Sesampainya di alun-alun kota Sorrento itu, Borne mengajak Debby berjalan berkeliling di sekitar Piazza Tasso. Jantung kota Sorrento itu memang kerap menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi di kota ini. Debby tak henti–hentinya berlari–lari kecil, memutari Borne, dan sesekali menarik lengan Borne untuk memperhatikan sesuatu atau meminta pria itu mengambil fotonya.
"Bagus ga, Ne?"
"Bagus! Tenang aja, aku udah tersertifikasi, jadi kamu ga perlu nyuruh ngulang–ngulang foto."
Debby memberengut, memajukan bibirnya seraya berdecak. Ia lalu mendekati Borne dan memastikan gambar yang terekam di dalam kamera digital yang Borne bawa.
'Khilaf gue cium juga nih cewek!'
"Eh iya bagus. Kameranya bagus sih!"
Borne terkekeh.
"Berarti aku pinjam ke orang yang tepat."
"Pasti punya Dirga."
Borne mengangguk tegas.
"Viona sering kesal sama Dirga. Susah di ajak jalan."
"Awalnya kami sibuk memang karena harus ngisi perut Deb. Kami berdua bukan old money yang terdampar di salah satu kota dengan biaya hidup terbesar di dunia. Kami harus kerja kalau mau tetap hidup. Ya karena itu, awalnya butuh duit, lama–lama jadi hobby."
"Kamu juga?" Tanya Debby lagi.
Borne mengangguk.
“Masa sih?”
“Emang aku kelihatan kayakk orang tajir?” Borne balas bertanya.
“Hmmm, ya kan wajah ga bisa jadi jaminan financial seseorang.”
Borne terkekeh sebelum menanggapi ucapan Debby kembali.
"Aku dan Dirga sering ngamen sama jadi photographer lepas kalau weekend. Dapet duit dan release stress!"
"Yang jadi pacar kamu bakalan jarang punya waktu sama kamu dong ya?"
Borne hanya menggelengkan kepalanya. Tak menanggapi. Entah kenapa rasanya gadis di dekatnya ini begitu tertarik dengan kehidupan pribadi Borne. Debby tak tahu saja jika bahkan Borne belum pernah terinfeksi virus merah jambu.
Saat melewati sebuah florist, Borne menghentikan langkahnya. Mengambil sekuntum mawar merah yang setengah mekar lalu membayarnya.
"Nih."
Debby mengambil mawar yang disodorkan Borne padanya.
"Ini maksudnya apa?"
"Ga ada. Cantik aja bunganya. Lagian biar ada warna lain selain putih." Ujar Borne seraya memindai penampilan Debby dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kamu tau ga artinya mawar merah?"
"Penting ya Deb?"
"Ne, kalau kamu kayak gini ke cewek–cewek mereka bisa salah paham lho."
"Easy Deb. Baru kamu yang aku kasih bunga."
"Hah?" Kedua netra Debby membola mendengar pengakuan Borne.
"Dan aku suka merah." Ujar Borne lagi, santai, seraya mencengir.
Debby terkekeh. Tak meneruskan rangkaian kata yang siap menyembur dari ujung lidahnya.
"Udah siang. Pizza?" tanya Borne.
"Ok!"
Borne dan Debby memutuskan untuk menikmati makan siang di sebuah café kecil yang menyajikan aneka hidangan khas Italia. Borne benar–benar menahan diri untuk tak menyentuh perempuan di hadapannya. Debby begitu cantik dan menyenangkan baginya. Bahkan perempuan itu sama sekali tak menjaga image–nya saat bersama Borne. Debby makan dengan lahap, menghabiskan satu loyang pizza untuk dirinya sendiri. Berkali–kali Borne terkekeh karena melihat pasta tomat yang menempel di ujung bibir, dagu bahkan ujung hidung Debby — yang dengan santainya perempuan itu seka lalu dikecup habis dari ujung-ujung jarinya.
Usai menuntaskan makan siang mereka, keduanya beranjak dari café itu. Mereka membeli dua cup caffe latte hangat di sebuah coffee shop, lalu melanjutkan langkah kembali. Borne ingin mencari spot yang nyaman untuknya merekam kenangan di dalam Graphic Tablet andalannya, hingga tiba-tiba langkah Debby terhenti. Wajahnya menjadi pias menatap pemandangan di hadapannya.
Borne mengikuti arah pandang Debby, menyaksikan dua insan yang sedang b******u mesra. Sang pria mengurung wanitanya dengan kedua tangannya, sementara sang wanita bersandar di dinding sebuah craft store.
"Aldo..." lirih Debby nyaris tanpa suara.
Tangan Borne yang bebas mengepal erat. Buku–buku jarinya sampai memutih sangkin menahan geram di dadanya. Ketika pasangan itu mengusaikan ciumannya dan akan berbalik berjalan ke arah mereka berdua, Borne segera menutup Debby dengan tubuhnya. Borne menarik Debby, mendekapnya dalam pelukannya. Ia pun menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Debby. Mereka berdua benar–benar tak berjarak, bahkan ujung bibir Debby bersinggungan dengan rahang Borne.
