang mangkir dari jabatannya. Masih di dalam jam operasional kerja, malah enak-enaknya ngebucin ria gak penting. Kalau kata orang zaman dulu tuh, orang-orang yang suka begini gak patut dijadikan seorang pemimpin, baik di dalam organisasi kecil apalagi negara.
Kerjaannya yang penting untuk dirinya dan keluarganya aja bisa diabaikan, apalagi kamu!? Hiya … hiya … hiya …
Bisa dibilang, Richard adalah crazy rich ibukota yang suka banget koleksi jam-jam tangan mahal. Beda banget sama kita-kita manusia kelas Sudra yang kalau lihat jam tangan hanya melirik saja tanpa menyentuhnya. Ibaratnya itu kayak cinta sama seseorang, tapi gak bisa untuk memiliki. Haduuuh, rasanya gimana tuh ya?! Sakit, kecewa, dan tercabik-cabiknya jadi kerasa bangeeeeet.
“Mas, lihat jam tangan yang keluaran paling baru dong!” pinta Richard pada sales laki-laki yang sudah menyambut Marsha dan Richard dengan senyuman merona. Iya dong harus merona, karena kalau misalnya Richard mau beli barang di sales itu, mas-masnya bisa dapat lebihan fee, coy!
“Ada, Kak, ini …” sales itu mengeluarkan tiga buah contoh jam tangan mahal yang baru saja datang di Indonesia. Jam yang memiliki tanda “new arrival” di bagian pergelangan tangan itu membuat Richard dan Marsha yakin kalau barang ini beneran baru, fresh from the factory.
“Jam tangannya ini baru banget Kak di keluarkan sama brandnya, di Indonesia baru ada di sini dan kalau Kakak beli jam ini, kakak adalah orang pertama di Indonesia yang memiliki jam tangan ini,” seru mas-mas sales yang bisa aja berkelit.
“Ini berapa harganya?” tanya Richard yang sudah melihat-lihat kemewahan dari jam tangan yang bertabur emas asli di dalamnya.
“Sebentar ya Kak, saya bantu lihat harganya dulu,” kata mas-mas salesnya.
“Bagus gak ini Sayang?” tanya Richard ke Marsha memperlihatkan jam tangan yang katanya mahal itu.
“Bagus, lah … apalagi yang warna silver begini, cocok banget sama lo, Sayang,” ujar Marsha yang tak pernah menyangkal selera Richard. Ya iyalah, Richard mah selalu ambil barang yang mahal di atas rata-rata, dan gak mungkin barang itu jelek. Kecuali, kalau Richard cari barang di bagian cuci gudang yang tersisa barang-barang lama.
Richard mencoba memakai jam tangan itu, “Eh iya, beneran bagus ya di tangan gue. Ternyata pacarku satu ini gak bohong maksimal!” seru Richard yang juga terpesona dengan keindahan jam tangan mahalan itu.
“Udah, bungkus aja bungkus!” ujar Marsha yang kalau mengetahui Richard sudah suka dengan barang, langsung disuruh beli.
Tak lama kemudian mas-mas salesnya datang, “Kak, harganya dua milyar lima ratus empat puluh juga rupiah …” informasi dari sales itu.
“Oh segitu,” Marsha manggut-manggut. “Jam ini ada couplenya, gak?” tanya Richard.
“Oh ada, dong, Kak. Ini untuk jam tangan yang silver dan warna emas, ada couplenya. Harganya pun sama. Bisa nih buat kakaknya ini, biar makin cantik dan anggun,” mas-mas sales itu mengeluarkan jam tangan couple dan diperlihatkannya di depan Marsha dan Richard.
“Huaaaa baguuuuus!” seru Marsha dengan kedua matanya yang terbelalak kagum.