Sekitar empat setengah jam kemudian pesawat yang ditumpangi Borne dan Debby mendarat di Naples-Capodichino Airport. Borne menatap layar LCD pada jok di hadapannya, waktu sudah menunjukkan pukul 23:45 waktu setempat.
Borne mengangkat tangannya, hendak membangunkan Debby yang tidur bersandar di pundaknya, tetapi netranya terpaku – terpana – pada wajah cantik yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Borne menyentuh bibir Debby yang sedikit terbuka, mengusapnya lembut. Wajahnya semakin mendekat hingga baru saja bibir mereka bersinggungan, Borne merasakan gerakan Debby.
Panik! Ia segera menjauhkan wajahnya.
Debby membuka netranya, tersenyum menatap Borne yang juga menatapnya.
"Sudah sampai ya?"
Borne mengangguk.
"Lo ada bagasi, Ne?"
Borne menggeleng.
"Gue ada. Satu koper aja sih. Tungguin gue ya, jangan kabur lo!"
Borne mengangguk lagi.
"Lo bisu?"
Borne menggeleng lagi.
"Iiih Borne! Ga lucu tau!" Omel Debby.
Borne hanya menaikkan sebelah alisnya.
Debby menghembuskan nafas kasar, merasa sedang dijahili Borne. Kesal! Ia mencubit kedua pipi Borne.
"Aaaah! Sakit Deb!"
"Gue pikir lo bisu!"
Merasa situasi aman — Debby tak menyadari kelakuannya yang hampir saja mendaratkan ciuman pertamanya di bibir perempuan itu — membuat Borne lega. Ia mencengir lebar, memamerkan deretan gigi putihnya.
"Sumpah Ne! Lo absurd banget! Tadi judes, terus kayak orang ketauan abis maling, sekarang tiba-tiba gila!"
'Nyaris Deb, nyaris jadi maling gue tadi!' batin Borne.
"Kenapa lo jadi santai banget sih ngomong sama gue? Tadi manis banget!" keluh Borne.
"Kapan? Itu kan sebelum lo nolak gue!" jawab Debby sinis.
"Astaga Deeeb!"
Borne menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan cara Debby menyelesaikan masalahnya. Sudahlah kabur tak tentu arah, seenaknya mengajak orang pacaran, kini berubah sikap karena keinginannya tak dituruti. Borne paham jika Debby membutuhkan pelampiasan karena kekecewaan yang baru saja dirasakannya, tetapi tetap saja ajakan Debby untuk berpacaran tadi menyita sebagian besar pikiran Borne.
Bukan Borne tak sudi menjadi pelarian Debby, toh pria itu sudah menyukainya sejak kali pertama melihatnya. Dirinyalah yang bermasalah. Ia terlalu takut jatuh cinta. Takut menyakiti perempuan yang ia cintai terlebih yang mencintainya. Bukankah darah lebih kental daripada air? Dan darah Rindang — sang Ibu yang tega mengkhianati Ayahnya — juga mengalir di tubuh Borne. Pria itu takut ia mewarisi kekejaman Ibunya. Atau, bisa saja, begitu ia mencintai seseorang dengan tulus, ia dicampakkan begitu saja, seperti nasib Benjamin Adi — Ayahnya.
Borne berdiri, mengambil ranselnya dan handbag Debby dari bagasi kabin. Mempersilahkan Debby agar berjalan lebih dahulu keluar dari pesawat.
"Beneran Ne, jangan kabur lo!" ucap Debby saat mereka sedang menunggu koper yang Debby masukkan ke bagasi pesawat.
"Iya."
"Kita langsung ke Sorrento, Ne?"
"Iya, naik taksi. Udah jam segini soalnya."
"Udah booking hotel?"
"Belum. Tadinya gue mau langsung ke tempatnya aja. Cuma berhubung lo ngintilin gue, kayanya gue ragu mau nginep di sana."
"Kenapa emangnya?"
"Itu penginapan biasa Deb. Bukan hotel. Kalau beruntung ya bisa dapat yang twin room. Kalau penuh bisa dapat yang sekamar berempat. Tempat tidurnya susun. Dan ga bakal nyaman buat lo."
"Gue ga apa-apa kok!"
"Lo pernah benar-benar backpacker-an?"
Debby menggeleng.
"Then you can't imagine what it's like."
"Jadi gimana?"
"Kita cari hotel murah aja."
"Yakin Ne?"
"Apa gue punya pilihan lain?"
Debby mengerucutkan bibirnya. Membuat Borne terkekeh melihatnya.
"Tapi kita patungan ya? Kita ambil yang twin room? Harusnya sih ga ramai. Bukan musim liburan juga."
"Lo ga akan apa-apain gue kan?"
"Kalau lo takut gue b******n, lo aja yang di hotel, gue ke penginapan yang gue cerita tadi. Kalau mau jalan kita kontak-kontakan."
Debby menggeleng.
"Ga mau!"
"Deb, gue belum setajir itu liburan duit habis buat booking hotel aja."
"Ya udah deh."
"Kita patungan ya?"