"Get a room, dude!" ujar seorang pria. Usil mengomentari mereka. Tak sadar jika dirinya dan pasangannya bahkan berbuat lebih m***m. Naasnya, pria jahil itu adalah Aldo.
Debby tergugu. Masih di dalam rengkuhan Borne, kedua netranya kembali mengalirkan air mata.
"Dia bahkan ga ngenalin gue, Ne... Dia ga ngenalin gue!" isak Debby.
---
'Have you seen an angel? Well, she's walking by my side now!'
Borne membawa Debby ke sebuah café yang menjual aneka gelato. Ia memilihkan meja di dalam café dengan suasana yang tenang dibandingkan meja outdoor dengan resiko yang memungkinkan sang mantan melewati mereka. Debby masih diam saja, tak bicara sepatah katapun, hanya mengikuti kemana pun langkah Borne.
'Kalau ga sama aku, gimana coba nasib kamu Deb?'
Borne menatapnya sesaat, kemudian melangkahkan kakinya memesan seporsi besar gelato.
"Ada yang tanpa alkohol?"
"Sì. Strawberry, lemon, vanilla?"
"Vanilla?"
"Sì. No alcohol. Hanya s**u dan vanilla."
"Ah! Ok! Vanilla, cup besar. Satu."
"Ok!"
Borne meletakkan cup es krim khas Italia itu di hadapan Debby, lalu ikut duduk di samping perempuan itu.
"Katanya non alcohol, Deb. Udah kucoba, bener sih kayanya."
Debby tertawa.
"Serius kamu nanya gitu?"
Borne mengangguk.
"Tempat ini direkomendasiin sama salah satu kenalanku. Katanya kalau ke Sorrento, nyari gelato ke sini aja, pilihan yang non alcohol banyak. Walaupun kita ga tau sih wadahnya nyampur atau ngga."
Borne mencengir lebar.
Debby kembali tertawa melihat ekspresi Borne. Ia lalu menyuap gelato di hadapannya. Sementara Borne memilih menikmati caffè latte yang sudah mendingin di cup–nya.
Borne mengaktifkan kembali Graphic Tablet–nya, menorehkan ujung stylus–nya membentuk sketsa suasana di dalam café. Debby menyandarkan kepalanya di bahu Borne seraya menikmati suapaan demi suapan gelato di tangannya.
"Enak?" tanya Borne.
Satu tangan Debby terulur, menyodorkan sesuap gelato di depan mulut Borne. Borne terkesiap sesaat, tetapi tetap membuka mulutnya. Ia menolehkan wajahnya, hendak menatap Debby, yang justru berakhir dengan kedua pasang netra mereka yang bersirobok. Terpaku. Selama beberapa saat, tak ada yang memalingkan tatapannya. Hingga adegan saling tatap itu berakhir ketika mereka mendengar suara customer lain yang memasuki café itu.
"Kamu ga mau nanya apa–apa Ne?"
Borne mendengus. Tersenyum. Netranya masih tertuju pada tablet di genggamannya.
"You need a friend. A shoulder. Bukan cowok usil yang mengorek–orek lukamu."
Debby terkekeh pelan.
"Kalau cowok gitu ya Ne?"
"Maksudnya?"
"Ga banyak nanya."
"Ya ga juga Deb. Cowok yang apa aja ditanya juga ada."
"Dirga begitu?"
Borne menggelengkan kepalanya.
"Kami sahabatan dari kecil, berempat. Aku, Dirga, Ian dan Eric. Eric was dead. They said he overdosed. Honestly, none of us believed that. Setelah Eric pergi, aku nyusul Dirga ke sini. Ian tetap di Indo. Kami tetap komunikasi intens, tapi bukan jenis yang saling ngorek–ngorek. We believe to each other, jika ada masalah dan kami siap cerita pasti kami bagi, seringkali tanpa perlu ditanya. Ga ada rahasia di antara aku, Dirga dan Ian."
"I'm sorry for Eric."
"Yeah. That was really sad for us."
"Kalau Vio, liat aku sedih pasti cecar aku dengan banyak pertanyaan. Terus dia ninggalin aku kalau aku ga mau cerita. Kesal mungkin."
"Kamu suka ditanya banyak hal dalam kondisi seperti ini?"
Debby menggelengkan kepalanya.
"Kalau gitu ga usah dijawab Deb."
"Maksudnya?"
"Viona. Atau siapapun. Kalau kamu ga ingin jawab pertanyaan mereka, ga usah dijawab. Atau pergi aja, kasih diri kamu ruang dan waktu untuk mencerna keadaan."
"See?"
"What?"
“Kamu orang yang peka banget, Ne. Kamu hanya bicara jika dibutuhkan. Bersikap sewajarnya, tetapi menenangkan di saat yang sama.”
Borne menatap Debby lekat. Getir kembali terasa di relung hati kecilnya.
"Debby... Please, don't fall to me."