Debby mengangguk.
"Deal?" Borne mengulurkan tangannya.
"Deal!" ujar Debby sembari menggenggam uluran tangan Borne.
Mereka berdua tersenyum.
Setelah koper yang ditunggu ada di tangan Debby, mereka segera keluar dari area kedatangan. Travel cab yang akan mereka tumpangi ke Sorrento sudah menunggu. Ketika Debby akan masuk ke kendaraan itu, Borne menahan lengannya.
"Deb, gue mau minta sesuatu."
Debby menatap lekat manik mata Borne. Ada perasaan ragu untuk mengiyakan permintaan pemuda itu, apapun itu. Semacam firasat, yang mungkin tak akan bisa ia lakukan atau ia tepati.
"Boleh?" tanya Borne lagi.
"Apa gue punya pilihan lain?"
Borne menunduk sesaat. Meyakinkan dirinya untuk mengatakan hal yang bertentangan dengan hatinya saat itu.
"Jangan jatuh cinta sama gue ya Deb! Please..."
***
Sepanjang perjalanan Naples – Sorrento, permintaan Borne yang tak dijawabnya terus terngiang. Borne yang duduk di sampingnya hanya diam, tak berbicara sepatah katapun, bahkan Graphic Tablet yang biasanya ia mainkan tak juga muncul dari dalam sling bag–nya.
Debby merasakan netranya panas, kepalanya pening, tubuhnya nyeri seakan remuk redam, mungkin karena tiga hari terakhir ia tak beristirahat dengan benar. Dua hari di udara, ditambah satu hari melarikan diri sejauh mungkin dari Aldo – mantan pacar pembohongnya. Ia merebahkan lagi kepalanya di bahu Borne.
Borne terkesiap. Bukan karena Debby yang menyandarkan kepala di bahunya, tetapi karena panasnya suhu tubuh Debby. Pria bermanik coklat itu meletakkan telapak tangannya di kening Debby membuat perempuan itu tersenyum menatapnya.
"Kamu demam, Deb." Lirih Borne. Khawatir.
"Capek aja Ne. Aku belum sempat istirahat sehabis flight kemarin."
"Kita ke rumah sakit ya?"
"Ga usah. Nanti aku ke apotek aja beli obat. Sesekali suka begini kok. Biasa."
Borne kembali diam. Tangannya terulur menepuk-nepuk lembut kepala dan sesekali mengusap lembut surai Debby. Di dalam hatinya tentu saja ia begitu mengkhawatirkan Debby. Borne memalingkan wajahnya menatap jalanan di luar sana. Tangannya yang ia turunkan dari kepala Debby lalu ia kepalkan, kencang, hingga buku-buku tangannya memutih. Ia geram! Geram dengan lelaki yang berstatus mantan Debby itu.
'Dasar b******n! b*****t!' batinnya.
Debby menggenggam kepalan tangan Borne. Ia takut membuat Borne khawatir. Borne kembali menoleh, menatap lekat Debby.
"Aku ga apa–apa, Ne. Kalau besok aku masih belum fit, kamu jalan aja. Yang penting balik ke hotel ya. Aku santai–santai di sekitar hotel aja. Aku ga mau ganggu liburan kamu."
Borne diam saja.
"Ne?"
"Iya Deb! Iya! Istirahat aja kenapa sih, ga usah cerewet! Simpan tenaga kamu!"
Lagi–lagi Borne ketus padanya.
Kali ini Debby yang memilih diam. Ia tau Borne tak benar–benar marah padanya. Tetapi jika ia tetap bicara mungkin Borne akan benar–benar mendepaknya dari cab ini.
Sekitar sejam kemudian, mereka sudah tiba di depan sebuah hotel. Borne sudah mencatat beberapa penginapan dan hotel murah yang bisa ia tempati selama di Sorrento. Dan di sinilah Borne dan Debby, tepat di depan gerbang salah satu hotel pilihan Borne.
Debby duduk – sambil menutup netranya yang semakin terasa panas – di sebuah sofa berwarna cream di lobby hotel. Sementara Borne memesan kamar dan menanyakan lokasi apotek terdekat pada receptionist dengan bahasa Italia–nya yang jauh dari tingkat fluent. Setelah mendapatkan kunci kamar, ia menghampiri Debby. Debby terlihat semakin pucat. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. Tanpa bicara, Borne menyampirkan handbag Debby di pundaknya, lalu menggendong Debby di depan dadanya. Sementara bellboy mengikutinya seraya membawakan koper dan ransel mereka. Debby yang memang sudah merasa lemah, pasrah saja di gendongan Borne, ia melingkarkan kedua tangannya di leher Borne, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
"Ne... Debby pusing."
"Iya, nanti aku beli obat ya. Biar di kamar aku kompres kamu."
Debby kembali tak bersuara. Mengeratkan rengkuhannya di leher Borne. Detak jantung Borne semakin bertalu.
"Ne..."
"Hmm..."
"Borne..."
"Kenapa Deb?"
"Debby ga bisa janji. Debby ga mau janji ya Ne..." lirihnya.